Suasana malam yang hening, membuat suara detik jarum jam terdengar kuat. Menunggu jawaban Devan, seperti menunggu antrean di pom bensin. Lama dan juga meresahkan."Ya, memangnya yang punya anak tiga itu cuman kita, Dek?" sahut Devan memandangku dengan wajah datar.Sepertinya aku sudah membuatnya tersinggung, kupeluk tubuhnya semakin erat, sesak di dada kini mulai sedikit lega setelah mendengar jawaban dari Devan. Tapi, aku tidak bisa percaya dengannya begitu saja."Mas, kata Mas Harman, kalau malam di sekeliling rumah ada ayam jago berkokok, loh. Itu pertanda ada sesuatu yang aneh di kampung ini," ucapku sambil memainkan putingnya menggunakan jari telunjuk."Maksudnya?" Devan menatapku. Yang tadinya posisinya rebahan kini dia duduk di sebelahku."Ya, ada yang selingkuh terus berbuat mesum," ucapku memandnagnya dengan mata melirik ke atas."Alaah, malas aku kalau sudah bahas masalah mistis itu, takutnya akan terjadi sama keluarga kita," ucap Devan kesal. Dia menepis tanganku yang masih
"Iya, tapi ibu takut kalau malah buat rumah tangga mereka hancur berantakan, Ta," sahut wanita paruh baya yang ada di hadapanku.Rasa panas yang ada di hatiku sama seperti sayur gulai yang kini berada di dalam wadah. Bedanya hanya hatiku tidak mengeluarkan kepulan asap.Dreett ...Dreett ...Getaran HP yang ada di saku bajuku mengejutkanku."Mila?" batinku.[Halo, Mil, ada apa?][Mbak, ini tetangga baru, Mbak sudah datang, dia minta kunci rumahnya.][Sama, Bu Endah, Mil, kuncinya,][Aku enggak ada nomor Bu Endah, warungnya tutup itu ha, nampak dari sini,][Ya, sudah aku telpon, Bu Endah dulu, Mil]Tuutt ...Tuutt ...[Halo, Bu, di mana? Itu orang yang mau nempatin rumah, Mas Arman sudah datang ,Bu, kuncinya di ibu, 'kan?][Iya, Mil, tolong ke rumah ibu, ya. Di gantungan sebelah pintu kamar, masuk saja enggak di kunci pintunya, ibu masih belanja, baru saja sampai,][Oh, iya, Bu,]Aku mengakhiri panggilan."Bude, aku pulang dulu, ya, orang yang mau nempatin rumah Mas Arman sudah datang,
"Aku, Mbak." Suara wanita berbisik.Aku menarik hendel pintu ketika aku yakin dialah Rahayu, langkahan kakiku percepat mengarah ke kamarnya.Tok! Tok!"Rahayu," panggilku dengan nada datar."Iya, Mbak?" sahutnya sambil berbisik.Aku menurun-nurunkan hendel pintu, tapi pintu sudah di kunci. Kepalaku mendongak ke atas mencoba menurunkan hendel, namun, kunci tetap tidak di buka olehnya."Rahayu, buka pintunya! Mbak mau ngomong," ucapku dengan nada tinggi."Mbak, besok sajalah, tolong, aku sudah ngantuk," ujarnya dengan suara memelas.Semakin hari semakin tidak ada moralnya gadis itu, tidak pernah menghargai aku pemilik rumah ini. Semua makanan siap tersaji, pakaian siap pakai, tapi dia semakin seenaknya dalam bertingkah.Aku melangkah ke arah kamarku sambil memandangi daun pintunya. Kukira dia sudah minggat dari rumahku, ternyata balik lagi. Besok akan kuusir dia dari sini, kelakuannya sudah tidak bisa di toleransi.Orang tuanya saja sudah tidak mau mengurus untuk apa aku repot-repot mem
"Apa sebelum di jual, Arman enggak pamit pada Bu Endang?" Tatapan mata Bu Endah begitu tajam mengarah padaku.Aku menggeleng lalu mengalihkan pandangan ke arah depan, tak kuasa menatap netranya yang menakutkan."Kasihan Bu Endang, dulu susah payah usahanya untuk membangun rumah itu, tiba sekarang seenaknya saja Arman menjual, ibu kira dia sudah berpamitan sebelum menjual," sungut Bu Endah kesal.Apalah guna, Mas Arman sekarang sedang asyik menikmati uang hasil jual rumah, sedangkan yang kemarin juga uang kematian di bawa olehnya. Amit-amit ... batinku.Matahari mulai terik, aku memandang ke arah depan sambil menyipitkan mata, melihat beberapa ibu-ibu baru pulang dari kebun."Aaakkhh ...""Astaghfirullah ..., suara siapa itu, Thalia?" Bu Endah beranjak dari duduknya, menatap ke arah sumber suara yang ada di dalam rumah Dareen.Aku ikut berdiri di samping Bu Endah, secepatnya aku menarik lengan Bu Endah membawanya ke rumah Dareen.* * *"Mas, ada apa?" tanya Bu Endah menatap kerumunan p
"Iya. Kucing enggak tahu diri! Bisa-bisanya dia makan laukku sampai tinggal sedikit, nanti apalah yang mau ku kasih kalau Devan pulang?" sungutku kesal sambil berjalan ke ruang keluarga dan duduk bersama mereka."Mbak, jangan marah-marah sama bin*t*ng, kasihan dia, siapa tahu memang dia belum makan dari kemarin," sahut Shilla dengan suara lembutnya.Eeekkhh ...Suara sendawa, Wulan terdengar keras."Ih, kenyang betul nampaknya," ucap Shilla meringis menatap ke arah Wulan.Wulan hanya bisa meringis malu, baru sebentar aku merasa lega, kini dia sudah datang lagi dengan perutnya yang makin membesar.Wajah Shilla kini sudah tampak semringah setelah kami berbincang-bincang dengan waktu yang cukup lama.Wulan beranjak dari duduknya sambil mengenakan hijab yang sedari tadi ada di pundak menutupi payudaranya."Ta, Kakak pulang dulu lah, ya, itu abang mu sudah pulang nampaknya," ucap Wulan sambil membenahi hijabnya."Iya, Kak," sahutku mengangguk tanpa memandangnya.* * *Malam ini, aku merasa
Tangan dingin meraih kedua lenganku, tak lama kurasakan tubuh yang sangat dingin mendekap ku dari belakang."Maaas, terkejut aku, ih," sungut ku kesal saat aku menoleh ke belakang ternyata Devan, yang tak berbaju dan hanya dililit handuk di pinggangnya merangkul dari belakang.Shilla dan Dareen berbondong-bondong masuk ke dapur, mereka berdiri di tengah-tengah pintu menatapku.Tampak dari raut wajah Shilla dia ketakutan setelah mendengar jeritanku."Eh, Maaf," ucap Dareen tak enak hati sambil tersenyum. Telapak tangannya menutupi kedua mata sang istri yang ada di depannya menghadap kami."Malu, tau, Mas," ucapku manja pada suamiku.Devan tertawa lepas sambil memandang ke arah Dareen, suamiku kini benar-benar sudah seperti dulu lagi. Aku menggelengkan kepala sambil tangan kananku mengaduk teh panas yang ada di dalam gelas.* * *Malam ini kami berbincang-bincang di ruang keluarga bersama Dareen. Ternyata lelaki itu sebelum pindah di sini mereka tinggal di kota.Pantas saja Shilla terk
"Kenapa Rahayu ada di sini? Sejak kapan? Apa sejak Bude Sarni mengusirnya?"Sederet pertanyaan Mila yang membuat pikiranku semakin kacau, akhirnya aku menjawab, "Dari awal dia di sini, Mil, itu juga aku enggak tahu apa masalah sebenarnya. Tapi setelah aku tahu, diaku suruh pergi juga enggak mau."Mataku berkaca-kaca mengingat ucapan yang sangat tajam dari mulut Rahayu, gigi rahang saling beradu untuk melepaskan rasa geram."Mbak ..."Mila menggoyangkan kedua pundakku, dia menatapku dengan penuh rasa penasaran. Hijabnya yang miring sudah tak di hiraukannya lagi."Mbak, ini rumah, Mbak. Besar kuasa Mbak untuk mengusirnya dari sini," sungut Mila menatapku.Aku menghela nafas panjang lalu menghadap ke arah depan dengan tangan melipat di dada.Rahayu beranjak dan mengambil posisi berdiri di hadapanku."Mbak! Yuk, kita usir dia dari sini," ucap Mila tak sabar sambil memegang lenganku.Dor! Dor! Dor!Gedoran pintu terdengar keras, Mila tak kuasa menahan emosinya ketika kuberi tahu apa yang s
"Weeeh, sepele dia, Mbak." Mila berkacak pinggang menoleh ke arahku sambil menunjuk Wulan dengan buah apel yang sedari tadi di pegangnya, dengan gaya songongnya."Iihh, apa itu di kardus?" tanya Wulan sambil turun dari motornya jalan dan matanya mengarah kardus, "Mau laah," ucap Wulan mencomot buah bulat berwarna kuning.Aku meringis kesal menatap Mila, tanganku mulai mewadahi beberapa warna buah ke dalam kantong plastik. Kenapa Mila bisa lupa jika dia masih menghalangi pandangan Wulan?" Ck! ngeselin banget nih orang." Kaki sebelah kanan Mila menghentak di lantai, terlihat rasa kesal menyeruak di hatinya."Nasi sudah jadi bubur, sudah nampak mau gimana lagi," sindir ku melirik Wulan. Dia tak menghiraukan lirikan mataku."Eh, dari mana ini buahnya? Banyak kali?" tanya Wulan dengan mulut yang penuh buah."Mbak Thalia habis ketiban rezeki, jadi berbagi sama warga," sahut Mila ikut duduk di sampingku."Enaklah, ya, sering-sering saja kaya gini," ucapnya sambil tertawa lepas.Aku dan Mil