Tidak hanya seluruh lantai dan kubah pelindung saja yang membeku, namun lautan di sekelilingnya juga ikut membeku. "Nona mohon tenang! Semuanya sudah terjadi dan dia sudah saya beri pelajaran!" seru Segoro dengan panik, membuat Lina memejamkan matanya untuk menstabilkan emosi. Cukup lama ia diam hingga akhirnya membuka mata, dengan mata ular yang menyala berwarna biru terang. (Apa sekarang aku ubah jadi Mata Naga ya? Aku tulis Mata ular agar tidak berlebihan. Naga, keberadaan yang begitu luar biasa, jadi gak seenaknya aku gunakan.)"Segoro," panggilnya membuat Segoro mendongakkan kepalanya dan seketika mematung gemetaran."Nona?" Ia begitu ketakutan melihat gadis itu yang mendekatkan wajahnya."Jadi kau selama ini di dalam Oasis dan melihatnya?" Segoro yang berlutut bahkan sampai terjengkang ke belakang, ia melambai-lambai tangan seperti anak kecil yang akan dipukul menggunakan sapu oleh emaknya."Tidak tidak Nona! Saya tidak akan bisa menembus kubah pelindung yang tuanku buat!" ser
Pulau melayang kediaman Kaisar Naga Sejati.Segoro muncul di tengah-tengahnya, lalu berjalan sambil sedikit melompat-lompat dengan riang menuju singgasananya. Luce sang Naga Cahaya, Zetes sang Naga Angin serta Viona dan Lisa masih duduk santai di sana. Melihat tingkah Segoro, Luce langsung melesat di depannya, menghentikan langkahnya."Kau ikut campur lagi?" ucapnya seraya menunjuk ke arah patung Naga Es, berada di samping Ular Naga Petir dan singgasananya menyatu dengan yang diduduki oleh Lisa. Energi yang sebelumnya begitu kecil, kini sudah berkobar seperti patung lainnya."Ada apa? Sekarang semuanya bisa berkumpul, sisa keberadaannya yang belum diketahui," jawab Segoro dengan santai sambil menunjuk ke arah patung Ular Naga Tanah."Ada apa!?" Luce geregetan. "Nona Lisa dan Nona Viona saja hanya sekali ikut campur tangan!""Sekali!?" Segoro ikut-ikutan ngotot, lalu dengan santai melanjutkan perkataannya. "Membuat malapetaka di seluruh Alam Semesta?" Luce tak bisa berkata-kata lagi m
Perjalanan kembali ke kekaisaran Amerta, mampir ke kota masa kecilnya untuk melihat tempat latihannya dulu bersama Lisa. Ada perubahan besar dengan benteng tinggi yang mengelilingi kota dan kemiskinan warganya. Salah satu sebabnya karena sungai Oll yang sering banjir besar dan binatang sihir yang menyerang tanpa alasan. .....Akara muncul dari sebuah mata air, terbang di atasnya dengan seorang gadis imut yang digendongnya. Di belakang pundaknya, ada energi dengan warna merah, biru, hijau, ungu dan putih membentuk sebuah sayap yang indah. ......Menenteng kedua pedang kayunya, ia berhadapan dengan seseorang di atas istana kerajaan Glint. Bukan Marbun Bidara sebagai mantan Raja Glint, melainkan Raja Glint yang baru yaitu Vonci Kates......Terbang sendirian melewati ganasnya badai di segitiga Bermuda, lalu sampailah di kota Gnome. Duduk jegang di atas pegunungan Vodor, sedangkan di depannya ada Yog Aren dan puluhan pasukan penunggang Wyvern. Yollo!.....Di atas reruntuhan kota Gnome,
Paviliun Madu EmasAkara tengah duduk santai bersama Ketua Paviliun Madu Emas, pak tua yang sedikit bungkuk dengan jenggot viking bernama Gigis. Ada juga muridnya yang berkacamata bernama Rey. Gigi berterima kasih atas bantuan Akara kepada muridnya saat berada di dunia Lestari."Tidak masalah, aku hanya kebetulan le..."Brakk!.. Pintu terbuka dengan begitu kuat, muncullah leluhur keluarga Sung yang berbadan kekar, Sung Gicung. Seperti biasa raut mukanya selalu garang, pandangannya langsung tertuju pada Akara."Jangan ngerusuh di tempatku!" ucap Gigis walau masih duduk santai."Ahahaha!" Pak tua itu lalu mendekati Akara dan ingin menepuk pundaknya. Pemuda itu reflek begitu cepat, bahkan sampai melompat dari tempat duduknya. "Tenang anak muda! Leluhur ini hanya ingin berterimakasih!" ucap Sung Gicung sedangkan Akara menepuk pundaknya sendiri dan mengelusnya. Reflek otomatis akibat teringat akan kelakuan Sin."Berterima kasih kenapa?" "Haha anak muda ini, kau menyelamatkan kedua cucuku
Mereka bertiga melenggang pergi, tidak memperdulikan puluhan pasukan Bintang Hijau yang sedang memadamkan api. Rey, pemuda berkacamata itu berjalan di belakang mereka sambil sesekali menoleh ke arah bangunan yang hancur."Tidak terjadi apa-apa 'kan? Kalian berdua tidak perlu mengikutiku," ucap Akara membuat kedua pak tua itu kesal. "Tidak terjadi apa-apa gundulmu! Gedung mereka hancur berantakan seperti itu!" teriak Gigis seraya ingin memukul bocah itu, namun dihentikan oleh leluhur Sung dengan susah payah....Beberapa saat yang lalu.Akara berada di suatu ruang latihan, duduk bersila dengan gulungan kertas yang terbuka dan melayang di depannya. Listrik ungu menyelimuti tubuhnya, bergerak bersamaan ke arah tangan kanannya. Dengan gerakan cepat, ia mengangkat tangannya dan Blarr!.. Petir menyambar langit-langit, berbentuk seperti akar raksasa yang langsung menghancurkan bangunan itu...."Itu hanya kesalahan latihan," elak Akara.
Akara terbang di atas hampar semak belukar yang begitu luas dan menyapu pandangan ke segala sisi. Alisnya langsung berkerut turun, melihat lokasi yang dulu menjadi rumahnya dan perkebunan para warga, kini hanya hamparan semak-semak."Kenapa?" ucap Komo."Rumahku dulu!" jawab Akara sebelum akhirnya melesat pergi. Sampailah ia di pinggir sungai Oll, di depannya, lebih tepatnya seberang sungai, ada tebing tinggi. Ingatannya yang membekas membuatnya dapat melihat pertemuannya dengan gadis bernama Lisa. Saat gadis itu meniti pinggiran tebing, hingga terjatuh dan ditolongnya. Ia juga berjalan melewati hutan di pinggir sungai, dengan bayangan masa kecilnya bersama Lisa kejar-kejaran di sana. Tertawa kecil melihat ranting pohon yang hampir di tabrak Lisa dan malah membuatnya tersungkur. Semuanya baik-baik saja sebelum terdengar suara gemuruh. Ia terbang lebih tinggi di atas hutan, lalu melihat ke arah hulu sungai. Ada banjir bandang yang begitu besar di sana hing
Ranah Sinom tiga bulan energi, berputar di belakang pundak penjaga itu. Akan tetapi, ia nampak begitu percaya diri akan ranahnya itu. Akara hanya bisa mengernyitkan dahi merasa aneh, namun teringat ranah kepala keluarga Beton saat itu hanya di ranah Sinom. Ia lalu menghembuskan napas, merasa tidak semangat lagi."Sudah ketakutan kau boc.." crakk.. belum selesai ia berbicara, bor spiral menembus kepalanya. Ranahnya seketika padam dan ambruk, membuat para warga dan penjaga lainnya terkejut. Akara langsung menoleh ke arah penjaga lainnya, mengibaskan tangannya dan langsung membuat mereka tertembus bor spiral. Kepanikan warga terjadi hingga berhamburan menjauh, lalu datanglah pemimpin penjaga yang ada di suatu ruangan."Bawahan bodoh!" umpatnya seraya mengambil kampak besar yang tergantung di ruangannya. Ia lalu bergegas keluar dan mendekati arah kekacauan. "Apa yang terjadi sampai ribut seperti ini!?" teriaknya, lalu melihat seorang pemuda berjaket
Tidak satu atau dua orang saja, bahkan semua orang, tidak perduli tua, muda, laki-laki maupun perempuan. Ada pak tua bungkuk yang jalannya kesusahan, menggunakan tongkatnya untuk memukul orang di depannya. Melihat kejadian itu, Akara jadi tambah geram, bahkan tak sadar energi meluap dari tubuhnya."Diam!" teriaknya sembari kobaran api besar menyelimuti tubuhnya. Gelombang energi yang menerpa para warga, membuat mereka seketika terdiam dan menoleh."Pantas saja tidak ada kenangan baik dari para warga di kota ini!" gumamnya sembari berjalan ke arah ketua penjaga tadi. "Jika ada yang bergerak, akan aku bunuh seperti para penjaga tadi!" bentaknya. "Sok pahlawan ya?" Ia menertawakan dirinya sendiri. "Bunuh saja mereka semua, jangan jadi bocah naif!" Komo keluar dari tempat persembunyiannya dan bertengger di pundaknya. "Naif ya? Jika aku bunuh mereka, apa tidak akan memunculkan masalah baru? Tindakan positif seperti menyelamatkan m