Hah? Anu ...? Juga gede ...?
"Abaaaaang!" Aku cubit lengan lelaki itu dengan keras."Ya Allah, Milaaa! Ganas banget. Maksudnya kalau kaki gede, sepatu juga gede! Kamu gak tertarik beliin sepatu baru? Yaelaaah ... emangnya apaan?"Hah?Aku langsung berdiri, melangkah menjauh, dan mengenyakkan bokongku ke sofa di pinggir ruangan itu. Kesal! Wajah ini terasa sangat panaaas!"Hahahahaaaa!" Pria itu terbahak-bahak."Hai, Nak! Gimana, senang di tempat nenek?" tanya Bang Aldin kepada Ivan di layar hapenya. Lelaki itu tengah melakukan video call saat ini dengan sang putra. Ivan menambah hari berada di sana, sebab sang ibu masih harus mengurus beberapa administrasi pernikahan di sana.Ya, kami sudah di rumah sekarang. Kaki kanan Bang Aldin yang patah sudah dioperasi. Setelah lima hari dirawat di rumah sakit, saat ini adalah masa pemulihan."Senang, Yah! Nenek tadi bikinin aku bakso ... enaaak banget!" Terdengar suara IvaDahiku berkerut demi mendengar ucapannya. Tukang pijatnya cantik-cantik? Di salon?"Ya udah, nanti kita ke Mall aja, ya! Sore nanti habis ashar kita pesan taksi online.""Di salon itu gak ada tukang pijat lelaki?" tanyaku penasaran."Gak ada," sahut pria tampan itu."Loh, gak boleh dong, Bang! Mereka bukan mahram Abang pasti!" cetusku padanya."Ini 'kan terpaksa, Mil. Badan Abang pegel-pegel gini." Ia menjalankan kursi roda menuju ke arah kamarnya."Eh, Bang!" Aku memanggil pria itu, "ya udah, nanti aku yang pijetin!" Lelaki itu menghentikan kursi rodanya lalu menoleh ke arahku. "Beneran?""Iya!" jawabku. Hmmm ... aku tak mau Bang Aldin melakukan itu. Saling menyentuh dan disentuh orang yang bukan mahram? Hal itu tidak boleh dibiasakan. "Ya udah, aku mau tidur siang dulu, Bang.""Oke!" Lelaki itu tampak tersenyum semringah di sana.***Aku baru saja selesai mandi sore dan menelepon ay
Aku menunda membawa piring kotor kami ke dapur. "Ya, kalau bukan lelaki, siapa lagi yang memakmurkan masjid pada waktu shalat fardhu? Masak wanita? Wanita justru afdhal-nya shalat di rumah," jelasku panjang lebar."Oh, gitu?" "Dulu, Rasulullah bilang kepada para shahabat bahwa ingin sekali membakar rumah para lelaki yang shalatnya di rumah, tidak mau ke masjid.""Wow!" serunya kaget."Nah, makanya, Bang ... sebagai lelaki, mesti shalat ke masjid. Hehehe ....""Kalau rumahnya kebetulan jauh dari masjid, bagaimana? Gak bisa terkejar waktunya shalat berjama'ah, dong?" tanyanya."Kalau sudah tahu jauh dari masjid, maka harusnya datang lebih awal, Bang. Lagian masjid di sini 'kan gak jauh," kilahku."Oke-oke ... in syaa Allah kalau Abang sudah boleh jalan lagi, ya."Aku melebarkan senyuman dan mengangguk, kemudian bangkit, dan membawa piring kotor kami ke dapur. Aku hanya meletakkan piring tersebut di dalam wastafel
Mataku terpejam ketika ia semakin dekat. Udara di sekitar berubah menjadi sesak ketika bibir ini terasa disentuh oleh sesuatu yang lembut. Aku tak tahu, mengapa diri ini tak sanggup berbuat apa-apa ketika bibir ini semakin dimainkan di situ oleh pria di hadapanku. Bahkan ... bahkan aku ... menikmatinya.Wajah ini ditangkup oleh sebelah telapak tangannya. Apa yang kini dilakukan pria itu semakin membuatku terbuai. Ting!Aku tiba-tiba tersentak! Mataku seketika membulat sempurna. Seakan tersadar ... spontan tangan ini mendorong tubuh setengah telanjang Bang Aldin. "Astagfirullah!" Napasku terengah-engah.Ting!Kembali suara pesan masuk ke ponsel pria itu. Sorot kehilangan tampak di matanya, dan raut kaget sangat kentara di wajah itu, karena barusan kudorong kuat. Sama sepertiku yang menatapnya dengan nanar. Apakah ... apakah ini mimpi?Dada ini naik turun mengatur napas tak keruan. Subhanallah ... langsung saja aku berbalik dan be
Entahlah ... aku merasa Bang Dion dengan Amel tidaklah seperti yang pria itu katakan. Aku bukan anak kecil yang tidak bisa melihat rasa cinta di mata Amel ketika menatap lelakiku. Itu bukan tatapan seorang sahabat. Akan tetapi, sekali lagi entah. Sedangkan di mataku, Bang Dion justru benar-benar mencintai diri ini. Itu terlihat dari sorot matanya."Sorry, Al. Abang baru bisa jenguk kamu sekarang," ungkap Bang Boy tampak menyesal.Mbak Nela menyapa dan memeluk diriku. Hari itu, memang hanya beberapa orang panitia dan alumni yang mengantarkan Bang Aldin ke rumah sakit. Termasuk Bang Dion serta Bang Boy. Hanya saja, setelah Bang Aldin diperiksa, Bang Dion dan teman-teman harus kembali ke lokasi karena mesti mengurus peserta lomba. Sementara Bang Boy, ia harus segera pulang karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan keesokan harinya."Gak masalah, Bang. Lagian Abang dan yang lain udah nolongin aku juga Mila waktu itu." Bang Aldin tersenyum.
Aku makin terkejut mendengar penuturan Mbak Nela. "Gosipnya, Amel sempat hamil oleh Aldin. Tapi dia keguguran, mungkin karena itu mereka gak jadi nikah.""Astagfirullah," lirihku. Entah mengapa tiba-tiba kepalaku jadi berdenyut. Kejutan yang tidak diharapkan bertubi-tubi menghantam."Eh, Mil! Ma–maaf ... Mbak keceplosan!" Mbak Nela sontak memukul pelan bibirnya sendiri."A–aku permisi ke kamar dulu ya, Mbak," pamitku pada Mbak Nela. Aku pun bangkit dari duduk, hendak melangkah pergi."Mil! Kamu gak apa-apa?" Mbak Nela menahan lenganku."Kepalaku agak pusing, Mbak. Aku ke kamar dulu ya, maaf." Aku langsung melenggang dengan langkah besar ke arah kamar.Sesampai di kamar, aku duduk di bibir ranjang. Menangkup wajah ini dengan kedua telapak tangan. Kemudian kuusap wajah sembari mendongak dan menarik napas panjang. Dadaku seketika terasa sempit. Ya Allah, mengapa hatiku terasa sakit mendengar itu? Benarkah Bang Aldin pernah
"Beneran, Kak?" tanyaku memastikan. Ujung-ujung bibir ini sontak tertarik ke atas. Aku rindu sekali dengan ayah.Bang Aldin dan Ivan menatapku heran di sana."Iya. Besok jam sembilanan gitu, Kakak dan ayah ke sana, ya! Mungkin ayah mau menginap," ujar Kak Mirna."Oke ... oke, Kak. Aku tunggu!" Hatiku terasa membuncah bahagia rasanya.Kak Mirna pun pamit dan menutup teleponnya."Ada berita apa? Kayaknya kamu seneng banget?" Bang Aldin tersenyum tipis. Semenjak hari itu, hubungan kami menjadi agak kaku. Beberapa kali lelaki itu ingin mencoba mengakrabkan diri. Akan tetapi, aku selalu menghindar. Mungkin ia merasa kalau aku kembali menjaga jarak."Ayah di rumah Kak Mirna, Bang," ujarku."Kakek di sini?" pekik Ivan tampak ceria.Aku mengangguk sembari mengacak puncak kepalanya. Beberapa kali aku mengajak Ivan mengobrol di telepon bersama ayah."Asik!" Bocah itu berseru ceria."Oh, ya? Aja
"Entahlah," jawabku malas."Kok, entah?""Mungkin aku memang mencintai Bang Dion. Cuma aku sekarang pasrah aja, Bang. Ikuti aja takdir bawa aku ke mana," paparku tidak jelas. Ya, aku bingung dengan apa yang aku hadapi saat ini. Benar-benar dilema."Apa kamu cemburu dengan Amel, melihat mereka selalu dekat?" Kembali Bang Aldin bertanya."Yaa ... aku gak suka lihat mereka begitu dekat," jawabku sembari terkekeh, "apa itu cemburu?" Aku menatap Bang Aldin."Ya, kamu cemburu." Pria itu memalingkan wajahnya.Aku mengangguk-angguk. Ya ... aku cemburu. Entahlah. "Artinya kamu mencintai dia."Aku kembali menatap pria itu. Entah mengapa ada sorot terluka dari netra hitamnya. Apa Bang Aldin tidak suka jika aku mencintai Bang Dion? Atau Bang Aldin yang cemburu karena Amel?"Hmmm ... Dion sudah mau selesai penelitian. Tak lama lagi dia akan ujian skripsi dan wisuda." Pria itu menarik sedikit kedua ujung bibirnya ke
Omongan Kak Mirna seperti tamparan buatku. Selama ini aku selalu sok pintar menasehati Bang Aldin atas kewajibannya sebagai seorang muslim. Aku sendiri? Sebagai seorang istri?Aku tak bisa menjawab omongan Kak Mirna. Walaupun ia tahu bagaimana pernikahan ini. Mungkin kakakku ini tidak lagi menganggap rencana Bang Dion. Namun, aku harus bagaimana? Bang Dion sekarang sedang bersemangat menyelesaikan kuliah, karena dengan itu ... artinya ia semakin dekat dengan rencananya dulu. Walaupun aku juga menganggap ini semua adalah seperti makan buah simalakama. Lagian Bang Aldin memang tidak pernah meminta haknya yang satu itu, bahkan dia sendiri menyediakan kamar khusus untukku selama ini."Mmm ... ayo kita ke depan, Kak! Mobilnya udah hampir sampai." Aku meraih tas selempangku dari atas rak di dekat lemari dan melangkah hendak pergi dari kamar itu, malas membahasnya lebih jauh."Oke!" Kak Mirna dengan semangat ikut melangkah ke luar.***