"Ayo kita lanjut jalan!" seru Bang Boy kepada semua.Kami pun mulai kembali melakukan pendakian. Baju yang kupakai terasa agak basah karena seperti ada embun yang kami lewati. Mungkin ini awan?Katanya sudah tidak jauh lagi puncaknya sampai. Namun, pepohonan masih menutupi pemandangan. ***Oleh karena mendaki dengan sangat santai, akhirnya kami sampai di puncak dalam waktu lebih dari dua jam. Kakiku terasa pegal, tapi hati ini merasa puas! Pemandangan di sini sangat indah, maa syaa Allah. Hutan, pegunungan ... bahkan langit biru berbalut awan tipis itu terasa sangat dekat. Aku merasa melayang ... di angkasa!Bibir ini tak berhenti tersenyum melihat pemandangan di hadapan. Ya Allah, betapa kami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuasaan-Mu. Ada rasa haru yang seketika saja singgah ke dalam hatiku."Indah ya, Mil?" Terdengar suara Bang Aldin yang tiba-tiba berada di sampingku. Aku mengangguk-angguk tanpa menoleh ke arahnya. Rasanya tak puas-puas melihat panorama di sana. Allah
Hmmm ... sekarang tubuh Bang Aldin sudah tertutup selimut yang sama denganku. Kutatap wajahnya yang begitu damai dalam lelap. Tiba-tiba aku teringat pada Ivan. Apa kabar bocah tampan itu? Ya, ia mirip dengan sang ayah. Aku merindukan bocah kecil yang tiap malam memintaku membelai rambutnya sebelum tidur. Aku berharap anak itu baik-baik saja. Jaga dia ya, Rabb."Mila ... sedang ... apa?" Tiba-tiba Bang Aldin terbangun. Bibirnya tampak bergetar. Ya Allah ... apa benar ia kedinginan karena dari tadi tidak memakai selimut tadi?"Abang kedinginan?" Aku balik bertanya, karena seketika panik melihat ia bergetar seperti itu. "I–iya ... dingin ... banget," ujarnya seraya menggigil.Aku mencoba menyentuh lengannya.Ya Allah, dingin sekali! Aku terlonjak dan bangkit dari rebahan."Bang, a–aku harus gimana? Apa aku bangunkan yang lain?"Lelaki itu menggeleng. "Gak ... usah," katanya gemetar."Abang sampe menggigi
Tiba-tiba kakiku oleng dan tergelincir."Mila!" Bang Aldin tampak terkejut.Yang lainnya juga ikut berteriak kaget. Begitu juga Bang Dion. Aku sempat mendengar suaranya tadi.Tak sengaja aku menginjak batu, membuat kaki tidak stabil, dan akhirnya aku berada di tebing tanah berbatu yang cukup curam. Aku melihat ke bawah dengan ketakutan. Sebuah lembah yang tidak begitu dalam sepertinya, mungkin sepuluh meteran. Akan tetapi, tetap saja, kalau jatuh pasti akan berbahaya. Tanganku mampu meraih akar pepohonan, sehingga tidak jatuh ke dasar."Mila! Ka–kamu gak papa?!" Bang Dion tampak panik di atas sana. Aku berusaha menjejakkan kaki ke bebatuan yang ada. "Ssshhhh ...," desisku. Tangan ini terasa perih, karena sebagian lecet akibat tergesek dengan tanah dan bebatuan tadi, "to–long, Bang!"Bang Dion tampak gelisah di atas sana. Aku bisa melihat teman-teman yang ada di bagian pinggir, karena tebing ini bersudut sekit
Aku mengangguk-angguk, sembari memelankan langkah ini."Sini kita bersihkan luka kamu!" Amel menarikku menjauhi para pria yang mau membantu Bang Aldin naik.M tak mau aku pun mengikuti gadis itu, duduk di bawah sebuah pohon. Amel membersihkan lukaku dengan air, kemudian menyiramkan sedikit alkohol. Perih! "Ssshhh!" Aku berdesis."Makanya hati-hati, Non. Nyusahin aja," omelnya.Aku tersentak dengan perkataan Amel barusan. "Namanya juga kecelakaan, Mel. Kamu ini." Mbak Nela membelaku.Amel menghela napas, tampak kesal. Aku mencurigai bahwa ada sesuatu yang terjadi pada gadis ini. Mengapa ia berubah jadi jutek begitu? Padahal tadinya ia sangat ramah kepadaku.Aku terdiam.Bang Dion terlihat kembali ke arah para pria yang hendak membantu menarik Bang Aldin."Aldiiiin!" Bang Boy dan yang lainnya tampak berteriak panik dan histeris."Ada apa?" Aku refleks berdiri karena kaget."Aa
Hah? Anu ...? Juga gede ...?"Abaaaaang!" Aku cubit lengan lelaki itu dengan keras."Ya Allah, Milaaa! Ganas banget. Maksudnya kalau kaki gede, sepatu juga gede! Kamu gak tertarik beliin sepatu baru? Yaelaaah ... emangnya apaan?"Hah?Aku langsung berdiri, melangkah menjauh, dan mengenyakkan bokongku ke sofa di pinggir ruangan itu. Kesal! Wajah ini terasa sangat panaaas!"Hahahahaaaa!" Pria itu terbahak-bahak."Hai, Nak! Gimana, senang di tempat nenek?" tanya Bang Aldin kepada Ivan di layar hapenya. Lelaki itu tengah melakukan video call saat ini dengan sang putra. Ivan menambah hari berada di sana, sebab sang ibu masih harus mengurus beberapa administrasi pernikahan di sana.Ya, kami sudah di rumah sekarang. Kaki kanan Bang Aldin yang patah sudah dioperasi. Setelah lima hari dirawat di rumah sakit, saat ini adalah masa pemulihan."Senang, Yah! Nenek tadi bikinin aku bakso ... enaaak banget!" Terdengar suara Iva
Dahiku berkerut demi mendengar ucapannya. Tukang pijatnya cantik-cantik? Di salon?"Ya udah, nanti kita ke Mall aja, ya! Sore nanti habis ashar kita pesan taksi online.""Di salon itu gak ada tukang pijat lelaki?" tanyaku penasaran."Gak ada," sahut pria tampan itu."Loh, gak boleh dong, Bang! Mereka bukan mahram Abang pasti!" cetusku padanya."Ini 'kan terpaksa, Mil. Badan Abang pegel-pegel gini." Ia menjalankan kursi roda menuju ke arah kamarnya."Eh, Bang!" Aku memanggil pria itu, "ya udah, nanti aku yang pijetin!" Lelaki itu menghentikan kursi rodanya lalu menoleh ke arahku. "Beneran?""Iya!" jawabku. Hmmm ... aku tak mau Bang Aldin melakukan itu. Saling menyentuh dan disentuh orang yang bukan mahram? Hal itu tidak boleh dibiasakan. "Ya udah, aku mau tidur siang dulu, Bang.""Oke!" Lelaki itu tampak tersenyum semringah di sana.***Aku baru saja selesai mandi sore dan menelepon ay
Aku menunda membawa piring kotor kami ke dapur. "Ya, kalau bukan lelaki, siapa lagi yang memakmurkan masjid pada waktu shalat fardhu? Masak wanita? Wanita justru afdhal-nya shalat di rumah," jelasku panjang lebar."Oh, gitu?" "Dulu, Rasulullah bilang kepada para shahabat bahwa ingin sekali membakar rumah para lelaki yang shalatnya di rumah, tidak mau ke masjid.""Wow!" serunya kaget."Nah, makanya, Bang ... sebagai lelaki, mesti shalat ke masjid. Hehehe ....""Kalau rumahnya kebetulan jauh dari masjid, bagaimana? Gak bisa terkejar waktunya shalat berjama'ah, dong?" tanyanya."Kalau sudah tahu jauh dari masjid, maka harusnya datang lebih awal, Bang. Lagian masjid di sini 'kan gak jauh," kilahku."Oke-oke ... in syaa Allah kalau Abang sudah boleh jalan lagi, ya."Aku melebarkan senyuman dan mengangguk, kemudian bangkit, dan membawa piring kotor kami ke dapur. Aku hanya meletakkan piring tersebut di dalam wastafel
Mataku terpejam ketika ia semakin dekat. Udara di sekitar berubah menjadi sesak ketika bibir ini terasa disentuh oleh sesuatu yang lembut. Aku tak tahu, mengapa diri ini tak sanggup berbuat apa-apa ketika bibir ini semakin dimainkan di situ oleh pria di hadapanku. Bahkan ... bahkan aku ... menikmatinya.Wajah ini ditangkup oleh sebelah telapak tangannya. Apa yang kini dilakukan pria itu semakin membuatku terbuai. Ting!Aku tiba-tiba tersentak! Mataku seketika membulat sempurna. Seakan tersadar ... spontan tangan ini mendorong tubuh setengah telanjang Bang Aldin. "Astagfirullah!" Napasku terengah-engah.Ting!Kembali suara pesan masuk ke ponsel pria itu. Sorot kehilangan tampak di matanya, dan raut kaget sangat kentara di wajah itu, karena barusan kudorong kuat. Sama sepertiku yang menatapnya dengan nanar. Apakah ... apakah ini mimpi?Dada ini naik turun mengatur napas tak keruan. Subhanallah ... langsung saja aku berbalik dan be