Sampai esok harinya suasana hati Indah menjadi tidak nyaman karena ulah Tini. Setelah Indah menegurnya, Tini mengurung diri di kamar. Indah bahkan harus mengetuk pintu kamar Tini berulang kali sebelum berangkat bekerja.Tini keluar dari kamar dengan mata sembab dan wajah lesu."Ibu dan bapak mau berangkat kerja. Bereskan rumah, ya!" ucap Indah singkat. Tini hanya mengangguk lemah sambil menutup pintu kamarnya dari luar.Di sepanjang perjalanan Indah hanya duduk diam di samping Sandy yang menyetir mobilnya."Sudahlah, Sayang. Aku yakin Tini gak punya maksud jahat. Dia masih sangat muda, mungkin sikap dan pemikirannya belum dewasa dan masih labil."Indah mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil. Mungkin saja ia memang terlalu curiga dan sensitif, tapi Indah merasa tidak ada salahnya untuk mengantisipasi.Indah dan Sandy tiba di restoran. Pagi itu Bu Ratna juga sudah tiba untuk meninjau perkembangan restoran yang baru. "Pagi, Ma," Sandy mencium pipi sang mama.Indah juga memeluk Bu R
"Apa-apaan kamu, Tin? Jangan lancang!" Sandy melepaskan pegangan tangan Tini."Pak, saya sudah gak tahan lagi. Saya suka dan cinta sama Bapak." Tatapan gadis itu kini bukan seperti gadis lugu."Kamu mabuk? Aku ini majikanmu. Tolong jaga sikap dan ucapanmu!" Sandy terus menghindar dan menjauhkan diri dari gadis itu."Pak, apa kurangnya saya dari Bu Indah? Saya cantik dan lebih muda dari Ibu. Sebelum menikah dengan Bapak dia itu janda, kan? Kalau saya masih perawan, Pak. Saya rela menyerahkan hal yang paling berharga dalam diri saya pada Bapak. Saya yakin kalau Bapak akan bisa menyukai saya." Tini mendekati Sandy kembali."Jangan mendekat! Saya peringatkan kamu!" Sandy berteriak."Pak, jangan pura-pura gak mau begitu! Saya tahu Bapak bosan dengan perempuan galak dan ketus seperti Bu Indah. Apa salahnya Bapak coba dulu mendekati saya? Saya pasti akan bersikap lembut dan lebih baik sama Bapak." Tini semakin gencar menggoda Sandy.Sandy tidak punya jalan lain selain melarikan diri dan kelu
Pagi itu Indah sedang memeriksa laporan keuangan restoran di dalam ruang kerjanya. "Pagi, Indah." Bu Ratna masuk ke ruangan dengan gaya anggunnya. "Pagi, Ma. Mama sudah sarapan?" sapa Indah."Sudah. Kenapa wajahmu pucat dan lelah begitu, Nak?""Ah, gak apa-apa, Ma. Indah sehat koq."Beberapa hari ini ia merasa lelah, karena setiap pulang dari restoran, Indah harus mengurus Arinna, Charles, dan mengerjakan pekerjaan rumah. "Kamu gak ada niat untuk mencari pembantu baru, Nak?" tanya Bu Ratna."Belum terpikir, Ma. Setelah kejadian kemarin, Indah masih takut untuk mempercayai orang baru. Indah sudah memperlakukan Tini dengan baik, tapi ternyata dia punya niat buruk. Memang gak mudah mencari orang yang bisa kita percayai, ya Ma," jawab Indah."Nanti Mama coba hubungi Bi Ijah. Dia dulu bekerja di rumah Mama dalam waktu cukup lama. Dia mulai bekerja sejak masih gadis, dan baru keluar setelah hamil dan mempunyai anak. Pekerjaannya rapi dan baik, orangnya juga bisa dipercaya. Mama sudah me
Bu Ratna memberi tahu Indah bahwa Bi Ijah mau bekerja di rumahnya. Indah menerima saran mertuanya itu, apalagi menurut mama mertuanya, Bi Ijah orang yang baik dan bisa dipercaya.Sore itu Bu Ratna datang ke rumah Indah bersama seorang wanita paruh baya yang menenteng sebuah tas."Indah, ini Bi Ijah yang Mama ceritakan kemarin." kata Bu Ratna.Indah tersenyum menyalami wanita itu. Indah melihat Bi Ijah cukup ramah dan keibuan. Ia berharap kali ini telah menemukan orang yang tepat untuk bekerja di rumahnya."Bi Ijah, ini menantu saya, Indah." Bu Ratna melirik Bi Ijah."Wah, ini istrinya Nak Sandy? Cantik sekali," puji Bi Ijah."Hubungan kita sudah cukup lama terjalin dan selama ini sangat harmonis. Saya percaya Bibi bisa bekerja dengan baik sambil menjaga anak-anak saya di sini." Bu Ratna tersenyum dan mengusap bahu Bi Ijah."Terimakasih atas kesempatannya, Nyah. Bibi janji akan bekerja sepenuh hati seperti dulu. Walaupun Bibi sekarang sudah tua, tapi Bibi masih bisa mengerjakan semua p
Indah mengerjapkan matanya berulang kali, ia melihat tubuhnya dan sang suami polos dan hanya sebagian tertutup dengan selimut. Indah meraih ponselnya dari atas nakas dan melihat jam di layar. "Jam dua? Ah, pasti Bi Ijah bingung tadi karena Mas Sandy dan aku gak jadi makan malam."Indah tersenyum menatap suaminya yang masih terlelap. Setelah semalam berpelukan, adegan selanjutnya memang sudah bisa ditebak. Mereka malah bercinta sampai kelelahan dan tertidur.Indah mengulurkan tangan dan memeriksa kembali dahi suaminya."Syukurlah, sudah gak demam." Indah mendekat dan mengecup kening Sandy.Setelah itu ia beringsut turun dari tempat tidur dan membersihkan diri di kamar mandi. Beberapa menit kemudian, Indah sudah kembali ke tempat tidurnya. Ia menyelimuti tubuh Sandy yang tetap terlelap. Pria itu sempat sedikit membuka mata dan meraih Indah ke pelukannya. Indah tersenyum kecil sebelum kembali masuk ke alam mimpinya.---Pagi itu Indah bangun awal seperti biasanya. Ia sengaja membiarkan
"Sampai kapan Mas mau seperti itu?" Aryo tersentak mendengar suara Tania yang sudah berdiri di belakangnya. Aryo yang sedang duduk di sofa sambil memandangi foto-foto Indah dan kedua anaknya langsung menutup layar ponselnya."Apa sih? Datang-datang langsung marah. Bisa gak sekali-kali bicara yang sopan dan baik sama suamimu?" ujar Aryo."Kamu masih sering memikirkan mantan istri dan anak-anakmu. Iya kan, Mas? Lalu kamu anggap apa aku dan Cahaya?" Tania meradang."Aku gak sengaja melihat fotonya. Kamu jangan terlalu sensitif dan melebihkan masalah!" elak Aryo."Bohong kamu, Mas! Kalau tahu akan begini, aku gak mau menikah denganmu!""Cukup, Nia! Aku dan Indah sudah bercerai. Di antara kami ada kenangan yang gak mungkin akan dapat dihilangkan begitu saja. Kalau aku masih mengingat atau berhubungan dengan Indah, itu semata-mata karena ada Arinna dan Charles di antara kami.""Ingat, Mas! Ada Cahaya yang harus kamu jaga hati dan perasaannya. Dia gak bersalah, Mas." Tania menatap Aryo sung
Indah dan keluarganya berlibur selama lima hari. Liburan pertama dalam keluarga mereka ini memberikan kesan mendalam dan kebahagiaan di hati Arinna dan Charles. Setelah hari-hari yang menyenangkan itu berlalu, mereka harus kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Arinna akan kembali masuk sekolah, sedangkan Indah dan Sandy harus kembali mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing. Sore itu mereka dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Jalan agak tersendat karena dipenuhi oleh kendaraan para karyawan yang pulang dari kantor.Indah yang duduk di samping Sandy melihat ke bangku belakang mobil mereka. Ia tersenyum melihat Arinna dan Charles tidur karena kelelahan. Mereka merasa puas berjalan-jalan dan berbelanja. Saat di hotel Arinna dan Charles juga selalu meminta untuk berenang. "Anak-anak sepertinya kelelahan," kata Sandy sambil tetap fokus mengemudi."Iya, Mas. Tapi mereka sangat bahagia karena baru pertama kali liburan seperti ini." Indah menggenggam tangan kiri Sandy dengan erat
"Bulan ini memang sudah terlambat satu Minggu, Bi. Apa mungkin?" Indah menggigit bibirnya."Cek saja supaya pasti, Neng." Bi Ijah dan Ibu saling melempar senyum.Sandy masuk ke kamar setelah menerima sebuah panggilan telepon. "Sayang, aku harus ke kantor, karena ada pertemuan dengan klien yang gak bisa ditunda." Wajah Sandy masih terlihat sangat cemas."Mas pergi saja. Aku gak apa-apa, Mas. Tapi nanti pulang kerja tolong beli alat tes kehamilan, ya!" pinta Indah.Sandy tercengang mendengar permintaan Indah. Apalagi ketika ia melihat Ibu Indah dan Bi Ijah malah berwajah ceria dan tersenyum penuh arti."Maksudnya Indah hamil, Bu, Bi?" tanya Sandy."Ada kemungkinan Nak, karena tanggal menstruasi Indah sudah terlewat." Ibu Indah memberi penjelasan."Ah, sungguh? Aku senang sekali kalau memang ini gejala kehamilan, Sayang." Sandy menggenggam erat tangan Indah."Belum pasti, kita harus memeriksanya dulu, Mas," ujar Indah."Iya, Sayang. Kalau begitu sekarang juga aku akan membeli alat tes k