Sesampainya di padepokan, Rekso dibuat terkejut karena separuh dari pasukan Joko sudah tumbang oleh seorang laki-laki. Auranya sangat kuat dan tekanannya terasa sekali.
“Akulah lawan kalian sekarang,” ucap laki-laki tersebut. Dia tiba-tiba berdiri di belakang Rekso dan Joko di baris belakang pasukan Elang Hitam.
Joko dan Rekso menoleh ke arah sumber suara. “Akhirnya kau keluar juga, Langkir bodoh! Ini adalah pembalasanku pada muridmu yang kurang ajar terhadap perguruan Elang Hitam!” Teriak Joko keras sekali.
“Ahh, ternyata kau ditunggangi oleh tikus tengik bernama Wusasena itu ya... tidak buruk. Tapi ingatkah dulu kalian berdua pernah bersujud memohon ampun seperti pecundang?”
“Jangan remehkan kami berdua, Langkir! Lima tahun berlalu dan kami sudah lebih kuat dari yang kau pikirkan. Ingatlah, ini adalah hari kematianmu!”
Ki Langkir Pamanang sudah tahu kalau dirinya sedang dibidik oleh para pemanah di bagian Timur padepokan. Dia mengalihkan per
Tabrakan energi tersebut menimbulkan gempa, tapi hanya sebentar. Ki Langkir, Rekso, dan Joko sudah kembali dalam posisi kuda-kuda mereka.“Keluarlah, Pedang Kawah Welirang!” Ki Langkir berteriak keras.Dari kejauhan, muncul cahaya putih yang bersinar. Sinarnya menembus gelapnya hutan dan terhenti pada sebuah mustika berbentuk elang yang ada dalam genggaman Ki Langkir.Pedang tersebut melesat cepat dan sejurus kemudian sudah berada dalam genggaman Ki Langkir Pamanang. “Dasar murid tidak tahu diri!” Teriaknya sambil mengacungkan Pedang Kawah Welirang tinggi-tinggi.Joko mendeteksi ancaman yang terjadi. Dia bisa merasakan energi aneh dari pedang yang dipegang mantan gurunya. Semacam energi putih, tapi bukan kekuatan pendekar aliran putih.“Awas, Adik!” Joko mengingatkan Rekso akan Ki Langkir. “Pedang itu adalah pusaka kebanggaan Guru Langkir. Dia bisa memelar dan lentur sesuai perintah empunya.”R
Meskipun sudah lama tidak bermain pedang, Ki Langkir masih menguasai teknik dasar. Pergerakan tangan dan lekukan pergelangannya sangat lincah. Hal tersebut membuat Joko kerepotan.Ki Langkir diam beberapa detik untuk mengatur nafas. Ia pusatkan tenaga di kaki kanan dan melompat untuk melancarkan serangan kejutan. Serangan tersebut mengincari leher Joko namun bisa ditangkis dengan cakarnya.“Sialan! Kau masih terlalu kuat, Guru!” Joko mengumpat kesal.Rekso memperingatkan kakaknya, tapi sayang pandangan Joko sudah dibutakan oleh obsesi balas dendam kepada Ki Langkir. Kepercayaan dirinya menguasai. Dia sangat yakin bisa menang.Mata Ki Langkir menatap celah tersebut dan kesempatan ini dimanfaatkannya untuk menyerang lagi dan lagi. Saat Joko sudah terpojok, Rekso memanah mengincar tengkuk Ki Langkir, tapi sang sang pertapa berhasil menghindar.Ki Langkir meloncat ke atas dan memusatkan “Kekuatan Kawah Welirang!”Serangan
Asoka menyuruh Barok untuk duduk sejenak sembari dia mengatur nafas. Ajian Sepuh Angin sangat menguras tenaga dan mereka mungkin masih separuh perjalanan menuju padepokan.“Soka, Gawat!” Gatra tiba-tiba bangun dan terkejut.Dia keluar dari tubuh Asoka dengan wujud gagak hitam raksasa. Matanya merah menyala. Sepertinya Gatra menangkap sinyal adanya pertumpahan darah di sekitar sini.Gagak tersebut sudah bangun dari tidurnya dan selesai mengisi tenaga. Dia langsung menyuruh Asoka bergegas karena pertarungan sedang berkecamuk.“Bagaimana kau bisa tahu tentang penyerangan itu, Guru?” Tanya Asoka singkat.“Mustika merah ada di padepokan. Aku bisa merasakan bau, energi, dan suara yang ada di sana.”“Tidak mungkin, Guru. Ini baru memasuki tengah malam. Biasanya pendekar hitam akan menyerang minimal pukul dua pagi atau ketika fajar menyingsing.”“Lihat temanmu... dia sudah kelelahan. Kekua
Di dalam padepokan, Raden Kusuma menyaksikan banyak sekali panah yang mengucur deras dari langit-langit.“Lindungi bagian atas kalian!” Teriaknya kepada seluruh murid padepokan Ajisaka.Dia baru ingat kalau Ki Langkir memberi informasi jika di sebelah Timur padepokan ada pasukan pemanah berjumlah sekitar dua puluhan orang.Lupa sejenak, mati pasukan seribuan. Semua sudah terlambat. Panah terlanjur diguyurkan ke arah lapangan tengah padepokan. Beberapa murid padepokan sempat membentuk perisai energi di bagian atas mereka.Tapi sayang, di kiri-kanan sudah berkeliling musuh. Empat murid padepokan tewas karena tusukan tombak. Satu di antaranya terkena sabetan pedang hingga perut dan kakinya terpisah.Raden Kusuma sangat murka. Murid padepokan Ajisaka adalah harta paling berharga yang pernah ia miliki. Selama menikmati masa tua, Raden Kusuma hanya ditemani oleh belasan muridnya.“Jangan bermain api dengan padepokan Ajisaka!&rdqu
Mereka menyerang Ki Langkir dengan segenap kekuatan yang tersisa.Gatra mendeteksi sebuah pusaka dengan tenaga putih yang sangat kuat. Letaknya agak jauh dari mustika merah yang ada di padepokan.Dia tidak ingin memberitahu Asoka lebih dulu karena masih penasaran tentang pusaka apa yang sedang dirasakannya.“Beberapa menit lagi dan kau akan sampai di padepokan,” ujar Gatra membatin.Asoka mengangguk. Dia percaya kepada Gatra. Gagak tersebut pasti merasakan keberadaan mustika merah yang selama ini menjadi rumahnya.“Barok, sebentar lagi, tahan tubuhmu!” Asoka mengaitkan pegangan Barok yang semakin lama semakin mengendor. “Kurang beberapa menit.”“Tapi, Soka, mataku sudah sangat mengantuk.”“Perut aja besar, nahan kantuk nggak bisa! “Tak lama, terdengar suara ledakan. Asoka dan Barok kaget. Mereka berdua tidak tahu kalau ledakan itu adalah hasil dari pertarungan Ki Lang
Perlahan, Barok mulai sadar kalau dirinya belum terlalu matang untuk menjadi seorang pendekar sejati. Dia berdiri tegap dan ikut mengangkat tangannya di samping Asoka.“Tunggu, Soka, padepokan sedang dikurung oleh aura putih milik Raden Kusuma. Tidak ada orang dari luar yang bisa masuk, begitu pula sebaiknya.”“Tidak kalau kita membawa Barok,” ujar Asoka singkat.Barok masih belum mengerti apa yang dikatakan Asoka. Mereka berlima berjalan menuju gerbang padepokan yang sudah roboh. Di baliknya, ada aura putih yang menyelimuti padepokan.“Gunakan kekuatanmu dan alirkan ke Pedang Segoro Geni!” Perintah Asoka kepada Barok.“Energiku sudah hampir habis, Soka.”“Suryo, bantu aku,” lirih Asoka. Dia mengajak Suryo berjalan ke belakang dan menempelkan telapak tangannya di punggung Barok. “Alirkan energimu ke dalam tubuh Barok!”“Tapi aku tidak pernah melakukannya,&rd
Antara sedih atau senang, Ki Langkir memaksakan dirinya untuk tersenyum. Dia tidak bisa berkata apapun lagi. Tekad Asoka yang kuat tidak bisa dibendung siapapun.“Hati-hati, Le, doaku terus menyertai.”Sebelum Asoka melangkahkan kaki, Ki Langkir menarik tangannya kembali. “Ada satu benda yang akan kukembalikan padamu.” Ki Langkir mengeluarkan sebuah bingkisan kecil.“Mustika merah...” wajah Asoka sangat sumringah. “Terima kasih sudah menjaganya, Ki. Gatra sudah rindu rumahnya. Dia bingung mau cari toilet di dalam tubuhku.”Gatra keluar dari tubuh Asoka dan memukul kepala pemuda tersebut. “Roh itu nggak pernah buang kotoran, Bodoh!”Ki Langkir yang memiliki mata batin kuat, bisa melihat keakraban dan kehangatan hubungan tuan-roh antara Asoka dengan Gatra. Senyumnya kini mengembang dan tidak dipaksakan lagi.Dia melepaskan tangan Asoka dan mempersilakannya untuk melawan Joko serta Rek
Gatra sengaja menyuruh Asoka menerima serangan itu tanpa menunjukkan kekuatan aslinya lebih dulu.Tentu, semua itu, tidak semata dilakukan tanpa alasan. Asoka bukan kalah, bukan pula dicelakakan oleh roh mustika merah. Dia hanya mengalah agar musuh semakin sombong dan gegabah, hanya peduli dengan serangan, tanpa memikirkan pola pertahanan.Ini semua akal-akalan Gatra agar membuat lawannya berada di atas langit dan akhirnya lengah karena menyepelekan kekuatannya. Mengalah bukan berarti kalah. Tapi mengalah istilah lain dari kemenangan yang tertunda.Ki Langkir melihat hal tersebut dari jauh. Ingin sekali dia membantu Asoka, tapi tenaganya sudah terkuras untuk mengeluarkan aura pendekar naga. Bergerak saja sangat susah, apalagi harus bertarung.Pertarungan Asoka diatur sedemikian rupa oleh Gatra. Tentu, gagak itu memiliki pengalaman yang sangat panjang akan pertarungan pendekar. Semua perintahnya dilakukan Asoka. “Serang lagi dengan pedang pemecah air