"Arin, dalam menjalani sebuah rumah tangga butuh yang namanya komitmen, itu syarat mutlak. Tak peduli dia perjaka ataupun duda," ucap Ayah Arin dengan menggenggam tangan anak perempuannya. "Bukan berarti Ayah mengobral anak gadisku, asal dia laki-laki. Anak ayah belum menikah sampai saat ini karena istimewa. Allah sudah menyiapkan jodoh terbaik buat anak ayah. Ayah akan tanya dulu sama kamu, apakah kamu sudah pernah bertemu sebelumnya? Apa kamu merasa nyaman? Nama orang tuanya boleh ayah tau? Sebelumnya kamu hanya cerita tentang Fitri," lanjut Ayah dengan tegas dan lembut.Arin menceritakan dengan detail siapa nama papa Fitri berikut latar belakang. Ayah mengangguk senang, ternyata mereka sudah saling kenal. "Sayang, orang tua menanyakan latar belakang bukan berarti karena menginginkan menantu kaya, namun ingin yang terbaik untuk anaknya. Bagaimana memperlakukan istrinya kelak, bagaimana dengan keluarganya tentu berpengaruh dengan karakter seorang anak. Jangan salah paham ya, Sayang,
Fitri mengulas senyum terbaiknya. Dia menggenggam erat kedua tangan suaminya, di tatapnya kedua mata dengan teduh. "Bang, Allah menilai setiap proses yang kita jalani. Apapun itu hasilnya InsyaAllah itu yang terbaik, Allah Maha adil. Tidak mungkin mendzolimi hamba-Nya. Apapun keputusan pimpinan aku selalu mendukungmu," kata-kata Fitri begitu menenangkan. "Bang, jalani pekerjaan dengan profesional seperti sebelumnya, perbaiki kinerja beberapa bulan ini. Kerja itu sebuah ibadah, jadikan ladang pahala di dalamnya. Ketika kita mempunyai niat terbaik maka Allah juga akan memberikan yang terbaik," imbuhnya. "Terimakasih, Sayang. Abang tak akan mengecewakanmu lagi," "Maksudnya?" tanya Fitri."Rasa penasaran Abang sudah tak ada lagi, dulu Abang berfikir memiliki istri satu yang sempurna seperti ini pahala akan melimpah, keluarga kita bahagia bukankan impian setiap orang. Abang menikah lagi dan membuat keluarga seperti yang kita jalani, jadi Abang punya dua keluarga yang di bina mengalir p
Paginya keluarga Fitri sudah bersiap. Pukul 05.30 mereka sudah memasuki mobil untuk ke rumah Papa terlebih dahulu. "Bang, nanti ingat sarapan. Aku taruh di ransel bagian tengah," titah Istrinya sambil menutup pintu mobil dan memasang sabuk pengaman. Hilda duduk bersama kakak-kakaknya di belakang.Tidak sulit membangunkan mereka, karena sudah terbiasa bangun gasik. Mereka akan sarapan di rumah mama kecuali Akram."Nanti pulangnya jangan kelupaan ke rumah, Abang bakalan kaget tidak ada orang di rumah," ucap Fitri terkekeh di tengah keheningan. Anak-anak masih malas untuk bicara kelihatannya. Tidak ada satupun yang berbicara."Nggak dong, Sayang. Jantung hati Abang di rumah mama, tentu abang pulangnya ke sana," jawab Akram. Mobil melaju dengan lancar masih terlalu pagi untuk orang meraktivitas. Fitri menoleh ke belakang ternyata Hilda tertidur kembali, Syifa memberi kode sama bundanya untuk diam. "Rupanya kalian diam karena Hilda tertidur lagi," bisik Fitri. Syifa dan Daffa mengangguk
Fitri tampak geram melihat respon kakaknya. Ia sudah bersiap melontarkan kata-kata untuk Kak Farid. Mama bisa membaca pikiran Fitri lantas mencegah dengan tatapan memohon, mengingat masih ada anak-anak tidak baik berdebat, apalagi di hadapan makanan."Farid, ... ," panggil Mama sangat lembut."Mama ...," Farid mendongak dan menatap ke arah mamanya."Hari ini kamu ke kantor siang saja. Habis sarapan antar keponakanmu sekolah langsung kembali ke rumah," titah Mama.Farid ingin sekali membantah namun dia tidak akan menang jika lawannya adalah sang Mama. Fitri tersenyum puas jika sang Mama sudah bertindak. "Ma, bagaimana dengan meeting pagi ini?" sahut Farid lemah."Ada Aldo kan? Jangan banyak alasan jika ingin Mama tetap sehat," sergah Mama dengan wajah garangnya. Jika yang melihat Papa maka komentarnya garang tapi menggemaskan."Hem, ... ," hanya anggukan kecil yang dia lakukan. "Uncle, ...," panggil Syifa lembut."Iya, Sayang," jawab Farid segera."Jika Uncle tidak bisa mengantar kam
Fitri dan Papa saling tatap, bingung dengan kalimat yang dilontarkan Mama bagian akhir."Mama ingin kakak merenung dulu, sebelum mengambil keputusan. Mama tau Arin gadis baik yang pandai menjaga kehormatannya. Jangan sampai keputusan Farid yang tergesa-gesa karena desakan mama malah Arin jadi korban. Farid nantinya membandingkan antara Fatimah dan Arin," Mama menjelaskan poin penting kepada keluarganya."Keduanya bukan untuk di bandingkan, Fatimah masa lalumu dan Arin masa depanmu," ucapan Mama melunak.Seringkali seseorang ketika ditinggal pasangannya karena meninggal dunia, dia menikah lagi dan akan membandingkan antara yang dahulu dan sekarang. Mama tidak ingin Arin sakit hati nantinya.Fitri dan Papa mengangguk angguk tanda paham, "Papa setuju dengan usulan Mama, temuilah gurumu. InsyaAllah kamu akan dapat penjelasan yang lebih membuka hatimu, Nak. Papa juga prihatin dengan kondisi kamu yang sekarang. Gila kerja, kayaknya duniamu hanya di isi dengan pekerjaan," imbuh Papa. "Ma, F
Fitri menyenggol bahu Papa, mengedipkan mata sebelah, "Papa ayolah peka, susul Mama. Kenapa diam saja?"Papa tampak acuh dan menjawab, "Biar saja, Sayang. Nanti juga akan kesini lagi dengan sendirinya,""Papa jangan begitu, ayo susul jelaskan sesuatu. Mungkin memang Papa ngobrol sama Tante itu di Baturaden? Selesaikan hari ini juga," ucap Fitri sambil menarik Papa supaya berdiri, Hilda terus tertawa melihat kelakuan bundanya. Setelah berhasil berdiri, kini Fitri menarik Papa menuju kamar Papa Mama, Fitri mengambil Hilda. Dan mendorong Papa masuk kamar.Fitri menarik nafas lega, masalah harus segera di selesaikan apalagi urusan hati. Fitri membawa anaknya ke meja makan, Hilda belum sarapan sendirian.Selesai menyuapi anaknya Fitri membawa Hilda ke ruang keluarga. Ada beberapa mainan yang memang di sediakan untuk bermain manakala di rumah ini. Tidak perlu membawa dari rumah.Pesan masuk dari nomor suaminya, [Sayang, doakan Abang, 15 menit lagi meeting di mulai][Iya Abang Sayang, istrim
"Fitri menunggu kabar dari Bang Akram, Ma," ucapnya lesu masih menggenggam ponselnya. "Istri sholihah, segitunya!" ledek kakaknya. "Kak, doa istri yang sholih dan tulus itu akan memudahkan urusan suami. Iri bilang, Kak," cibir Fitri. Farid sangat kagum dengan adiknya, awalnya gadis manja namun punya pemikiran begitu dalam. Rela meninggalkan karir demi keluarganya. Pendapatnya ibu rumah tangga adalah karir terbaik bagi wanita. Mendidik anak-anak bukan tugas ringan, di butuhkan kepintaran, kesabaran, kedisiplinan dll. "Sebentar lagi kakak juga bakal punya istri yang mendoakan kakak," sahut Farid. "Ma, jadi ya. Besok kita ke rumah Arin, lihat itu kakak sudah ngebet pengin nikah," tawa Fitri melihat kelakuan kakaknya. Farid meraih Hilda yang ada di pangkuan Grandpa dan di bawanya menjauh dari mereka. Farid berjalan sambil menggelitiki Hilda, balita itu terus tertawa. "Mirip ABG ya, Pa. Diledek masih malu-malu," "Sayang, kakak nggak mau nikah di marahi. Giliran sudah sadar di ledeki
"Bunda," rengek Daffa. "Anak Bunda, ke halaman yuk! Bermain sebentar sambil menunggu kedatangan Ayah," ajak Fitri dengan semangat. "Kakak Syifa, sekalian ajak Hilda ya!" imbuhnya. Fitri berdiri dan menggandeng kedua anaknya. Saat sampai di ruang keluarga Syifa melepaskan diri, mendekati adiknya. "Bunda duluan saja, kakak yang ajak Hilda ke depan," kata Syifa sambil menatap bundanya dengan berbinar. Fitri mengangguk, tubuhnya sudah di tarik dengan semangat oleh Daffa. Langkah kaki anak dan bunda itu berhenti di dekat permainan prosotan, "Kak Daffa, bunda nunggu di sini, kalau main ini. Bunda takut naik," "Kita ke yang itu saja ya, Bun. Ayunan," Daffa mengurungkan niatnya naik prosotan. "Boleh-boleh," Fitri mengangguk dengan antusias. "Bunda yang warna apa?" tanya Daffa polos. "Kak Daffa yang milih, Bunda yang mana saja bisa kok," sahut Fitri gemes. "Tidak bisa begitu, Bunda Sayang. Bunda adalah wanita yang akan Daffa selalu hormati, lindungi InsyaAllah. Jadi, Bunda harus mend