Antara sedih atau senang, Ki Langkir memaksakan dirinya untuk tersenyum. Dia tidak bisa berkata apapun lagi. Tekad Asoka yang kuat tidak bisa dibendung siapapun.
“Hati-hati, Le, doaku terus menyertai.”
Sebelum Asoka melangkahkan kaki, Ki Langkir menarik tangannya kembali. “Ada satu benda yang akan kukembalikan padamu.” Ki Langkir mengeluarkan sebuah bingkisan kecil.
“Mustika merah...” wajah Asoka sangat sumringah. “Terima kasih sudah menjaganya, Ki. Gatra sudah rindu rumahnya. Dia bingung mau cari toilet di dalam tubuhku.”
Gatra keluar dari tubuh Asoka dan memukul kepala pemuda tersebut. “Roh itu nggak pernah buang kotoran, Bodoh!”
Ki Langkir yang memiliki mata batin kuat, bisa melihat keakraban dan kehangatan hubungan tuan-roh antara Asoka dengan Gatra. Senyumnya kini mengembang dan tidak dipaksakan lagi.
Dia melepaskan tangan Asoka dan mempersilakannya untuk melawan Joko serta Rek
Gatra sengaja menyuruh Asoka menerima serangan itu tanpa menunjukkan kekuatan aslinya lebih dulu.Tentu, semua itu, tidak semata dilakukan tanpa alasan. Asoka bukan kalah, bukan pula dicelakakan oleh roh mustika merah. Dia hanya mengalah agar musuh semakin sombong dan gegabah, hanya peduli dengan serangan, tanpa memikirkan pola pertahanan.Ini semua akal-akalan Gatra agar membuat lawannya berada di atas langit dan akhirnya lengah karena menyepelekan kekuatannya. Mengalah bukan berarti kalah. Tapi mengalah istilah lain dari kemenangan yang tertunda.Ki Langkir melihat hal tersebut dari jauh. Ingin sekali dia membantu Asoka, tapi tenaganya sudah terkuras untuk mengeluarkan aura pendekar naga. Bergerak saja sangat susah, apalagi harus bertarung.Pertarungan Asoka diatur sedemikian rupa oleh Gatra. Tentu, gagak itu memiliki pengalaman yang sangat panjang akan pertarungan pendekar. Semua perintahnya dilakukan Asoka. “Serang lagi dengan pedang pemecah air
Raden Kusuma tersadar. Matanya kembali normal. Teriakan dua tetua padepokan yang bertugas menjaga Fahma membuat amarahnya meredam.“Barok, kau ke mana saja seharian ini?” tanya Raden Kusuma sangat khawatir.“Ceritanya panjang, Guru. Tapi kita harus ke ruangan ritual lebih dulu,” ajak Barok sambil berlari menggandeng tangan Raden Kusuma.Sesampainya di ruang ritual, mereka dibuat terkejut bukan main. Fahma berteriak kencang, namun dalam posisi tidur. Ini bukan mimpi buruk biasa. Pasti ada sesuatu yang mengganggu Fahma.Raden Kusuma menyuruh Barok dan dua tetua lain untuk duduk bersila. Dari telapak tangan mereka, keluar cahaya putih dan kesemuanya diarahkan ke bagian muka Fahma.Teriakannya lama kelamaan berhenti dan Fahma kembali tidur dengan nyaman. “Ini adalah efek samping dari ritual penutupan mata anehnya,” lirih Raden Kusuma sambil berjalan mondar-mandir.Dia masih memikirkan nasib Ki Langkir Pamanang
“Kalau aku bisa membidik lokasimu bagaimana, Rakun?” Tanya Asoka dengan penuh semangat.“Bidik saja kalau bisa. Lagian, kecepatanmu tidak akan bisa menyaingi siluman rakun sepertiku. Hutan ini sudah bagai rumah sendiri. Jangan harap kau akan menang, Bocah!”Asoka berdiam di posisinya. Tangan kirinya bersiap untuk menusuk, sedangkan tangan kanannya menempel di tanah. Dia mengikuti perintah Ki Langkir Pamanang untuk mencari keberadaan Joko lewat getaran.Saat getaran tersebut semakin mendekat, Asoka segera menancapkan Pedang Kawah Welirang ke tanah di depannya dan teriakan rasa sakit tiba-tiba muncul.Joko keluar dan tertusuk tepat di mata kiri. Pedang Kawah Welirang tiba-tiba terpental jauh dan warnanya berubah kehitaman.Sampai saat ini, Asoka belum diberitahu kalau kekuatan tersembunyi dari pedang tersebut adalah bisa menyerap energi hitam yang dimiliki pendekar aliran hitam.“Sialan kau, Langkir! Kenapa kau ma
Sebelum Asoka berhasil kabur, cahaya putih memancar hingga sampai ke langit-langit. Tidak lama, tubuh Joko terpecah dan cairan hijau langsung muncrat.Selendang yang digunakan Asoka terkena cairan tersebut. “Lepaskan selendangmu!” Bentak Gatra tiba-tiba.Ki Langkir reflek memotong selendang Asoka dengan tangan yang sudah ia aliri kanuragan. Selendang yang terkena cairan hijau tersebut jatuh ke tanah.Asoka berhenti di salah satu ranting pohon. Dia menoleh ke belakang. Wajahnya hanya bisa melongo melihat apa yang terjadi di belakangnya.Cairan hijau tersebut sifatnya korosif (asam_pen) dan melelehkan seluruh benda yang disentuhnya. Pepohonan langsung keropos. Tidak sedikit dari mereka roboh karena batangnya terbelah.“Kita lihat apa yang terjadi dengan Pedang Kawah Welirang milikku,” lirih Ki Langkir Pamanang.Asoka baru sadar kalau pedang putih besar tadi ia gunakan untuk membunuh Joko. “Ma-maaf, Ki, aku tidak s
Hari sudah larut malam. Seluruh murid padepokan disuruh istirahat oleh Raden Kusuma. Sementara jasad para pendekar aliran hitam ini dibiarkan hingga esok pagi.Di malam itu, Asoka merebahkan dirinya di gubuk karena seluruh tubuhnya sudah sangat capek. Dia menutup mata dan akhirnya tertidur pulas.Hingga matahari terbit, Asoka belum kunjung membuka mata. Barok yang datang membawakan makanan, terlihat iba kepada Asoka dan tidak membangunkannya. Makanan itu diletakkan di meja batu dekat ranjangnya.“Cepat kubur seluruh jasad ini,” teriak Raden Kusuma dari samping padepokan. Dia, Ki Langkir, beserta Suryo menggali tanah agak dalam untuk dijadikan kuburan.Bau anyir menyelimuti padepokan. Beberapa murid terlihat muntah karena tidak kuat menahan baunya. Akhirnya, mereka yang muntah disuruh bertukar posisi sebagai penggali kubur.Beberapa menit kemudian, enam buah lubang sudah digali. Kedalamannya hampir empat meter. Satu lubang kira-kira dapa
“Kakang kenapa pergi sekarang? Terus nasibku bagaimana?” Fahma kecil menghampiri Asoka dan meraih tangannya. Mata Fahma berlinang air mata karena tidak ingin berpisah dengan Asoka.Asoka menatap wajah gadis kecil itu. Matanya sudah normal dan sangat indah. Asoka merunduk, lalu mengelus rambut Fahma yang agak gelombang.“Kamu yang tenang ya di sini, kakang pergi tidak lama, kok. Ada kakang Barok, ada Guru Langkir, ada Raden Kusuma juga. Mereka adalah keluarga kita.”Tidak lama kemudian, Raden Kusuma datang dan menepuk pundak Fahma dari belakang.“Iya, Nduk, biarkan kakangmu melanjutkan perjalanan. Membawamu terlalu berbahaya karena perjalanan kakang Soka akan semakin rumit sekarang. Belum lagi, jarak tempuhnya jauh.”“Ja-jadi Fahma cuma beban Kakang?” Tangis Fahma tambah pecah. Dia merasa bersalah karena telah meninggalkan istana.Asoka mendekati Fahma dan mengelus keningnya. “Bukan, Adik.
Sebelum pergi, Ki Langkir berpesan agar Asoka mencari seorang pertapa tua dengan jenggot panjang berwarna keabu-abuan. Dialah yang nanti menetralkan aura hitam pembawa kesialan yang selama ini bersarang di tubuh Asoka.“Baik, Ki, akan kuingat semua perintahmu. Dan untuk Paman Kusuma... terima kasih banyak karena telah menampungku di sini. Maaf juga membuat padepokan Ajisaka ricuh karena pembantaian tiga hari lalu.”Raden Kusuma maju selangkah. Dia menatap mata Asoka tajam, lalu memeluknya. “Tidak masalah, Soka. Kedatanganmu ke sini adalah takdir. Kita tidak bisa mengalahkan kehendak Dewata.”Asoka pergi meninggalkan padepokan. Kesedihan terpancar di wajahnya.Memang semua yang datang akan perlahan menghilang. Semua teman, sahabat, guru, ataupun orang-orang terdekat akan saling pisah. Pilihannya hanya dua, meninggalkan atau ditinggalkan. Hal tersebut mutlak terjadi.Kepergian Asoka meninggalkan kenangan panjang bagi setiap mu
Asoka sebenarnya orang yang memiliki belas kasih lebih dari pada manusia pada umumnya. Kehilangan orang-orang terdekat karena pembantaian membuatnya tersentuh ketika ada orang yang meminta tolong padanya.Oleh sebab itulah, Asoka iba kepada Rara. Dia mengambil mustika merah dan berbincang dengan Gatra perihal lubang gelap di sana. Kali ini obrolan mereka serius.“Kalau kau memaksakan diri, aku tidak akan mengekang. Yang pasti, di dalam sana ada energi besar yang tidak pernah kau rasakan sebelumnya.”“Bagaimana kau bisa merasakannya, Guru?” Tanya Asoka dalam hati agar Rara tidak mendengar percakapan mereka.“Kau masih pendekar langit tingkat akhir. Kepekaanmu terhadap energi belum kuat.”“Tapi kalau aku berniat menolong Rara bagaimana?”“Ya semua kembali padamu. Aku hanya membantu saja kalau ada masalah.”Asoka memasukkan mustika merah ke sakunya dan mengambil Pedang Segoro Ge