Semakin dipikirkan akan semakin sedih pula. Aluna harus selalu mengingat perannya sebagai penghibur. Jangan mengharap apapun pada Ethan. Setelah percintaan itu—Aluna mengganti pakaiannya dan bersiap keluar. Ya, Ethan memang mendatanginya saat butuh lalu akan pergi. Aluna melangkah ke belakang. Di sanalah peralatan untuk membakar daging sudah siap. Aluna mendekati Bobby yang sibuk membakar daging. “Kau bisa?” “Jangan mengangguku. Aku sedang serius,” balas Bobby sangat fokus membakar daging. “Halaah preeet.” Aluna mencebikkan bibirnya. Bobby menonyor dahi Aluna. “Kau baik-baik saja bocil?” tanyanya. Aluna memutar bola matanya malas mendengar ejekan bocil lagi. “Apa yang membuatmu selalu menyebutku bocil? Kita ini seumuran.” Aluna menyipitkan mata. “Karena kau kecil.” Bobby memindahkan daging di piring. “Kau belum menjawab pertanyaanku.” Bobby mengambil satu potong kecil daging. “Kau baik-baik saja?” tanyanya sambil memberikan potongan daging itu pada Aluna. Aluna menerima
Aluna benar-benar puas. bagaimanapun hasilnya—tapi ia benar-benar menyajikan daging hasil panggangannya di piring Ethan. “Aluna cobalah ini.” Gerald mengambil sebuah salad kemudian ditaruhnya di atas piring Aluna. “Terima kasih.” Aluna menggeser tubuhnya sedikit lebih jauh. Demi apapun, bukan mencari masalah. Aluna sudah mencoba menjauh dari Gerald. Tapi pria itu sepertinya tidak ingin jauh-jauh darinya. “Enak?” tanya Gerald. Aluna mengangguk. “Hm…” “Tapi aku tidak terlalu suka.” Terkekeh pelan. “Kalian terlihat cocok tahu.” Grace memandang kakaknya dan Aluna takjub. Ia tersenyum dengan senang sembari bertopang dagu. Aluna tersenyum canggung. Melihat pakaian yang digunakan Grace sangat terbuka. Dress hitam itu begitu melekat di tubuh Grace. Dengan belaha dada rendah dan bagian punggung terbuka. Pasti banyak pria yang tergoda dengan Grace. Selain cantik juga memiliki tubuh yang bagus dan sintal. “Tapi sungguh kalian sangat cocok,” ungkap Grace lagi. “Aluna kau
Saatnya pulang. Aluna sudah berkemas. Seharusnya ia pulang sore. Tapi karena tiket kereta yang ia pesan tidak ada yang sore, maka ia mengambil siang saja. Aluna menyeret kopernya ke atas bakasi mobil. Semua orang berada di sebuah destinasi wisata. Ia sendirian dan tidak menjadi masalah. “Kau akan pergi tanpa berpamitan denganku?” Aluna memutar tubuhnya. “Ethan..” lirihnya. “Kenapa kamu di sini?” tanyanya. “Bukannya kamu ikut yang lain?” “Tidak.” Ethan menggeleng. “Aku akan ikut saat sudah memastikanmu berangkat dengan aman.” Ethan mendekat. menutup bakasi mobil yang sudah terisi dengan koper Aluna. “Hubungi aku.” Ethan memegang bahu Aluna. Aluna mengangguk. “Aku akan mengabarimu saat sudah sampai.” “Bukan saat sudah sampai, tapi saat kau terkena kendala saat perjalanan.” “Baiklah. Tapi semoga tidak ada kendala di perjalanan.” Ethan mengusap pipi Aluna pelan. “Aku jadi ingin membeli banyak sapi, sawah dan punya warung pecel lele.” “Ethan!” pekik Aluna. “Jangan membahasnya
“MAMAAAAAA!” teriak seorang laki-laki yang menyambut ibunya pulang. Aluna berlari. Ia memeluk anaknya. “Apa kabar sayang..” “Gio sehat, Ma.” Gio menatap ibunya. “Mama jangan kawatir.” Aluna tersenyum sembari mengusap puncak kepala anaknya. “Aluna,” panggil ibu Aluna. “Ibu..” Aluna memeluk ibunya. “Kamu baik-baik aja kan?” Aluna mengangguk. “Aluna baik-baik saja.” Ia beralih pada anaknya lagi. “Gio mau beli apa? Mainan?” tanyanya. “Mainan!” ucap Gio dengan riang. Aluna tersenyum. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat anaknya yang sehat dan ceria. Sebelum pulang mereka mampir terlebih dahulu ke toko mainan untuk membeli mainan Gio. Sesampainya di sana, Aluna berjongkok dan berkata. “Pilih semua yang ingin kamu beli. Hari ini Mama akan belikan semua yang kamu inginkan.” “Benarkah?” tanya Gio. “Benar.” Aluna mengusap puncak kepala Gio. “Sekarang pilih sesuka hati kamu.” Gio segera pergi memilah mainan. “Hati-hati Gio, jangan berlari!” peringat A
Pulang ke rumah. Tidur di atas kasur yang sudah berbulan-bulan tidak ia sentuh. Aluna merebahkan diri. Menatap langit-langit kamarnya. Hampir saja terpejam jika ponselnya tidak berbunyi. “Hallo,” ucap Aluna seadanya karena ia lelah. “Sudah sampai?” Mendengar suara Ethan membuat Aluna langsung melebarkan mata. Tidak jadi mengantuk. “Iya.” Aluna menguap beberapa kali. “Kau mengantuk?” “Hm.” Aluna mengambil posisi berbaring menyamping. “Kau tidak mengabariku seharian.” Aluna berusaha tidak mengantuk namun matanya benar-benar berat. “Iya karena tadi aku menemani…Gio..” “Gio siapa?” tanya Ethan. Aluna membuka matanya lagi. “Gio..Gio..” “Gio adalah keponakanku!” Huh! Aluna menghela nafas. Beginilah kalau hidup penuh kebohongan. Tidak akan pernah tenang. “Kau punya kakak? Setahuku kau anak tunggal dari keluarga miskin.” Aluna menyipitkan mata. Tidak bisakah kata miskin itu tidak usah diperjelas? “Punya.” Aluna menepuk dahinya pelan. “Kakak dari anak saudara ibuku.” “Silsilah
Setelah menghabiskan 2 hari bersama anaknya. Aluna memutuskan untuk langsung kembali ke kota. Meskipun dengan berat hati. Ia harus meninggalkan anaknya lagi untuk bekerja. Apalagi Gio masih harus perawatan rutin ke rumah sakit. Tentu saja Aluna harus mengeluarkan banyak biaya. Tidak banyak yang bisa dilakukan Aluna ketika kembali. Ia hanya berbaring di atas ranjangnya. Meskipun ranjangnya bagus—pemandangan yang indah. Tetap saja, rumahnya di kampung adalah tempat ternyaman baginya. “Aluna kau sudah menentukan harinya?” itu adalah pesan dari Gerald. Aluna tidak tahu harus jalan dengan pria itu hari apa. Aluna langsung membalas. [Bagaimana kalau sekarang? besok aku bekerja] [Boleh] Aluna langsung mengganti pakaiannya. Belum selesai berdandan. Panggilan ponselnya berdering kembali. “Kau di mana?” tanya seorang pria yang sepertinya sedang kesal. “Aku di Apartemen. Tapi aku—” “Aku akan ke sana.” “JANGAN!” “Kenapa?” Aluna terdiam beberapa detik. Ia ragu memberi
“Ke mana mereka?!” Ethan yang semakin melotot panik. Menyetir dan mengikuti ke mana mereka akan pergi. “Sial, seharusnya aku tidak membiarkan Aluna pergi.” “Seharusnya aku menjemputnya dari stasiun dan langsung membawanya ke rumahku.” “Aluna membuatku benar-benar gila.” Tidak ada orang yang baru tidur langsung pergi dan menyeret temannya untuk membuntuti kekasihnya. Siapa lagi kalau bukan Ethan. Ia menyadap ponsel Aluna dan langsung pergi membuntuti perempuan itu bersama temannya. “Aku akan habisi bajingan itu jika berani menyentuh Aluna.” Ocehan Ethan tidak berhenti. Hal itu membuat Bobby mengusap telinganya yang terasa panas. “Datangi saja mereka!” ucap Bobby yang sudah kesal. “Seret Aluna pulang.” Bobby tertawa. “Itupun kalau kau berani.” Ethan menyipitkan mata. Kedua tangannya mengepal menahan kekesalan. Melihat kemarahan Ethan, Bobby langsung menutup mulutnya dengan tangan. “Yaa… ke mana mereka pergi..” lirih Bobby karena mobil Gerald tidak kunjung berhent
Aluna tertawa canggung. “Apa aku terlihat secantik itu?” Huh! Selamatkan Aluna. Aluna tidak terlalu nyaman sebenarnya. Tapi bagaimana lagi? Ia harus membereskan segera masalah ini. Gerald tersenyum tipis. “Kau mengira pasti aku sedang berbohong.” Aluna menyipitkan mata. “Omongan pria tidak boleh terlalu dipercaya.” “Kau cukup waspada juga.” Memesan menu yang sebenarnya Aluna juga tidak tahu. Yang ia tahu hanya steak. Itupun harganya sangat mahal. Ah sudahlah. Tidak perlu memikirkan harga. Yang terpenting adalah acara ini harus cepat selesai. Gerald itu tampan dan sangat mirip dengan Grace. Tapi Aluna tidak tertarik sama sekali. Ia juga takut berurusan terlalu dalam dengan keluarga mereka. Gerald baik. Tapi—Aluna tidak merasakan tertarik sebagai lawan jenis. Ia hanya bersikap baik dan menganggap pria itu temannya sendiri. “Sudah berapa lama kau bekerja di Winston?” tanya Gerald. “Baru sih..” Aluna berpikir. “Baru satu bulan.. aku dulu bekerja di perusahaan lai