Panggilan hati nurani Ardo Kenconowoto membuatnya memutuskan bermalam di lingkungan bekas Perguruan Tinju Bara. Dia harus memastikan bahwa wanita gila yang tertendang kuda tidak mati.Ardo pun memutuskan tidur sambil menunggu pagi. Dia tidur di dekat Surami. Biarlah tidak ada wanita di sisi, kuda betina pun jadi.Singkat waktu.Hari akhirnya pagi dan terang. Ardo terbangun. Rasa kesemutan di tangan kanannya sudah lenyap. Namun, dia tidak teringat tentang tangannya yang kesemutan.Itu karena Ardo langsung teringat dengan wanita gila yang pingsan. Ketika dia pergi melihat, ternyata wanita itu belum sadarkan diri.Rasa iba menghinggapi hati Ardo, apalagi melihat wanita itu bertelanjang badan karena gilanya. Ardo lalu berinisiatif membuka bajunya. Ardo bukan mau melakukan hal tidak senonoh terhadap wanita gila itu, tetapi dia ingin memakaikan bajunya kepada si wanita. Namun, Ardo terkendala dengan rambut gimbal yang keras dan panjang.“Mumpung dia belum bangun,” pikir Ardo.Ardo yang suda
Nini Lanting yang punya julukan menggentarkan lawan, yaitu Siluman Sepuluh Nyawa, berdiri seorang diri di atas tebing yang menghadap ke air terjun. Rambut dan ujung pakaiannya berkibar-kibar tertiup angin. Namun, terlihat sangat jelas bahwa raut wajah tuanya sedang memendam kemarahan yang sangat.Nini Lanting baru saja mendapat kabar duka bahwa adiknya telah tewas dibunuh oleh murid dari Iblis Jelita dan Iblis Sirih, yaitu Ardo Kenconowoto. Adiknya tidak lain adalah Aki Sumpat yang berjuluk Pendekar Pedang Kayu.Sesss!Tiba-tiba kedua tangan Nini Lanting bersinar putih menyilaukan seperti lampu led. Namun karena itu di siang hari, maka silauannya kurang memukau. Akan berbeda jika di malam hari, akan jauh lebih indah.“Hiaaat!” teriak Nini Lanting keras dengan suara serak dan tuanya.Blarb lar blar…!Ketika Nini Lanting menghentakkan kedua lengannya dengan telapak menghadap ke atas, tiba-tiba terjadi ledakan di bebatuan di sekitarnya, padahal sinar tetap bercokol di tangan dan arahnya
Ardo Kenconowoto terus berlari mengiringi kuda yang ditunggangi oleh Tulina yang selalu tersenyum selama perjalanan. Senyum Tulina bukan karena merasa lucu dengan wajahnya yang hitam, tapi karena dia merasa bahagia. Sepertinya dia tahu bahwa bahagia bukan hanya milik orang cantik.Badan Ardo yang tidak berbaju, sudah banjir oleh keringat tanpa membuatnya tenggelam. Namun, itu tidak membuatnya letih dalam berlari.Ternyata mereka sedang menuju ke Desa Guling. Dan ketika baru saja memasuki batas desa, mereka berdua berpapasan dengan Ki Rojak dan putranya Jumadi bersama dua anak buahnya yang pernah dihajar oleh Ardo.Pertemuan itu membuat Ardo berhenti berlari dan menghentikan Surami. Jalan desa yang tidak terlalu lebar membuat mereka saling berhadapan, seperti dua kubu yang siap bertarung.Pertemuan itu membuat Ki Rojak dan putranya langsung memasang mimik permusuhan di saat Ardo tersenyum ramah dengan napas terengah-engah.“Paman Rujak!” panggil Tulina tiba-tiba yang mengejutkan Ardo,
Pembunuh Jauh datang menghadap kepada Adipati Banting Arak yang sedang memerhatikan kerja sejumlah prajurit membuat kandang ayam besar di halaman belakang.“Lapor, Gusti. Keempat putra Nyai Wetong telah pergi ke arah Kadipaten Babatoto,” kata Pembunuh Jauh.“Pimpin dua ratus prajurit, jangan ada yang mengenakan seragam atau tanda keprajuritan. Bergabunglah dengan pasukan Pendekar Pedang Kilau yang dipimpin oleh Wanduro dan Sologeni di Hutan Bangkai!”“Baik, Gusti,” ucap Pembunuh Jauh.Pendekar pengawal pribadi Adipati Banting Arak itu lalu pergi untuk menyiapkan dua ratus prajurit dari Pasukan Kadipaten.Benar laporan Pembunuh Jauh bahwa keempat putra mendiang Nyai Wetong sedang menuju ke Kadipaten Babatoto.Teguk Permana dan ketiga adiknya sedang berkuda kencang di dalam wilayah Kadipaten Babatoto.Setelah bertanya-tanya kepada warga arah menuju ibu kota Cupokota, keempat bersaudara itu akhirnya tiba di ibu kota Kadipaten Babatoto.Namun, mereka mendapat hadangan dari beberapa prajur
Pasukan kadipaten jadi terpojok. Selain harus menghadapi keempat pendekar berpedang hebat, mereka juga harus menghadapi serbuan pasukan asing yang jumlahnya menjadi lebih banyak, karena pasukan kadipaten telah banyak yang tumbang.Set set!“Aaakk!” jerit Komandan Jenjeng saat dua sabetan cepat Pedang Terang Buta milik Sambar Anuk akhirnya mengukir dalam di tubuhnya.Di sisi lain.Bak bak!Meski pertarungan antara Rawa Kujang dan Suratin menggunakan pedang, tetapi dua serangan yang masuk kepada dada Suratin adalah dua tendangan yang rapat. Suratin jatuh terjengkang.“Adik, kita pergi!” teriak Teguk Permana kepada ketiga adiknya.Di saat pertempuran terjadi sengit antara dua pasukan, Teguk Permana dan adik-adiknya segera mencari jalan untuk mendapatkan kembali kudanya.Tidak sulit bagi keempat bersaudara itu untuk mendapatkan kudanya. Para prajurit lebih memilih membiarkan keempat pendekar muda itu, mereka lebih baik bertempur dengan pasukan yang seimbang.Saat sudah berada di punggung
Sambar Anuk hanya bisa memantau rumah bambu di tengah Sungai Ukirati dari jauh. Dia tidak mau memantau lebih dekat dengan risiko ketahuan. Cukup lama dia memantau dari balik semak belukar di bawah sebuah pohon. Sesekali Sambar Anuk bisa melihat kemunculan sosok gadis cantik berpakaian biru keluar dari dalam rumah. Namun, jarak Sambar Anuk terlalu jauh untuk menikmati kecantikan Iblis Jelita yang dia sangka adalah murid Iblis Jelita, padahal dia sudah melihat bahwa wanita itu memiliki sepuluh kuku yang panjang. Namun, tetap saja Sambar Anuk yakin bahwa itu adalah murid Iblis Jelita, bukan sang guru. Drap drap drap…! Sambar Anuk agak terkejut ketika mendengar suara lari kuda. Dengan selamat, Ardo Kenconowoto akhirnya tiba di pinggir Sungai Ukirati. Ketampanan dan kegagahan Ardo yang tidak berbaju tapi masih bercelana, cukup membuat Sambar Anuk terbeliak. Tiba-tiba muncul rasa cemburu di dalam hatinya. Ardo seketika terkejut ketika melihat kondisi pinggir sungai seberang rumah guruny
Ardo Kenconowoto melompat salto dengan dua putaran cepat di udara. Dia sudah menggabungkan energi ilmu Tapak Kaki Iblis dan Lompatan Iblis Mabuk. Brakszerrr! Ketika kedua kaki Ardo Kenconowoto mendarat di batu, maka batu dasar kawah itu hancur berkeping-keping dalam jumlah besar dengan percikan sinar merah yang besar. Uniknya, kali ini serpihan batu yang berlesatan ke segala arah diselimuti oleh sinar biru yang bersifat listrik. Kehancuran yang ditimbulkan oleh jejakan itu jauh lebih dahsyat dari jejakan sebelumnya yang dilakukan oleh Ardo. “Waw! Lual biasa!” ucap Ardo terpukau. Iblis Jelita yang memantau dari sisi atas kawah melesat terbang seperti burung dara dan mendarat ringan di depan Ardo. “Aku belhasil, Nyai!” sorak Ardo begitu gembira dan refleks menghambur memeluk Iblis Jelita. “Hihihi!” tawa Iblis Jelita menghadapi tindakan muridnya yang telah berani memeluknya lebih dulu. Dia pun balas memeluk Ardo dengan erat. Kegembiraan kedua insan itu kemudian reda dan hening. Ib
“Aaak! Aaak!” Pergumulan penuh bara asmara berlangsung di kamar Iblis Jelita yang harum. Saat itu, orang lain dilarang keras untuk mengintip, apalagi masuk menyaksikan. Bukan Iblis Jelita yang memekik nikmat, tetapi justru Ardo Kenconowoto yang menjerit berulang kali. Entah apa yang terjadi terhadap Ardo dalam pergumulan tanpa busana tersebut? Perpaduan antara wanita yang sangat haus asmara dan sangat berpengalaman dalam kuda-mengkuda dengan pemuda yang sedang kecanduan asmara dan sangat penasaran, membuat pengalaman pertama Ardo itu berlangsung sangat sengit. Iblis Jelita sangat tekun mengajari dan menuntun, sementara Ardo sangat ingin belajar dan membuat Nyai Sakti bahagia dengan layanannya. “Aaak…!” “Aaah!” Setelah pertarungan yang perlu napas panjang dan menghasilkan peluh asmara, akhirnya Ardo memekik keras dan panjang, seperti orang kesakitan, padahal itu pekik puncak pelepasan yang sangat enak baginya saat itu. Itu perkara paling legit yang pernah dia rasakan dalam hidupn