Paginya keluarga Fitri sudah bersiap. Pukul 05.30 mereka sudah memasuki mobil untuk ke rumah Papa terlebih dahulu. "Bang, nanti ingat sarapan. Aku taruh di ransel bagian tengah," titah Istrinya sambil menutup pintu mobil dan memasang sabuk pengaman. Hilda duduk bersama kakak-kakaknya di belakang.Tidak sulit membangunkan mereka, karena sudah terbiasa bangun gasik. Mereka akan sarapan di rumah mama kecuali Akram."Nanti pulangnya jangan kelupaan ke rumah, Abang bakalan kaget tidak ada orang di rumah," ucap Fitri terkekeh di tengah keheningan. Anak-anak masih malas untuk bicara kelihatannya. Tidak ada satupun yang berbicara."Nggak dong, Sayang. Jantung hati Abang di rumah mama, tentu abang pulangnya ke sana," jawab Akram. Mobil melaju dengan lancar masih terlalu pagi untuk orang meraktivitas. Fitri menoleh ke belakang ternyata Hilda tertidur kembali, Syifa memberi kode sama bundanya untuk diam. "Rupanya kalian diam karena Hilda tertidur lagi," bisik Fitri. Syifa dan Daffa mengangguk
Fitri tampak geram melihat respon kakaknya. Ia sudah bersiap melontarkan kata-kata untuk Kak Farid. Mama bisa membaca pikiran Fitri lantas mencegah dengan tatapan memohon, mengingat masih ada anak-anak tidak baik berdebat, apalagi di hadapan makanan."Farid, ... ," panggil Mama sangat lembut."Mama ...," Farid mendongak dan menatap ke arah mamanya."Hari ini kamu ke kantor siang saja. Habis sarapan antar keponakanmu sekolah langsung kembali ke rumah," titah Mama.Farid ingin sekali membantah namun dia tidak akan menang jika lawannya adalah sang Mama. Fitri tersenyum puas jika sang Mama sudah bertindak. "Ma, bagaimana dengan meeting pagi ini?" sahut Farid lemah."Ada Aldo kan? Jangan banyak alasan jika ingin Mama tetap sehat," sergah Mama dengan wajah garangnya. Jika yang melihat Papa maka komentarnya garang tapi menggemaskan."Hem, ... ," hanya anggukan kecil yang dia lakukan. "Uncle, ...," panggil Syifa lembut."Iya, Sayang," jawab Farid segera."Jika Uncle tidak bisa mengantar kam
Fitri dan Papa saling tatap, bingung dengan kalimat yang dilontarkan Mama bagian akhir."Mama ingin kakak merenung dulu, sebelum mengambil keputusan. Mama tau Arin gadis baik yang pandai menjaga kehormatannya. Jangan sampai keputusan Farid yang tergesa-gesa karena desakan mama malah Arin jadi korban. Farid nantinya membandingkan antara Fatimah dan Arin," Mama menjelaskan poin penting kepada keluarganya."Keduanya bukan untuk di bandingkan, Fatimah masa lalumu dan Arin masa depanmu," ucapan Mama melunak.Seringkali seseorang ketika ditinggal pasangannya karena meninggal dunia, dia menikah lagi dan akan membandingkan antara yang dahulu dan sekarang. Mama tidak ingin Arin sakit hati nantinya.Fitri dan Papa mengangguk angguk tanda paham, "Papa setuju dengan usulan Mama, temuilah gurumu. InsyaAllah kamu akan dapat penjelasan yang lebih membuka hatimu, Nak. Papa juga prihatin dengan kondisi kamu yang sekarang. Gila kerja, kayaknya duniamu hanya di isi dengan pekerjaan," imbuh Papa. "Ma, F
Fitri menyenggol bahu Papa, mengedipkan mata sebelah, "Papa ayolah peka, susul Mama. Kenapa diam saja?"Papa tampak acuh dan menjawab, "Biar saja, Sayang. Nanti juga akan kesini lagi dengan sendirinya,""Papa jangan begitu, ayo susul jelaskan sesuatu. Mungkin memang Papa ngobrol sama Tante itu di Baturaden? Selesaikan hari ini juga," ucap Fitri sambil menarik Papa supaya berdiri, Hilda terus tertawa melihat kelakuan bundanya. Setelah berhasil berdiri, kini Fitri menarik Papa menuju kamar Papa Mama, Fitri mengambil Hilda. Dan mendorong Papa masuk kamar.Fitri menarik nafas lega, masalah harus segera di selesaikan apalagi urusan hati. Fitri membawa anaknya ke meja makan, Hilda belum sarapan sendirian.Selesai menyuapi anaknya Fitri membawa Hilda ke ruang keluarga. Ada beberapa mainan yang memang di sediakan untuk bermain manakala di rumah ini. Tidak perlu membawa dari rumah.Pesan masuk dari nomor suaminya, [Sayang, doakan Abang, 15 menit lagi meeting di mulai][Iya Abang Sayang, istrim
"Fitri menunggu kabar dari Bang Akram, Ma," ucapnya lesu masih menggenggam ponselnya. "Istri sholihah, segitunya!" ledek kakaknya. "Kak, doa istri yang sholih dan tulus itu akan memudahkan urusan suami. Iri bilang, Kak," cibir Fitri. Farid sangat kagum dengan adiknya, awalnya gadis manja namun punya pemikiran begitu dalam. Rela meninggalkan karir demi keluarganya. Pendapatnya ibu rumah tangga adalah karir terbaik bagi wanita. Mendidik anak-anak bukan tugas ringan, di butuhkan kepintaran, kesabaran, kedisiplinan dll. "Sebentar lagi kakak juga bakal punya istri yang mendoakan kakak," sahut Farid. "Ma, jadi ya. Besok kita ke rumah Arin, lihat itu kakak sudah ngebet pengin nikah," tawa Fitri melihat kelakuan kakaknya. Farid meraih Hilda yang ada di pangkuan Grandpa dan di bawanya menjauh dari mereka. Farid berjalan sambil menggelitiki Hilda, balita itu terus tertawa. "Mirip ABG ya, Pa. Diledek masih malu-malu," "Sayang, kakak nggak mau nikah di marahi. Giliran sudah sadar di ledeki
"Bunda," rengek Daffa. "Anak Bunda, ke halaman yuk! Bermain sebentar sambil menunggu kedatangan Ayah," ajak Fitri dengan semangat. "Kakak Syifa, sekalian ajak Hilda ya!" imbuhnya. Fitri berdiri dan menggandeng kedua anaknya. Saat sampai di ruang keluarga Syifa melepaskan diri, mendekati adiknya. "Bunda duluan saja, kakak yang ajak Hilda ke depan," kata Syifa sambil menatap bundanya dengan berbinar. Fitri mengangguk, tubuhnya sudah di tarik dengan semangat oleh Daffa. Langkah kaki anak dan bunda itu berhenti di dekat permainan prosotan, "Kak Daffa, bunda nunggu di sini, kalau main ini. Bunda takut naik," "Kita ke yang itu saja ya, Bun. Ayunan," Daffa mengurungkan niatnya naik prosotan. "Boleh-boleh," Fitri mengangguk dengan antusias. "Bunda yang warna apa?" tanya Daffa polos. "Kak Daffa yang milih, Bunda yang mana saja bisa kok," sahut Fitri gemes. "Tidak bisa begitu, Bunda Sayang. Bunda adalah wanita yang akan Daffa selalu hormati, lindungi InsyaAllah. Jadi, Bunda harus mend
"Kalau bicara yang jelas, Abang," Fitri sudah tidak sabar dengan jawaban yang di sampaikan suamunya. Dia menatap lekat ke arah cermin yang memantulkan wajah suaminya."Sini, biar Abang yang sisirin, Sayang," Akram merebut sisir yang di pegang istrinya."Abang, tidak perlu memberi teka teki. Istrimu akan menerima apapun itu, tidak peduli hasil yang Abang dapat. Yang terpenting bagiku Abang sudah berusaha," Fitri menebak jika suaminya berat mengatakan kebenarannya. Akram tersenyum simpul sambil menyisiri rambut Fitri yang panjang. Dia sangat nyaman jika berdekatan dengan belahan jiwanya. "Sayang, tunggu sebentar. Abang cari sesuatu dulu," ucap Akram ambigu. Dahi Fitri berkerut, memandangi arah kemanapun langkah Akram."Mencari apa, Bang?" akhirnya Fitri bersuara tak tahan melihat pria itu terus berjalan mengitari antara kursi, lemari, ranjang dan nakes."Sayang! Tas Abang di letakan dimana?" Akram berbalik menghadap istrinya."Abang cari tas? Sebentar, aku ingat-ingat dulu," dahi Fitr
"Sayang, lekas kamu telepon sahabatmu!" Akram merasa reaksi Fitri menandakan lupa. "Abang, serius banget. Aku sudah telepon Arin tadi siang," ucap Fitri sangat tenang seperti tidak terjadi apa-apa, semua mata teruju padanya. Farid melemparinya bantal sofa yang ada di dekatnya. "Kak! Kenapa?" tanya Fitri kesal, mimiknya sudah maju entah berapa centi. Sembari memungut bantal dan melemparkan kembali kepada kakaknya. "Tidak lucu, Dek! Semua sudah resah dengan reaksimu!" gerutu Farid, tatapannya tidak lepas dari adiknya. "Tadi itu aku teringat sesuatu, bukan karena kaget belum memberi kabar sahabatku. Arin bilang, Ayahnya baru pulang dari luar kota pagi jadi, kita kesananya menjelang makan siang. Jam 10 atau 11an gitu," papar Fitri. Semua mata tampak lega dengan penjelasan Fitri, Papa meresapi minum kopi buatan mama. Aromanya menyeruak "Pa, kelihatannya kopinya enak banget," "Kebiasaan, mau minta kan? Bikin sendiri saja, sekalian suamimu di buatkan!" decak Papa, Fitri paling suka n