Dzurriya pura-pura bersikap biasa saja, dan mengabaikan keberadaan Eshan. Ia melangkahkan kakinya menuju kulkas, dan melewati Eshan tanpa berbicara sepatah kata pun pada lelaki itu yang menoleh padanya.Ia buka pintu kulkas itu kemudian mengambil sebotol air dan meminumnya. Rasa laparnya langsung lenyap begitu saja, mungkin ia akan minum air saja dan kembali tidur. Dalam kesenyapan, ia menaruh botol itu dan menutup kulkas. Kemudian berbalik dan…“Astagfirullah!”Dzurriya memekik ketika Eshan sudah tiba-tiba berada di hadapannya. Tubuhnya yang tinggi tampak menjulang, menutupi bayangan Dzurriya sendiri. Matanya itu menatap Dzurriya yang lebih pendek darinya. Keduanya beradu pandang beberapa saat, bersamaan dengan detak jantungnya yang berpacu dengan cepat. Apalagi wajah lelaki itu benar-benar hanya berjarak beberapa centi dari dirinya. Dzurriya bisa merasakan hembusan napasnya yang begitu lembut menyentuh dahinya.Pada saat yang sama…“AKU TAK SUDI MENIKAHINYA.”Kalimat itu bergema
Hacih!Setelah siang itu, Dzurriya tetap berada kamar sampai waktu makan malam. Namun, karena ia basah-basahan tengah hari, dan tidak langsung mandi setelah itu, badannya mulai mengalami demam.Puncaknya adalah pagi ini. Kepala Dzurriya terasa berat dan berdenyut, seluruh tubuhnya tiba-tiba juga terasa nyeri. Ia terus bersin sejak bangun tidur, hingga membuat hidungnya itu memerah.Setelah mandi dan berganti pakaian, Dzurriya berniat untuk sarapan. Ini sudah hampir jam setengah 8, Alexa dan Eshan pasti sudah selesai sarapan. Ia tidak ingin merepotkan pelayan yang membawa makanannya ke kamarnya lagi.Dzurriya bersin sekali lagi ketika membuka pintu.Tepat saat itu, seorang lelaki tiba-tiba berhenti melangkah di depan kamarnya karena terkejut. Dzurriya ikut terkejut sampai berhenti menggosok-gosok hidung, dan mengangkat kepalanya. Suaminya ada di sana tengah menatapnya dalam-dalam. Dzurriya yang masih merasa kesal, berlalu begitu saja tanpa menghiraukan atau balik menatapnya. Ia melen
‘Aku tahu ini rumahmu, tapi tak bisakah kau cari tempat lain di rumah sebesar ini?’Sekarang, dibanding berdebar, Dzurriya malah merasa kesal sendiri. Niatnya untuk mencari udara segar, terancam gagal. Jika bersama Eshan di sini, bisa-bisa dirinya malah semakin pusing.Dzurriya mendengus saat suaminya itu menyadari kehadirannya. Ia segera berbalik, tetapi tiba-tiba Ryan sudah berdiri di balik punggungnya.“Astaga!” pekik Dzurriya saat menabrak dada Ryan. “M-maaf!” ucap Dzurriya terbata sambil menyilangkan tangan di atas dadanya. “Kau mau cokelat?” tanya Ryan sambil menunjukkan dua batang coklat almond.Dzurriya tidak langsung mengambilnya, hanya menatap Ryan bergantian dengan cokelat itu. “Kenapa kau memberiku cokelat?”Dzurriya meraih cokelat itu perlahan, tapi tidak bisa menghilangkan perasaan herannya. “Te… rima kasih,” sahutnya canggung.“Itu cokelat favoritmu, sudah pasti kau suka—”“Apa?”Ryan langsung menggeleng. “Maksudku, cokelat itu pasti akan jadi favoritmu.”Walaupun masi
Napas wangi lelaki itu membentur pipinya dengan lembut, membuat mata Dzurriya menutup secara otomatis. Ia tidak tahu ekspresi apa yang Eshan tunjukan sekarang. Ia takut, tapi perasaan takut ini berbeda dari biasanya.Napas Eshan semakin panas, dan sekarang terasa mendekat ke arah telinga Dzurriya. Ujung bibirnya yang basah terasa menyentuh kain kerudung Dzurriya dengan lembut. Matanya terpejam semakin rapat.Lantas, suara rendah dan serak lelaki itu terdengar.“Jangan keras kepala! Kalau sakit, minumlah obat!”Lelaki itu berdesah di telinganya.Setelah itu, tekanan itu seperti hilang sepenuhnya ketika Eshan menjauhkan diri. Dzurriya membuka mata. Lelaki itu tampak memunggungi sekarang.“Ambil obatmu di Tikno.” Itu adalah kalimat terakhir Eshan sebelum meninggalkan Dzurriya yang kacau dengan wajah memerah di atas meja kerjanya.***Hari itu, setelah Dzurriya keluar dari ruang kerja Eshan, ia langsung disambut Tikno yang berdiri di sana. Awalnya, Dzurriya terkejut, takut Tikno bertanya
Sore harinya, masih tetap senyap.Dzurriya duduk di halaman belakang, sedang membaca buku yang ia temukan di ruang depan tadi. Ia tak benar-benar memahami buku yang bercerita tentang seni berbisnis itu. Ia hanya membacanya karena bosan.Dari serambi belakang, ia melihat seorang pelayan tengah membawa baki dengan sebuah cangkir dan mangkok di atasnya. Ia mendekat ke arah Dzurriya.“Nyonya, Pak Tikno meminta saya membawakan ini untuk Nyonya,” ujar pelayan itu sesampainya di depan Dzurriya sambil menyodorkan baki tersebut.Itu aroma bubur yang tidak asing.Bubur itu tampak sangat polos, hanya ada potongan ayam dan jagung yang berwarna pucat. Melihatnya saja tidak berselera. Sudah hampir 3 hari Dzurriya memakan bubur yang sama.“Terima kasih,” ucap Dzurriya, dan pelayan itu pun pergi setelah memberikan baki tersebut. Dzurriya memandang bubur yang masih panas itu, dan menaruhnya di atas meja. Perutnya bergejolak bukan karena lapar, tapi karena ia merasa mual. Selama lima belas menit, ia
Berbeda dengan Dzurriya yang sempat bengong beberapa saat, Tikno langsung bersikap professional. Ia menegakkan tubuhnya dan menunduk sopan kepada Eshan. “Lakukan pekerjaanmu, Tikno,” ucap Eshan kepada Tikno, yang membuat Dzurriya akhirnya kembali ke alam nyata. “Baik, Tuan,” jawab Tikno. Tikno pun meninggalkan keduanya. Dzurriya mengalihkan perhatiannya dari Tikno, dan sekarang menatap wajah Eshan dengan takut. Ia ingin segera menutup pintu dengan pelan sebelum suaminya itu sadar, tapi gagal. Eshan sudah memegang sisi pintu itu dan menahannya. Dzurriya meringis malu sambil berusaha menarik pintu itu. Namun, tenaganya terlalu kecil dibanding suaminya, apalagi tangannya terlihat begitu kekar di balik kemeja birunya. “A–apa…” Belum lagi ia selesai berucap, tangannya sudah ditarik suaminya menuju dapur. Dzurriya memandang tangan yang digandeng itu. Rasanya begitu hangat dan nyaman meski jantungnya berdetak kencang. Setelah sampai di dapur, Eshan melepaskan tangannya. Dzurriya y
“MAS?” ulang Eshan tampak heran. Dzurriya terkesiap, takut salah bicara. “A-aku tak pernah memanggilmu sejak kita menikah… j-jadi… maaf.” Eshan tidak menanggapi, hanya memalingkan wajahnya sejenak dari Dzurriya. Melihat itu, Dzurriya pun menggigit bibir bawahnya, terlebih ketika melihat telinga Eshan memerah. Sepertinya lelaki itu sangat emosi. “Kau memang tak perlu memanggilku, kita hanya menikah di atas kertas,” ucap Eshan berikutnya, sambil berjalan menuju ujung meja. Ia pun duduk di sana. “Maksudku, akan tidak sopan memanggilmu Eshan, juga akan aneh kalau aku memanggilmu Tuan, sedangkan kau tak terlihat sepert Bapak bagiku,” Dzurriya mencoba untuk menjelaskan. Eshan tetap tak menjawab, membuatnya semakin berpikir kalau dirinya memang salah ucap. Apalagi ia tak bisa melihat ekspresinya dengan jelas dalam jarak sejauh itu. “Setidaknya ketika kita hanya berdua,” lanjut Dzurriya pelan. “M-maksudku seperti sekarang saat tak ada orang lain. Apakah boleh aku memanggilmu…. Mas?” Dz
“Ada apa ini?!”Kehadiran Tikno langsung membuat para pelayan menjaga sikapnya kembali. Mereka langsung mundur beberapa langkah menjauhi meja, dan menunduk dengan kedua telapak tangan saling bertumpu di atas perut.“Apa yang kalian lakukan? Kalian di sini digaji untuk melayani keluarga ini bukan dilayani,” lanjut Tikno dengan keras“Kami tidak—”“Aku yang meminta mereka, Tikno.” pembelaan salah satu pelayan langsung disela oleh Ryan.“Maaf, Tuan, saya hanya menjalankan tugas. Mohon mengerti,” tukas Tikno dengan ekspresinya yang tetap tenang.“Nanti aku yang ngomong ke tuanmu,” Ryan tetap bersikeras.“Mohon maaf, kalau memang begitu, saya akan memakluminya setelah Tuan Eshan memerintahkan sendiri kepada saya.”Dzurriya tercenung. Sepertinya Tikno bukan sekedar pelayan biasa di rumah itu karena dia terlihat tidak segan membantah perintah sepupu suaminya itu.Lalu, seolah tidak membiarkan Ryan menyahut lagi, Tikno segera berkata kepada Dzurriya. “Nyonya, mohon bersiap. Kita akan berangka