Lidah matahari mulai menggigit. Halaman Istana Kedatuan Sriwijaya terlihat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Kegembiraan mulai tampak melalui senyum indah para penghuninya. Mulai dari pengurus kuda rendahan hingga penguasanya.Pagi beranjak siang itu, Pangeran Indrawarman tampak berkeliling lingkungan istana. Saat berkeliling pagi itu, ia tak henti menyapa seluruh abdi istana yang ditemuinya. Sementara itu, Senapati Madya Arsa setia selalu berada disampingnya bersama beberapa orang prajurit pengawal Datu."Senapati Arsa, aku senang pagi ini. Satu tugasku telah selesai. Kita telah berhasil menumpas pemberontakan Rajaputra Aruna dengan baik!" kata Pangeran Indrawarman pada Senapati Madya Arsa."Amba Senapati.""Tapi jujur masih ada dua hal yang mengganjal dihatiku."Senapati Madya Arsa mengerti arah kalimat Pangeran Indrawarman. Tapi sebagai hamba, dia tak mungkin mendahului tuannya."Ampuni Amba Pangeran. Jika Amba boleh tahu, apakah yang masih mengganjal di dalam hati Tuanku?""Hilan
Ada raut sedih pada wajah Aditya. Candra tak menduga laporannya barusan akan membuat hal itu terjadi."Kenapa kau Aditya?" tanya Pak Cik melihat perubahan Aditya."Tak ada apa-apa Pak Cik. Aku hanya kaget mendengar berita dari Candra barusan."Pak Cik penasaran. Ia masih mengejar Aditya dengan pertanyaan."Kalau aku boleh tahu, siapakah Sadnya itu? Sepertinya nama itu cukup akrab dengan kalian berdua?""Sadnya adalah salah satu senapati madya yang dimiliki oleh Sriwijaya," jawab Candra."Lalu apa hubungan Sadnya dengan kalian berdua? Bukankah ia adalah musuh bagi kita hari ini?""Kau benar Pak Cik. Jika dilihat dari perseteruan antar negeri, Sadnya adalah musuh kita. Karena ia prajurit Sriwijaya. Tapi, karakter teguh yang dimiliki perwira Sriwijaya yang satu ini membuat kami berdua bersimpati padanya. Walaupun kami berdua tak mengenalnya secara pribadi," lanjut Candra menjelaskan siapa Sadnya dan hubungannya dengan mereka berdua.Mendengar pembicaraan mulai melebar pada Sadnya sebagai
Pangeran Idrawarman duduk termangu di ruang utama Istana Kedatuan Melayu. Raut mukanya sedang kurang nyaman. Berulang kali ia menarik nafas panjang. Entah apa yang sedang mengganggu pikirannya saat ini.Kegundahan Pangeran Indrawarman itu tak berlangsung lama. Permaisuri Sobakencana tak lama kemudian telah muncul dan duduk tak jauh dari putranya."Ananda Pangeran, Ibu Ratu lihat setelah selesai kita menumpas Rajaputra Aruna, kau lebih sering melamun. Apa sebenarnya yang membuat kau demikian gundah anakku?"Pangeran Indrawarman tak langsung menjawab pertanyaan Ratu Sobakencana. Ia diam beberapa dan saat dan menarik nafas panjang."Hhhh...Ibu Ratu bisa membaca hati Amba.""Pangeran, kau anakku. Dari rahimku ini kau kukandung dan kulahirkan. Dari payudaraku ini kau kususuim dari kedua tanganku ini, kau kubesarkan. Anakku, aku kenal betul sifatmu. Kau tak bisa menyembunyikan kegelisahanmu dari ibumu ini. Ceritakanlah padaku. Siapa tahu itu bisa menemukan jalan keluar. Setidaknya meringank
"Pangeran, kini aku akan menceritakan kenapa Kedatuan Srwijaya harus mengirim ekspedisi penaklukkan ke Pulau Bangka. Secara geografis daerah Pulau Bangka, merupakan dataran yang berhadapan langsung dengan Selat Bangka yang bermuara juga sungai-sungai di Mukha Upang, Sungsang, dan Saleh dari daratan Swarna Dwipa. Disekelilingnya, di sebelah barat, Utara, dan timur masih tertutup hutan rawa pantai. Disebelah selatan tanahnya agak berbukit-bukit. Bagian yang tertinggi disebut Bukit Besar dengan ketinggian sekitar 125 meter di atas permukaan laut. Di sebelah utara, membentang dari timur laut menuju barat mengalir Sungai Mendo yang bermuara di Selat Bangka setelah sebelumnya membelah daerah rawa-rawa," ujar Ratu Sobakencana panjang lebar. Karenanya keluasan pengetahuan sang ibu, pewaris takhta Kedatuan Sriwijaya ini dibuat terkagum-kagum.Ratu Sobakencana melanjutkan ceritanya."Dengan letak mengapit Selat Bangka bersama-sama Swarna Dwipa, kau bisa bayangkan betapa strategis posisi Pulau B
"Aku setuju dengan usulanmu Aditya. Memang sudah saatnya kita lebih maju lagi," ujar Pak Cik menanggapi ucapan Aditya."Bagaimana denganmu Candra?""Aku selalu siap sobatku!""Baiklah sekarang kita langsung berbagi tugas!" ujar Aditya tanpa basa-basi. "Berdasarkan semua laporan hari ini, menurutku paling tidak ada empat hal utama yang harus kita lakukan.""Apa saja itu Aditya?" tanya Pak Cik."Pertama, kita harus tetap mencari informasi sebanyak-banyaknya dari pihak Sriwijaya. Terutama tentang informasi ekspedisi penaklukkan ke Kerinci Rendah, Pulau Bangka, dan Palas Pasemah. Aku sendiri yang akan bertanggung jawab atas hal ini. Kedua, harus ada salah satu dari kita yang fokus merembeskan dan membangun kekuatan prajurit Melayu untuk mengepung Istana Kedatuan Melayu yang saat ini dikuasai Sriwijaya. Tapi tindakan ini harus terukur dan boleh gegabah. Karena ini menyangkut keselamatan Datu Melayu dan keluarganya. Untuk tugas ini, siapa yang bersedia bertanggung jawab?" tanya Aditya pada
"Sekarang giliranku," Aditya meneruskan menyampaikan rencananya. "Sebelum lupa, aku hanya mengingatkan. Semua yang kita lakukan bersifat organik. Artinya, semua, satu sama lain saling berkaitan. Maka apabila ada satu rencana yang gagal, ini akan sangat mempengaruhi keseluruhan operasi militer kita. Maka dari itu, aku mengingatkan kita semua untuk berhati-hati. Jangan sampai ceroboh dan gegabah dalam mengambil keputusan dan bertindak! Sampai di sini paham?""Paham!" jawab Pak Cik dan Candra."Baik. Aku akan sampaikan rencana-rencanaku dalam operasi gangguan keamanan di pedalaman. Setelah pertemuan ini, langkah pertama yang kulakukan adalah pergi ke wilayah-wilayah target tentunya. Aku memerlukan pemetaan kondisi geografis dan pemetaan sebaran kekuatan militer Sriwijaya di pedalaman. Selain itu, aku juga harus benar-benar mendapatkan gambaran utuh mengenai kondisi masyarakat Melayu pedalaman di bawah penjajahan Sriwijaya. Semua data ini harus aku padukan. Khusus data sebaran kekuatan mi
Tak butuh waktu lama. Kebisuan itu segera dipecahkan oleh Pak Cik. Mula-mula Pak Cik terhenyak mendapat pertanyaan yang cukup sulit dijawab dari Candra. Tapi pengalaman keprajuritan dan penguasaannya terhadap alam negeri Melayu, menyebabkan Pak Cik percaya diri untuk menjawab pertanyaan Candra."Luar biasa! Aku tak menyangka mendapat pertanyaan yang begitu baik Candra. Terimakasih, karena pertanyaan ini mengingatkanku agar tak teledor membangun jalur telik sandi darat.""Lalu bagaimana jawabanmu tentang masalah itu Pak Cik?" Candra kembali bertanya."Jalur darat dari Melayu hingga Kerinci Rendah sudah pasti melalui bentang alam berupa rimba raya, jurang, dan sungai-sungai. Khusus untuk rimba raya, aku dan para sigindo di Kerinci Rendah bersepakat tidak membangun jalan sama sekali. Walaupun itu berupa jalan setapak. Yang dilakuan hanyalah memberi tanda seperti cakaran harimau pada kulit kayu-kayu tertentu. Dengan begitu, tak ada jalan sama sekali yang bisa dijadikan penanda jalur telik
Pagi yang permai. Kristal bening embun direrumputan belum lagi mengering. Sinar matahari yang berbinar ceria membuat kristal embun itu tertimpa cahaya dan memantulkan sinar yang elok dipandang. Pagi itu suasana Istana Kedatuan Melayu tak seperti biasanya. Ratusan kuda telah disiapkan di halaman istana layaknya akan diadakan gelar pasukan. Suasana makin hiruk akibat ratusan prajurit yang hilir mudik mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.Di waktu yang telah dijadwalkan, suasana ramai dan hiruk itu berubah senyap. Ratusan prajurit kini telah berbaris rapi di samping kuda masing-masing. Sementara, ratusan lainnya berbaris di sisi yang lain. Tak lama kemudian, dari arah dalam Istana Kedatuan Sriwijaya, dengan langkah tegap, Pangeran Indrawarman berjalan di muka, dikuti oleh rombongan kecil yang terdiri dari Ratu Sobakencana, Bhiksu Dharmapala, Senapati Madya Arsa, dan beberapa orang prajurit pengawal Kedatuan. Tak tampak Selir Laksita didalamnya.Begitu sampai di teras istana, ro