Hmmm ... sekarang tubuh Bang Aldin sudah tertutup selimut yang sama denganku. Kutatap wajahnya yang begitu damai dalam lelap. Tiba-tiba aku teringat pada Ivan. Apa kabar bocah tampan itu? Ya, ia mirip dengan sang ayah. Aku merindukan bocah kecil yang tiap malam memintaku membelai rambutnya sebelum tidur. Aku berharap anak itu baik-baik saja. Jaga dia ya, Rabb.
"Mila ... sedang ... apa?"Tiba-tiba Bang Aldin terbangun. Bibirnya tampak bergetar. Ya Allah ... apa benar ia kedinginan karena dari tadi tidak memakai selimut tadi?"Abang kedinginan?" Aku balik bertanya, karena seketika panik melihat ia bergetar seperti itu."I–iya ... dingin ... banget," ujarnya seraya menggigil.Aku mencoba menyentuh lengannya.Ya Allah, dingin sekali! Aku terlonjak dan bangkit dari rebahan."Bang, a–aku harus gimana? Apa aku bangunkan yang lain?"Lelaki itu menggeleng. "Gak ... usah," katanya gemetar."Abang sampe menggigiTiba-tiba kakiku oleng dan tergelincir."Mila!" Bang Aldin tampak terkejut.Yang lainnya juga ikut berteriak kaget. Begitu juga Bang Dion. Aku sempat mendengar suaranya tadi.Tak sengaja aku menginjak batu, membuat kaki tidak stabil, dan akhirnya aku berada di tebing tanah berbatu yang cukup curam. Aku melihat ke bawah dengan ketakutan. Sebuah lembah yang tidak begitu dalam sepertinya, mungkin sepuluh meteran. Akan tetapi, tetap saja, kalau jatuh pasti akan berbahaya. Tanganku mampu meraih akar pepohonan, sehingga tidak jatuh ke dasar."Mila! Ka–kamu gak papa?!" Bang Dion tampak panik di atas sana. Aku berusaha menjejakkan kaki ke bebatuan yang ada. "Ssshhhh ...," desisku. Tangan ini terasa perih, karena sebagian lecet akibat tergesek dengan tanah dan bebatuan tadi, "to–long, Bang!"Bang Dion tampak gelisah di atas sana. Aku bisa melihat teman-teman yang ada di bagian pinggir, karena tebing ini bersudut sekit
Aku mengangguk-angguk, sembari memelankan langkah ini."Sini kita bersihkan luka kamu!" Amel menarikku menjauhi para pria yang mau membantu Bang Aldin naik.M tak mau aku pun mengikuti gadis itu, duduk di bawah sebuah pohon. Amel membersihkan lukaku dengan air, kemudian menyiramkan sedikit alkohol. Perih! "Ssshhh!" Aku berdesis."Makanya hati-hati, Non. Nyusahin aja," omelnya.Aku tersentak dengan perkataan Amel barusan. "Namanya juga kecelakaan, Mel. Kamu ini." Mbak Nela membelaku.Amel menghela napas, tampak kesal. Aku mencurigai bahwa ada sesuatu yang terjadi pada gadis ini. Mengapa ia berubah jadi jutek begitu? Padahal tadinya ia sangat ramah kepadaku.Aku terdiam.Bang Dion terlihat kembali ke arah para pria yang hendak membantu menarik Bang Aldin."Aldiiiin!" Bang Boy dan yang lainnya tampak berteriak panik dan histeris."Ada apa?" Aku refleks berdiri karena kaget."Aa
Hah? Anu ...? Juga gede ...?"Abaaaaang!" Aku cubit lengan lelaki itu dengan keras."Ya Allah, Milaaa! Ganas banget. Maksudnya kalau kaki gede, sepatu juga gede! Kamu gak tertarik beliin sepatu baru? Yaelaaah ... emangnya apaan?"Hah?Aku langsung berdiri, melangkah menjauh, dan mengenyakkan bokongku ke sofa di pinggir ruangan itu. Kesal! Wajah ini terasa sangat panaaas!"Hahahahaaaa!" Pria itu terbahak-bahak."Hai, Nak! Gimana, senang di tempat nenek?" tanya Bang Aldin kepada Ivan di layar hapenya. Lelaki itu tengah melakukan video call saat ini dengan sang putra. Ivan menambah hari berada di sana, sebab sang ibu masih harus mengurus beberapa administrasi pernikahan di sana.Ya, kami sudah di rumah sekarang. Kaki kanan Bang Aldin yang patah sudah dioperasi. Setelah lima hari dirawat di rumah sakit, saat ini adalah masa pemulihan."Senang, Yah! Nenek tadi bikinin aku bakso ... enaaak banget!" Terdengar suara Iva
Dahiku berkerut demi mendengar ucapannya. Tukang pijatnya cantik-cantik? Di salon?"Ya udah, nanti kita ke Mall aja, ya! Sore nanti habis ashar kita pesan taksi online.""Di salon itu gak ada tukang pijat lelaki?" tanyaku penasaran."Gak ada," sahut pria tampan itu."Loh, gak boleh dong, Bang! Mereka bukan mahram Abang pasti!" cetusku padanya."Ini 'kan terpaksa, Mil. Badan Abang pegel-pegel gini." Ia menjalankan kursi roda menuju ke arah kamarnya."Eh, Bang!" Aku memanggil pria itu, "ya udah, nanti aku yang pijetin!" Lelaki itu menghentikan kursi rodanya lalu menoleh ke arahku. "Beneran?""Iya!" jawabku. Hmmm ... aku tak mau Bang Aldin melakukan itu. Saling menyentuh dan disentuh orang yang bukan mahram? Hal itu tidak boleh dibiasakan. "Ya udah, aku mau tidur siang dulu, Bang.""Oke!" Lelaki itu tampak tersenyum semringah di sana.***Aku baru saja selesai mandi sore dan menelepon ay
Aku menunda membawa piring kotor kami ke dapur. "Ya, kalau bukan lelaki, siapa lagi yang memakmurkan masjid pada waktu shalat fardhu? Masak wanita? Wanita justru afdhal-nya shalat di rumah," jelasku panjang lebar."Oh, gitu?" "Dulu, Rasulullah bilang kepada para shahabat bahwa ingin sekali membakar rumah para lelaki yang shalatnya di rumah, tidak mau ke masjid.""Wow!" serunya kaget."Nah, makanya, Bang ... sebagai lelaki, mesti shalat ke masjid. Hehehe ....""Kalau rumahnya kebetulan jauh dari masjid, bagaimana? Gak bisa terkejar waktunya shalat berjama'ah, dong?" tanyanya."Kalau sudah tahu jauh dari masjid, maka harusnya datang lebih awal, Bang. Lagian masjid di sini 'kan gak jauh," kilahku."Oke-oke ... in syaa Allah kalau Abang sudah boleh jalan lagi, ya."Aku melebarkan senyuman dan mengangguk, kemudian bangkit, dan membawa piring kotor kami ke dapur. Aku hanya meletakkan piring tersebut di dalam wastafel
Mataku terpejam ketika ia semakin dekat. Udara di sekitar berubah menjadi sesak ketika bibir ini terasa disentuh oleh sesuatu yang lembut. Aku tak tahu, mengapa diri ini tak sanggup berbuat apa-apa ketika bibir ini semakin dimainkan di situ oleh pria di hadapanku. Bahkan ... bahkan aku ... menikmatinya.Wajah ini ditangkup oleh sebelah telapak tangannya. Apa yang kini dilakukan pria itu semakin membuatku terbuai. Ting!Aku tiba-tiba tersentak! Mataku seketika membulat sempurna. Seakan tersadar ... spontan tangan ini mendorong tubuh setengah telanjang Bang Aldin. "Astagfirullah!" Napasku terengah-engah.Ting!Kembali suara pesan masuk ke ponsel pria itu. Sorot kehilangan tampak di matanya, dan raut kaget sangat kentara di wajah itu, karena barusan kudorong kuat. Sama sepertiku yang menatapnya dengan nanar. Apakah ... apakah ini mimpi?Dada ini naik turun mengatur napas tak keruan. Subhanallah ... langsung saja aku berbalik dan be
Entahlah ... aku merasa Bang Dion dengan Amel tidaklah seperti yang pria itu katakan. Aku bukan anak kecil yang tidak bisa melihat rasa cinta di mata Amel ketika menatap lelakiku. Itu bukan tatapan seorang sahabat. Akan tetapi, sekali lagi entah. Sedangkan di mataku, Bang Dion justru benar-benar mencintai diri ini. Itu terlihat dari sorot matanya."Sorry, Al. Abang baru bisa jenguk kamu sekarang," ungkap Bang Boy tampak menyesal.Mbak Nela menyapa dan memeluk diriku. Hari itu, memang hanya beberapa orang panitia dan alumni yang mengantarkan Bang Aldin ke rumah sakit. Termasuk Bang Dion serta Bang Boy. Hanya saja, setelah Bang Aldin diperiksa, Bang Dion dan teman-teman harus kembali ke lokasi karena mesti mengurus peserta lomba. Sementara Bang Boy, ia harus segera pulang karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan keesokan harinya."Gak masalah, Bang. Lagian Abang dan yang lain udah nolongin aku juga Mila waktu itu." Bang Aldin tersenyum.
Aku makin terkejut mendengar penuturan Mbak Nela. "Gosipnya, Amel sempat hamil oleh Aldin. Tapi dia keguguran, mungkin karena itu mereka gak jadi nikah.""Astagfirullah," lirihku. Entah mengapa tiba-tiba kepalaku jadi berdenyut. Kejutan yang tidak diharapkan bertubi-tubi menghantam."Eh, Mil! Ma–maaf ... Mbak keceplosan!" Mbak Nela sontak memukul pelan bibirnya sendiri."A–aku permisi ke kamar dulu ya, Mbak," pamitku pada Mbak Nela. Aku pun bangkit dari duduk, hendak melangkah pergi."Mil! Kamu gak apa-apa?" Mbak Nela menahan lenganku."Kepalaku agak pusing, Mbak. Aku ke kamar dulu ya, maaf." Aku langsung melenggang dengan langkah besar ke arah kamar.Sesampai di kamar, aku duduk di bibir ranjang. Menangkup wajah ini dengan kedua telapak tangan. Kemudian kuusap wajah sembari mendongak dan menarik napas panjang. Dadaku seketika terasa sempit. Ya Allah, mengapa hatiku terasa sakit mendengar itu? Benarkah Bang Aldin pernah