Tania tersentak ketika mendengar ketukan pintu yang keras dan bertubi-tubi."Siapa yang mengetuk pintu seperti itu? Mengganggu saja!" Ia segera bangkit dari tempat tidurnya.Aryo sejak pagi sudah pergi dari rumah. Di akhir pekan seperti sekarang ini dia juga sering pergi sejak pagi dan pulang larut. Ibu Aryo masih tinggal di rumah itu, tetapi kondisinya kini sudah jauh lebih baik. Ibu Aryo sudah bisa berjalan perlahan dan mandi sendiri.Tania membuka pintu dan terkejut melihat dua orang bertubuh kekar dan berjaket hitam."Cari siapa?""Mana Aryo?" tanya seorang pria dengan suara keras."Mas Aryo gak ada di rumah. Dia pergi sejak pagi.""Kemana dia? Sepertinya dia memang sengaja menghindar.""Katanya ada pekerjaan. Kalian ini siapa?" Tania memang belum pernah melihat mereka."Kami anak buah Pak Suroto," jawab pria lainnya."Ada urusan apa kalian kemari?""Kamu siapanya Aryo? Istrinya? Kamu pasti bersekongkol dengannya. Gak mungkin kalau kamu gak tahu bahwa Aryo punya hutang pada kami.
"Pak, saya sedang butuh uang. Apa Bapak bisa meminjamkan uang untuk saya?" tanya Aryo pada temannya melalui sambungan telepon."Berapa?" "Cuma tiga puluh juta," jawab Aryo."Apa?! Dari mana aku uang sebanyak itu?" seru pria itu."Gak ada ya Pak?" Aryo mendengus kecewa.Ini adalah orang ketiga yang Aryo hubungi malam itu. Telepon lainnya bahkan tidak terjawab, karena mungkin sudah tahu apa tujuan Aryo menghubungi mereka."Mas, sudah dapat pinjaman?" Tania meletakkan secangkir teh di meja. Aryo menggelengkan kepalanya pasrah."Apa yang harus kita lakukan?" "Entahlah, aku pusing memikirkan semua ini. Belum lagi menghadapi kemarahan dan emosi ibu," jawab Aryo."Wajar ibu marah dan kaget. Mereka datang tiba-tiba dan membuat keributan. Mungkin semua tetangga sudah mendengar tentang hal ini. Apa aku harus minta tolong sama Indah?" "Indah? Kamu gak punya rasa malu, Mas? Jelas-jelas dia sudah menolak kamu dan memutuskan hubungan," cibir Tania."Lalu apa yang harus aku lakukan, Nia? Tolong b
"Apa?! Bagaimana itu bisa terjadi?" Sandy langsung berdiri dan menjauhi meja makan. Indah dan Sandy terpaksa menghentikan aktivitas makan malam mereka.Indah menatap suaminya, ia yakin telah terjadi sesuatu yang serius di kantor cabang perusahaan.Sandy berjalan bolak-balik sambil berbicara melalui ponsel. Indah hanya bisa berharap, masalah yang sedang terjadi bisa segera diatasi.Sekitar sepuluh menit Sandy berbicara di telepon. Setelah itu ia kembali duduk di kursinya sambil menghembuskan nafas berat."Ada apa, Mas?" tanya Indah."Ada masalah di kantor cabang Medan." Sandy meletakkan ponselnya di atas meja. Ia mengambil gelas dan membasahi kerongkongannya dengan air. Sepertinya selera makan Sandy sudah hilang karena telepon penting itu."Masalah apa, Mas? Apa sangat serius?" Indah menatap suaminya."Selama ini kantor cabang Medan gak pernah mengalami kerugian. Tapi kali ini terjadi kerugian, bahkan beberapa kolega meninggalkan perusahaan kita dan lebih memilih perusahaan pesaing."
Sore itu Aryo pulang dengan wajah ceria. Ia langsung masuk ke dalam kamar ibunya."Lihat ini Bu! Sertifikat rumah Ibu sudah ada di tanganku. Masalah hutang ini sudah bisa kita atasi."Ibu Aryo bangun dan duduk, ia langsung menerima buku sertifikat itu dan memeluknya dengan lega."Tapi dari mana kamu mendapatkan uang, Nak?" tanya Ibu Aryo."Ibu gak perlu pikirkan itu. Yang penting rumah Ibu aman dan gak jadi disita," jawab Aryo.Tania yang mendengar percakapan itu mendekati Aryo dan menarik tangannya keluar dari kamar."Mas, kamu dapat pinjaman dari siapa? Kenapa kamu bisa dapat uang dengan cepat seperti itu?""Sst.. kamu tenang saja, yang penting semua persoalan ini beres."Aryo membuka tasnya dan mengeluarkan setumpuk uang dan menyerahkannya pada Tania. Mata Tania melotot dan ia terpaku melihat uang itu."Ini uang asli, Mas?" "Tentu saja, mana mungkin yang palsu?""Bukan begitu, Mas. Ini banyak sekali. Aneh rasanya kamu bisa mendapat uang dalam waktu singkat. Ceritakan padaku, dari
"Tania, setelah menikah kamu makin cantik," puji Pak Basuki. Pak Basuki menarik tangan Tania untuk duduk di sampingnya."Ah, Om bisa saja." Tania tersenyum genit."Kamu menikah sama Aryo, atasanmu itu, kan? Sayang sekali, padahal kalau kamu mau, aku bisa menjadikanmu istriku." Pak Basuki menggenggam tangan Tania dengan erat."Ah, Om ini pintar merayu? Jadi istri simpanan Om? Gak mau ah.""Eh, Om ini duda. Anak-anak sudah besar dan tinggal di luar negeri, jadi gak akan jadi masalah kalau Om cari seorang istri yang akan menemani Om yang kesepian ini." Tania berusaha melepaskan tangannya yang mulai terasa sakit. Jika bukan demi uang, Tania juga tidak Sudi berdekatan dengan Pak Basuki yang terlihat lebih pantas menjadi ayahnya itu. Saat duduk di dekat Pak Basuki, Tania harus menahan nafas karena bau minyak angin di tubuh Pak Basuki, belum lagi mulutnya yang berbau tidak sedap."Om, aku haus, boleh pesan minuman?" Tania berusaha mengalihkan pembicaraan dari rayuan yang membuatnya semakin
Tania menerima obat itu dengan gemetar."Mas, aku gak berani. Bagaimana kalau Pak Basuki tahu rencana kita? Dia bisa membunuh aku." "Cepat kembali ke kamar! Kita gak boleh lama-lama di sini. Anak buah Pak Basuki bisa melihat kita." Aryo menurunkan topinya dan cepat berlalu masuk ke dalam elevator."Tapi, Mas.." Belum sempat Tania menyelesaikan ucapannya, Aryo sudah menghilang.'Sial! Suamiku sendiri menjadikan aku alat demi uang.' gumam Tania.Tania kembali masuk ke dalam kamar hotel itu. Ia tersentak melihat Pak Basuki sudah duduk di atas tempat tidur sambil bertelanjang dada."Lama sekali kamu, Nia. Jangan mencoba untuk kabur, ya!" "Eh, maaf Om." Tania merasa ngeri melihat tubuh besar Pak Basuki dengan lemak yang bergelambir. Ia meringis dan berusaha berpikir mencari cara dan alasan yang tepat untuk menghindar dari pria itu."Om, aku mau mandi dulu. Tubuhku sudah berkeringat sejak tadi. Aku gak percaya diri di hadapan Om. Sabra sebentar, ya!" kata Tania. "Jangan membuat aku lama
Tanpa terasa sudah tiga hari Sandy pergi ke Medan. Di siang hari, Sandy sangat sibuk dengan pekerjaannya. Ia hanya bisa membalas pesan Indah di sela waktu makan siangnya.Saat malam menjelang, Indah menunggu telepon dari suaminya itu. Mereka biasa melakukan panggilan video dan berbincang mengenai banyak hal.Malam itu Indah duduk di atas tempat tidurnya, berulang kali ia melihat gawainya yang ada di atas nakas. Ia menunggu Sandy menelepon lebih dulu. Malam ini Sandy sedikit terlambat, karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Indah menjadi gelisah, tapi ia harus bersabar karena pekerjaan suaminya memang sangat padat.Sepuluh menit kemudian, telepon berdering. Indah tersenyum dan menjawab panggilan telepon itu."Halo, Mas." Indah melihat di layar wajah suaminya. Rambutnya masih basah karena baru selesai mandi. Terlihat jelas gurat lelah di wajah Sandy, tetapi ia tetap menyunggingkan senyum."Maaf aku membuatmu lama menunggu. Aku baru selesai pertemuan dengan seluruh kepal
Indah langsung menjalani pemeriksaan untuk mengetahui apakah dirinya bisa mendonorkan darah untuk Irene. Beruntungnya, kondisi tubuh Indah memenuhi syarat untuk pengambilan darah itu.Irene dipindahkan ke ruang perawatan dalam kondisi masih belum sadarkan diri. Mama Irene terus menangis melihat kondisi putrinya yang tak berdaya.Setelah diambil darahnya, Indah dan Bu Ratna menjenguk Irene di ruangannya."Indah, terimakasih karena kamu sudah mau menolong Irene. Maaf kalau selama ini sikap Irene kurang baik padamu." Mama Irene menghapus air matanya yang mengalir dengan tisu."Iya, Tante. Saya tahu kalau Irene sebenarnya anak yang baik. Kondisi Irene pasti akan segera membaik, Tante," kata Indah."Sabar, Irene anak yang kuat, dia pasti segera sadar dan akan cepat pulih," imbuh Bu Ratna sambil mengusap pundak Mama Irene.Perawat melakukan transfusi darah untuk Irene. Indah memilih keluar dari ruangan untuk mencari udara segar. Ia duduk di kursi di depan ruangan dan meminum teh manis hanga