"Weeeh, sepele dia, Mbak." Mila berkacak pinggang menoleh ke arahku sambil menunjuk Wulan dengan buah apel yang sedari tadi di pegangnya, dengan gaya songongnya."Iihh, apa itu di kardus?" tanya Wulan sambil turun dari motornya jalan dan matanya mengarah kardus, "Mau laah," ucap Wulan mencomot buah bulat berwarna kuning.Aku meringis kesal menatap Mila, tanganku mulai mewadahi beberapa warna buah ke dalam kantong plastik. Kenapa Mila bisa lupa jika dia masih menghalangi pandangan Wulan?" Ck! ngeselin banget nih orang." Kaki sebelah kanan Mila menghentak di lantai, terlihat rasa kesal menyeruak di hatinya."Nasi sudah jadi bubur, sudah nampak mau gimana lagi," sindir ku melirik Wulan. Dia tak menghiraukan lirikan mataku."Eh, dari mana ini buahnya? Banyak kali?" tanya Wulan dengan mulut yang penuh buah."Mbak Thalia habis ketiban rezeki, jadi berbagi sama warga," sahut Mila ikut duduk di sampingku."Enaklah, ya, sering-sering saja kaya gini," ucapnya sambil tertawa lepas.Aku dan Mil
Terdengar suara gemericik air dan senggolan antara piring satu dan lainnya dari arah dapur. Sepertinya ada seseorang yang sedang mencuci piring. Perlahan aku beranjak dari dudukku, berjalan sempoyongan dengan tanganku menyentuh dinding selangkah demi selangkah. Pandanganku samar-samar menatap ke depan.Mataku membelalak melihat Rahayu sedang berdiri di depan wastafel, satu persatu piring yang baru dia cuci di susun di rak piring.Meja makan dan meja dapur sudah bersih mengkilap bagaikan meja di sebuah restoran konglomerat. Setelah kurasakan, lantai begitu bersih tak ada rasa pasir yang lengket di kakiku barang sebutir pun.Aku menoleh ke arah belakang memperhatikan seluruh lantai yang tertangkap oleh pandanganku memang sudah bersih mengkilap. Di tambah sekeranjang pakaian yang sudah siap jemur di dekat pintu dapur.Suara guyuran air dari dalam kamar mandi terdengar jelas di telingaku, dan aku yakin Devan sedang mandi."Mbak! Sudah bangun?"Suara Rahayu mengejutkanku.Aku tersenyum get
"Enggak, Mbak, soalnya besok setelah kirim doa, adik ipar dan mertuaku pindah ke sini. Mbak tahu? Ternyata rumah itu sudah di jual sama almarhum ayah, mas Harman," ucap Mila sambil mengambil posisi duduk di teras."Ooh, gitu," kepalaku mengangguk sambil memandangnya.Rahayu dan ibunya keluar dari dalam, wanita paruh baya itu menghapus air mata yang maish terus mengalir dari sudut matanya. Mila memandang mereka dengan mata membelalak, yang tadinya dia menghadap halaman rumah kini berputar menjadi menghadap pintu rumahku."M-mbak?" Sekilas mata Mila memandang mereka."Sssttt ..." Aku memberi isyarat supaya Mila diam, dengan telunjuk tanganku menempel di bibir."Ya, sudah, kamu pulang, ibu mau keliling dulu," ucap Bude Sarni menatap Rahayu.Rahayu menganggukkan kepala, mata gadis itu merah dan sembab. Gadis itu membawa pakaiannya menggunakan tas ransel suamiku.Tangan Bude Sarni meraih keranjang jualannya, dia melanjutkan perjalanan menuju rumah warga yang lain untuk menjajakan dagangan
"Pak! Jangan macam-macam, ya, sama saya," ucapku sambil terengah-engah menaran rasa takut. Peluh sudah membasahi area kening dan juga leherku.Matanya tajam menatap ke arahku, bibirnya meringis bak menginginkan sesuatu."Kau jangan terlalu setia sama, Devan, aku yang tahu dia," ucapnya dengan nada ketus.Aku yang tak mengerti apa maksudnya, terus mendorong daun pintu sekuat tenaga supaya pintu tertutup. Namun, tenaga lelaki tua itu lebih kuat dariku hingga akhirnya pintu terbuka."Pak! Apa mau bapak? Jangan sampai saya teriak!" Tegasku.Pria itu selangkah demi selangkah mendekatiku, dengan wajah bringas, dia terus memepetkan tubuhnya di tubuhku yang bersandar di dinding."Maaaak," suara putra sulungku terdengar.Secepatnya lelaki itu melangkah mundur sambil memperhatikan arah ruang keluarga, lelaki itu membalikkan badan lalu keluar dari rumahku.Nafasku ngos-ngosan, rasa takut masih menyelimutiku. Tangan dan kakiku masih bergetar hebat, jantungku juga masih berdegup kuat."Maaak," sua
"Mbak, aku boleh pinjam uang? 100 ribu saja, Mbak," ucap Mila lirih sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi."Mil, kamu kenapa?" Tanyaku sambil melangkah menghampirinya."Bapak mertuaku meninggal, Mbak," ucapnya sambil menangis sesenggukan."Innalilahi, Mil, aku sekeluarga tutut berdukacita, ya," ucapku meraihnya dalam pelukanku."Inalillahi, jadi kalian pulang kampunglah, ya, Mil?" Tanya suamiku yang ada di belakang memandang kami dengan tangan kanan memegang sepatu."Enggak, Mas, suamiku aja yang pulang," sahutnya setelah lepas dari pelukanku.Mila sangat terpukul, karena hanya bapak mertuanya yang baik padanya di antara keluarga Mas Harman.Aku menenangkan Mila, dengan menitahnya untuk duduk di teras rumahku. Aku berjalan ke arah dalam untuk mengambil uang yang ada di dompet."Mil! Ini ada 200, besok kamu balikinnya 100 saja, ya," ucapku sambil memberikan uang dua lembar berwarna merah padanya."Mbak, makasih banyak, ya. Tapi aku belum tahu kapan bisa balikin uangnya, Mbak,
Bude Sarni menghentikan langkahnya, dia menoleh ke arah Mila."Mbak, uangnya yang tadi malah ketinggalan," ucap Mila sambil memperlihatkan uang berwarna merah ke padaku."Walah, Mil. Tapi enggak apa-apalah, Mas Devan kaya' nya bawa dompet kok," ucapku sambil tersenyum."Ya, malah mendingan, Mil, enggak jadi punya hutang," timpal Bude Sarni sambil tersenyum, wanita itu menggeleng dengan melanjutkan langkahnya."Iya, Bude," sahut Mila cekikikan memandang bude yang sudah membalik badan, "Mbak, ini uangnya."Aku mengambil alih uang dari tangannya, "Kamu lagi enggak perlu uang, Mil?""Perlu sih, Mbak, tapi enggak sebanyak ini. Lima puluh saja, Mbak," ucapnya sambil tersenyum."Oke-oke.""Mil, Bude tahu dari mana kalau kamu hutang ke aku? Aku enggak ada cerita loh, Mil," ucapku lirih."Aku tadi mau hutang ke Bu Endah, Mbak. Tapi enggak ada katanya, mungkin dia cerita kalau aku cari hutangan," sahutnya dengan lesu.Aku membalik badan sambil memandang ke arah rumah Bu Endah, tak menyangka kal
"Mbak, kok serem, ya. Di rumahku enggak pernah loh ada ginian," ucap Mila dengan nafas ngos-ngosan menahan rasa takut.Hening ...Langkahan kaki itu sedang melewati kamarku, telingaku fokus mendengarkan setiap gerakan. Mataku terpejam saat suara gerakan itu berhenti.Aku dan Mila mencoba melupakan dengan berpura-pura tidur, kami meringkuk di dalam satu selimut. Namun, malah terdengar suara mengejutkan.Tok! Tok!Tangan Mila mencengkeram erat lengan kiriku karena aku menghadap putriku, mataku tak dapat kubuka. Hanya lafadz Allah yang selalu kubaca di dalam hati. Entah itu manusia ataupun sejenis jin iblis, aku yakin, Allah akan membantu.Suara ketukan itu berpindah di pintu depan, di mana ada kamar putraku di sebelahnya, seketika aku duduk. Ingin rasanya aku pergi ke kamar putraku. Namun, Mila menarik baju daster yang kukenakan di bagian pinggang."Mbak! Sudah biarin saja. Sebentar lagi pagi kok," ucap Mila dengan suara berbisik."Mil, masih lama paginya, ini masih jam dua. Aku takut p
"Lihat itu, Mbak!"Aku memandang ke mana jari telunjuk Mila mengarah. Mataku membelalak dengan mulut terperangah."Astaghfirullah," ucapku terkejut.Seekor kucing tergeletak dengan bangian punggung menganga hingga nampak isi dalam perutnya. Cairan kental berwarna merah membasahi bulu-bulu halus berwarna kuning di sekujur tubuhnya.Aku memejamkan mata, tak kuasa aku menatap mata bulat dengan wajah melas seperti ingin menangis, menjerit, bahkan meminta tolong."Mil, tolong geh, Aku enggak bisa lihat darah, Mil," ucapku sambil mengalihkan pandangan ke arah depan dengan mata berkaca-kaca."Mbak, pake apa, ya, nutupnya?" Tanya Mila sambil berjalan ke arah dapurku.Aku ikut melangkah di belakang Mila, kubuka karung berisi baju bekas kami. Kuambil baju bekas milik Devan."Ini saja," ucapku sambi memberikan sehelai baju kaos oblong berwarna hitam yang sudah memudar warnanya."Mil, aku tunggu di depan, ya," ujarku sambil menutup pintu dapur.Aku mengeluarkan motor dari dalam rumah dengan jantu