“Suhu, siapa sebenarnya lelaki yang beranama Rhu Zi itu?” tanya Li Mei. Mereka berdua berjalan beriringan di tengah-tengah hutan larangan. Pertemuan penting sudah selesai, kini saatnya mereka menjalankan tugas masing-masing.“Sudahlah, jika saatnya tiba kamu akan mengetahuinya. Yang harus kita lakukan sekarang menjalankan titah tuan muda dengan sebaik mungkin!” jawab Mo Ong sambil mempercepat langkahnya.“Berarti sekarang saya ikut suhu untuk mencari orang yang bernama Yin Long?” mendengar pertanyaan Li Mei, Mo Ong segera membalikan badannya. “Tidak, kamu tetap di utara. Perjanalan ini sangat jauh dan berbahaya, bahkan suhu sendiri belum tentu mampu mencarinya” Mo Ong menggelengkan kepalanya.Li Mei segera membuka mulutnya yang merekah pertanda akan protes, akan tetapi buru-buru Mo Ong melanjutkan ucapannya. “Kamu memerlukan petualangan sendiri agar mendapatkan pengalaman. Ingat selama ini kamu hanya ikut suhu, karena itulah jarang mendapatkan pengalaman bertarung!”“Ialah, jangankan
“Kwe Lin, kamu jangan terlalu dekat dengan Long Wan. Hargai perasaan calon suamimu, kasihan dia tersiksa melihat kamu begitu akrab dengan lelaki itu!” Kwe An menatap tajam putrinya. “Ayah menuduh yang bukan-bukan, saya dekat dengan suheng karena kami berdua satu perguruan dan sekarang suheng sedang mengajarkan ilmu silat dari kitab warisan suhu!” karena marah, Lin Lin menghentikan santap malamnya.“Ayahmu bukan menuduh anakku, tapi beliau merasa kasihan akan Tianba yang setiap hari kamu acuhkan gara-gara sering mengunjungi Long Wan di kuil ujung desa!” Nyonya Kwe menenangkan putrinya.“Lagian kenapa sih, Tianba baru sekedar calon dan belum tentu menjadi suami!” bantah Lin Lin “Kwe Lin, jaga bicaramu!” bentak Kwe An sambil menggebrak meja, sontak saja makanan di dekat Tuan Kwe berhamburan jatuh ke lantai.“Sebelum Long Wan datang ke kota ini kamu begitu akrab dengan Tianba, tapi sekarang lihat sikapmu yang arogan dan tidak memperdulikan perasaan orang lain!” Kwe An menunjuk putrinya.
“Celaka nyonya, Tuan Kwe terluka parah!” kata seorang pelayan setelah Nyonya Kwe dan Lin Lin membuka pintu kamar. “Terluka kenapa paman?” Nyonya Kwe terlihat cemas. “Saya tidak tahu nyonya, tapi sekarang beliau sedang diobati oleh tabib di rumah Juragan Kang!” jawab si pelayan.Lin Lin dan ibunya bergegas ke rumah Juragaan Kang. Saat itu sudah larut malam, beruntung suasana di luar cukup terang karena disinari oleh cahaya rembulan. “Ayahmu kenapa nak?” Nyonya Kwe terisak karena menghawatirkan keadaan suaminya. “Ibu tenang saja, ayah pasti tidak apa-apa!” Lin Lin berusaha tegar, namun batinnya bertanya-tanya mengapa ayahnya bisa terluka parah.Sesampainya di rumah Juragan Kang, Lin Lin dan ibunya disambut para pengawal, bahkan Tianba juga berada di tempat itu. “Moi moi” ucap Tianba, namun Lin Lin mengacuhkannya dan buru-buru masuk ke kamar tempat ayahnya di rawat.Lin Lin terperanjat, ternyata yang terluka parah bukan ayahnya saja. Bahkan para pengawal Tuan Kwe yang berjumlah tujuh or
Perasaan Lin Lin tidak karuan, ia benar-benar tidak mengerti akan tindakan Long Wan. “Mengapa suheng begitu kejam menyiksa ayah?” air mata gadis itu mengalir deras membasahi kedua pipinya. Saat itu sudah lewat tengah malam, suasana di kota Xian Zhi sangat sunyi karena semua penduduk tengah asyik terbuai mimpi.Tidak seperti daerah lainnya yang dipimpin penguasa korup dan hanya mementingkan sendiri. Kota ini sangat aman, tidak pernah terdengar ada berita perampokan sebab setiap perbatasan dijaga oleh pasuka patroli. Gubernur kota ini benar-benar mengutamakan ketentraman warganya. Begitupun dengan pembesar seperti Tuan Kwe, ia membantu pemerintah dengan memanfaatkan kekayaannya menyewa para jagoan untuk mengamankan penduduk dari ancaman penyamun.Di atas langit sana, bulan sepasi tergantung. Cahayanya walaupun tidak terlalu terang akan tetapi cukup menaringi jalan yang dilintasi oleh Lin Lin, apalagi ribuan bintang tampak berkelipan dengan indah. Suasana keindahan malam saat ini sama se
“Hup!” ranting yang dilemparkan Long Wan meluncur dengan kecepatan tinggi dan menancap pohon cemara hingga amblas setengahnya. “Aih Meleset!” gerutu pemuda itu, kedua matanya yang tajam mengamati keadaan hutan yang sangat gelap. Kalau orang biasa, tentu akan gelagapan karena tidak bisa melihat apapun. Malam sudah semakin larut, cahaya rembulan tidak sanggup menerobos dedaunan rimbun di tengah hutan pinus itu.“Kriuk!” perutnya kembali berbunyi pertanda protes dan ingin segera diisi. Long Wan menarik napas panjang, di kantungnya masih ada beberapa sisa uang perak. Sebetulnya lebih dari cukup untuk membeli makan alakadarnya, akan tetapi dirinya tidak mau keluyuran ke tengah-tengah kota Xian Zhi.Tuduhan bahwa dirinya pemberontak sudah tersebar ke mana-mana. Long Wan sangat hawatir jika persoalan dirinya berimbas ke keluarga sumoinya. Akan tetapi ia sangat bersyukur, bahwa tuduhan keji tersebut tidak berlaku kepada Lin Lin, padahal mereka berdua sama-sama murid Pendeta To. Kemungkinan be
“Saya sangat senang dapat bertemu dengan paman guru di sini!” kata Long Wan sambil duduk di samping Tbaib Lo. Orang tua gendut itu hanya menarik napas panjang, kedua matanya bergerak-gerak mengamati lima pengeroyoknya yang lari pontang-panting meninggalkan tempat itu.“Mereka hanyalah penjahat-penjahat kacangan yang terpaksa menjarah demi menghidupi keluarganya!” lirih Tabib Lo. “Sedangkan keluarga anak ini adalah bangsawan yang sedang berpelesir dan kemalaman di hutan ini!” Tabib Lo menunjuk anak kecil tadi yang sedang membersihkan sisa-sisa darah di tubuh orang tuanya. “Biarkan saja mereka beristirahat, lebih baik kamu ambil kain agar orang tuamu tidak kedinginan!” mendengar ucapan Tabib Lo, dengan cekatan si anak mengambil kain dalam buntalan dan dibentangkan menutup tubuh orang tuanya agar tidak basah terkena air embun.“Kriuk!” perut Long Wan kembali berbunyi, rasa laparnya sudah tidak tertahankan lagi. Tabib Lo tertawa renyah “Ternyata seorang pendekar sekalipun bisa kelaparan!”
“Cuit, cuit!” burung-burung yang sedang berteger di atas dahan pohon berkicau dengan nyaring. Mereka seolah-olah gembira menyambut pagi ini yang cerah. Sejak tadi cahaya matahari sudah menghangatkan suasana hutan pinus yang letaknya cukup jauh dari kota Xian Zhi.Long Wan berjalan riang gembira. Pertemuannya yang tidak disengaja dengan tabib Lo membuka wawasannya akan dunia persilatan. Ia kini tahu siapa saja tokoh-tokoh yang harus diwaspadai, dijauhi dan sebisa mungkin tidak berurusan dengan mereka. Bukan karena takut, namun saat ini ilmu silatnya belum benar-benar matang.Hal ini tidak mengherankan, sebab Long Wan mempelajari kitab peninggalan mendiang gurunya secara mandiri tidak ada bimbingan langsung dari orang yang mumpuni, ditambah pengalamannya dalam bertarung masih mentah.Beruntung ia bertemu dengan paman gurunya yang memiliki watak aneh. Walaupun memiliki kesaktian yang sangat hebat dan mendekati kelihaian Pendeta To, akan tetapi sedikitpun Tabib Lo tidak mau bertarung. Dia
Long Wan melompat ke samping, serangan tadi lewat beberapa inci dari bahunya. Akan tetapi pedang lawan terus meliuk memburunya. “Berhenti dulu!” bentak Long Wan, akan tetapi Dewa Pedang tidak memperdulikan ucapannya, malahan sebaliknya ia terus melancarkan serangan yang lebih dahsyat dibandingkan tadi.Yang dihadapi Long Wan bukanlah orang sembarangan, lelaki yang berjuluk si Dewa Pedang sangat lihai bahkan dulu menjadi sahabat Pendeta To. “Menyerahlah, kamu harus mempertanggung jawabkan semua perbuatan terkutuk itu!” teriak si Dewa Pedang, senjatanya terus berputar-putar membentuk pusaran angin yang sangat dahsyat.Long Wan benar-benar kalang kabut, perasaannya tidak menentu bukan hanya karena sedang diserang oleh Dewa Pedang akan tetapi batinnya penuh tanda tanya, sekaligus penasaran akan keadaan Lin Lin. “Sumoi, sebenarnya apa yang terjadi?” sambil mengucapkan kata-kata barusan, kedua tangannya mendorong ke arah Dewa Pedang sehingga terdengar suara angin menderu dan membuat Dewa