Dilihatnya Ethan. Pria itu sudah menggunakan pakaian untuk surfing. “Sudah siap?” tanya Aluna. Ethan malah memeluknya. “Aku tidak akan membiarkanmu berkencan dengannya.” Aluna mengangguk. “Semoga menang.” “Sial,” umpat Ethan. “Dipikir siapa dia? Lebih hebat dan lebih tampan dariku?” Ethan berdecih. “Hah!” brak! Menggebrak pintu. “Heh Ethan.” Aluna melotot sembari mengambil tangan Ethan. “Jangan memukulnya,” ucapnya. Mengusap tangan Ethan. “Jangan membuat keributan, jangan sampai ada orang yang tahu kita di sini.” Ethan menatap tangan mungil Aluna yang memegang tangannya. “Pokoknya aku akan menang, bagaimanapun caranya.” Ethan mengusap pipi Aluna. “Tunggu.” Ethan mengusap bahu Aluna. Bahkan menggosoknya! “Kenapa?” Aluna mengernyit. “Ada kotoran?” “Tidak.” Ethan mengusap bahu Aluna. “Menghilangkan jejak tangan Bobby yang menyentuhmu.” “Astaga.” Aluna mengusap dadanya. “Padahal kamu sendiri yang meminta bantuannya.” Aluna mendegus. “Aku tahu, kamu menyuruh
Pertandingan dimulai. Aluna duduk di pinggir pantai dengan tenang, meskipun sebenarnya hatinya tidak!Siapa juga yang ingin berkencan dengan pria asing?Aluna bukannya sok jual mahal. Tapi sudah cukup, ia tidak ingin terlibat secara jauh dengan keluarga Grace. “Apa yang kau harapkan? Aku jadi penasaran?” tanya Wiliam. Aluna menggeser tubuhnya menjauhi Wiliam. Memlih untuk tidak menjawab. “Sepertinya kau sangat membenciku ya?” tanya Wiliam. Berkacak pinggang menatap Aluna yang sama sekali tidak berkutik. Tidak ada niat untuk membalas pertanyaannya. “Hei! Aku berbicara denganmu!” Wiliam berdecih. “Dasar perempuan sialan,” umpat Wiliam. Aluna akhirnya melirik pria itu. seringaian pria itu membuat Aluna mengepalkan tangan. “Ethan hanya menjadikanmu bahan mainan, jangan terlalu percaya diri.” Wiliam tertawa. “Sikapmu yang sombong ini seolah-olah kau menjadi ratu Ethan.” “Ratunya Ethan yang sebenarnya itu—” menunjuk Grace yang berdiri lumayan jauh dari mereka. “Grace Salim. Kelua
Beberapa menit sebelum Aluna pingsan. Ethan yang sedang fokus berselancar tidak sengaja melihat Aluna yang sedang berdebat dengan temannya. Ethan melihat Aluna yang memegangi kepala. Tanpa ia sadari—karena tidak fokus. Akhirnya ia terjatuh di dahului oleh Gerald. Sial! Kali ini keberuntungan memang tidak berpihak padanya. “Aku menang,” ucap Gerald. Aluna mendongak. Yang ia lihat wajah Gerald begitu dekat dengannya. Belum sempat menjawab—tubuhnya terasa begitu lemas. Pada akhirnya berakhir pingsan. “Aluna!” teriak orang yang ada di sana. Ethan hanya bisa menatap tubuh Aluna yang diangkat oleh pria lain. Lagi-lagi ia harus mengumpat untuk melampiaskan kekesalannya. Karena hubungannya dengan Aluna harus dirahasiakan. Ia membiarkan Aluna disentuh dan digendong pria lain. “Aaaargh!!!” menendang kursi yang ada di sana. ~~Tidak tahu berapa lama tertidur—Aluna membuka matanya juga. Yang pertama ia lihat seorang pria yang duduk menunduk. Pria yang memiliki warna rambut cokelat.
Ethan menarik pinggang Aluna. “Tubuhmu candu, Aluna.” Ethan menyatukan bibir mereka. Aluna memejamkan mata—kedua tangannya mengalun di leher Ethan. “Besok sore kita kembali. pulanglah ke Mansionku.” Ethan mengusap bibir bawah Aluna. Aluna menggeleng. “Aku akan pulang.” “Ke mana?” “Ke kampung. Aku sudah meminta hari libur dan kamu setuju. Jangan melarangku!” peringat Aluna. Ethan mengernyit. “Benarkah? Sepertinya aku lupa.” “Ethan!” teriak Aluna kesal. Ethan membekap bibir Aluna. “Akhir-akhir ini kau sering berteriak. Orang-orang akan tahu kita.” Aluna melepaskan tangan Ethan dari bibirnya. “Iya, aku lupa.” “Bagaimana kalau liburnya nanti-nati saja. Besok datanglah ke mansionsku. Aku akan memberikanmu sesuatu. Aku akan membelikanmu apapun yang kau mau.” Jangan sampai tergoda dengan rayuan maut Ethan. Aluna tidak bisa menunda pulang lagi. karena Gio sudah menantikannya, ia juga sudah merindukan putra semata wayangnya itu. “Tidak!” Aluna mencebikkan kesal. “Te
Semakin dipikirkan akan semakin sedih pula. Aluna harus selalu mengingat perannya sebagai penghibur. Jangan mengharap apapun pada Ethan. Setelah percintaan itu—Aluna mengganti pakaiannya dan bersiap keluar. Ya, Ethan memang mendatanginya saat butuh lalu akan pergi. Aluna melangkah ke belakang. Di sanalah peralatan untuk membakar daging sudah siap. Aluna mendekati Bobby yang sibuk membakar daging. “Kau bisa?” “Jangan mengangguku. Aku sedang serius,” balas Bobby sangat fokus membakar daging. “Halaah preeet.” Aluna mencebikkan bibirnya. Bobby menonyor dahi Aluna. “Kau baik-baik saja bocil?” tanyanya. Aluna memutar bola matanya malas mendengar ejekan bocil lagi. “Apa yang membuatmu selalu menyebutku bocil? Kita ini seumuran.” Aluna menyipitkan mata. “Karena kau kecil.” Bobby memindahkan daging di piring. “Kau belum menjawab pertanyaanku.” Bobby mengambil satu potong kecil daging. “Kau baik-baik saja?” tanyanya sambil memberikan potongan daging itu pada Aluna. Aluna menerima
Aluna benar-benar puas. bagaimanapun hasilnya—tapi ia benar-benar menyajikan daging hasil panggangannya di piring Ethan. “Aluna cobalah ini.” Gerald mengambil sebuah salad kemudian ditaruhnya di atas piring Aluna. “Terima kasih.” Aluna menggeser tubuhnya sedikit lebih jauh. Demi apapun, bukan mencari masalah. Aluna sudah mencoba menjauh dari Gerald. Tapi pria itu sepertinya tidak ingin jauh-jauh darinya. “Enak?” tanya Gerald. Aluna mengangguk. “Hm…” “Tapi aku tidak terlalu suka.” Terkekeh pelan. “Kalian terlihat cocok tahu.” Grace memandang kakaknya dan Aluna takjub. Ia tersenyum dengan senang sembari bertopang dagu. Aluna tersenyum canggung. Melihat pakaian yang digunakan Grace sangat terbuka. Dress hitam itu begitu melekat di tubuh Grace. Dengan belaha dada rendah dan bagian punggung terbuka. Pasti banyak pria yang tergoda dengan Grace. Selain cantik juga memiliki tubuh yang bagus dan sintal. “Tapi sungguh kalian sangat cocok,” ungkap Grace lagi. “Aluna kau
Saatnya pulang. Aluna sudah berkemas. Seharusnya ia pulang sore. Tapi karena tiket kereta yang ia pesan tidak ada yang sore, maka ia mengambil siang saja. Aluna menyeret kopernya ke atas bakasi mobil. Semua orang berada di sebuah destinasi wisata. Ia sendirian dan tidak menjadi masalah. “Kau akan pergi tanpa berpamitan denganku?” Aluna memutar tubuhnya. “Ethan..” lirihnya. “Kenapa kamu di sini?” tanyanya. “Bukannya kamu ikut yang lain?” “Tidak.” Ethan menggeleng. “Aku akan ikut saat sudah memastikanmu berangkat dengan aman.” Ethan mendekat. menutup bakasi mobil yang sudah terisi dengan koper Aluna. “Hubungi aku.” Ethan memegang bahu Aluna. Aluna mengangguk. “Aku akan mengabarimu saat sudah sampai.” “Bukan saat sudah sampai, tapi saat kau terkena kendala saat perjalanan.” “Baiklah. Tapi semoga tidak ada kendala di perjalanan.” Ethan mengusap pipi Aluna pelan. “Aku jadi ingin membeli banyak sapi, sawah dan punya warung pecel lele.” “Ethan!” pekik Aluna. “Jangan membahasnya
“MAMAAAAAA!” teriak seorang laki-laki yang menyambut ibunya pulang. Aluna berlari. Ia memeluk anaknya. “Apa kabar sayang..” “Gio sehat, Ma.” Gio menatap ibunya. “Mama jangan kawatir.” Aluna tersenyum sembari mengusap puncak kepala anaknya. “Aluna,” panggil ibu Aluna. “Ibu..” Aluna memeluk ibunya. “Kamu baik-baik aja kan?” Aluna mengangguk. “Aluna baik-baik saja.” Ia beralih pada anaknya lagi. “Gio mau beli apa? Mainan?” tanyanya. “Mainan!” ucap Gio dengan riang. Aluna tersenyum. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat anaknya yang sehat dan ceria. Sebelum pulang mereka mampir terlebih dahulu ke toko mainan untuk membeli mainan Gio. Sesampainya di sana, Aluna berjongkok dan berkata. “Pilih semua yang ingin kamu beli. Hari ini Mama akan belikan semua yang kamu inginkan.” “Benarkah?” tanya Gio. “Benar.” Aluna mengusap puncak kepala Gio. “Sekarang pilih sesuka hati kamu.” Gio segera pergi memilah mainan. “Hati-hati Gio, jangan berlari!” peringat A