Bu kepala menyajikan menu bubur untuk sarapan pagi ini di depan Angga. Potongan buah tak luput dari deretan menu yang dihidangkan. "Jadi, kau yang memasak ini untukku?" Angga mengangkat kepalanya. Mengarah pada Nova yang duduk di seberangnya. Dengan apa yang sudah mereka bicarakan tadi. Angga menuntut Nova untuk jujur padanya. Di antara mereka berdua. Ada bu kepala yang berdiri tak jauh dari area meja makan. Raut wajahnya tegang dan diselimuti ketakutan. Nova melihat itu, lantas beralih lagi pada Angga seraya berkata, "ya, aku yang memasaknya." Jawaban Nova cukup membuat Angga puas. Ini artinya mulai hari ini Angga akan menikmati semua hasil kerja keras Nova lewat makanan yang ia sajikan."T-tuan, masakan itu–""Aku sudah tahu siapa yang memasak ini, bu kepala. Kau tidak perlu menutupinya lagi." Angga menggeser tubuhnya menghadap bu kepala. Sadar dirinya telah tertangkap basah menjadi bagian dari drama yang dibuat oleh Nova."M-maafkan saya, tuan. Saya tidak bermaksud untuk membo
Perdebatan tadi pagi adalah perdebatan paling tak layak untuk Nova pertanyakan kejelasannya. Sudah jelas, keputusan yang Angga buat tak lain berasal dari egonya sendiri. "Angga selalu saja begitu. Mengambil keputusan sesuka hatinya. Apakah dia tidak berpikir bagaimana nasib bu kepala setelah keluar dari rumah ini? Jika aku menjadi bu kepala, aku akan sangat sakit hati dengan perilaku Angga yang semena-mena." Di kamar lantai satu Nova berjalan mondar-mandir tanpa arah. Ruangan itu bagaikan sebuah kotak yang terasa membatasi pergerakannya semenjak memutuskan untuk pisah kamar dari Angga. Karena insiden tadi pula, Nova kembali berpikir, haruskah ia menerima perintah Angga lagi untuk kembali ke kamar mereka. Kamar yang luasnya hampir sama dengan lapangan futsal pribadi. Kekesalan Nova semakin memuncak, baginya, Angga sudah sangat kelewatan. Setelah memecat Aldo, kini ia menyingkirkan bu kepala. "Apa sebenarnya maksud Angga melakukan ini semua?" Sebelah tangan Nova menopang dagunya. M
Tiga puluh menit waktu yang diminta Aldo benar-benar pria itu manfaatkan semaksimal mungkin. Setelah mendengar apa yang dikatakan Aldo tadi sekujur tubuh Nova merinding. Ia tidak pernah membayangkan akan mengetahui hal itu sebelumnya. "Kamu boleh percaya atau tidak pada penjelasanku ini. Satu hal yang pasti, aku tidak ingin kamu menjadi pelampiasan dendam selanjutnya. Meski Angga adalah suamimu, kamu juga perlu waspada," kata Aldo. Entah kata apa yang bisa mendeskripsikan perasaan Nova atas hal ini. Andai Aldo tak memberitahunya lebih dulu, mungkin Nova akan terjebak dengan drama rumah tangga yang semakin kelam. Kata demi kata di ujung lidah lenyap perlahan, ditelan rasa tidak percaya atas apa yang ia dengar. "Kusarankan untuk berkonsultasi dengan tenaga profesional. Jika tidak ada langkah apapun. Aku bertaruh, kalau bukan kamu, Angga sendiri yang akan menghancurkan dirinya sendiri," ujar Aldo serius. "Waktuku sudah habis. Maaf aku harus pergi sekarang. Apapun yang terjadi, denga
Terlalu menikmati obrolan dengan Diana membuat Nova lupa waktu. Ia baru sampai di rumah tepat pukul sepuluh malam. Dua ajudan yang berjaga di teras rumah seakan memberikan tanda kiamat lewat tatapan matanya. Tentu Nova sangat peka akan hal itu. Ia menghela napasnya, melepaskan segala kegelisahan yang mengoyak dadanya. "Semoga saja Angga sudah tidur. Bisa habis riwayatku jika dia tahu aku baru pulang." Sepanjang langkah memasuki rumah, Nova sengaja melepas sepatu hak tinggi yang ia pakai sejak tadi. Lebih tepatnya Nova sedang meminimalisir kebisingan yang bisa membuat Angga dan kenyamanan Celva terganggu. Kini Nova sudah berada di depan kamarnya di lantai satu. Sebelum pergi menemui Aldo, Nova sudah menitipkan Celva pada salah satu pelayan yang sudah berpengalaman mengurus Celva sebelumnya. Makanya, hari ini Nova benar-benar menikmati kesendiriannya di luar sana. Ceklek.Pintu kamar perlahan terbuka. Di dalam sana gelap gulita, hanya lampu tidur di keranjang Celva yang menyala deng
Sebelumnya..Perdebatan panjang diakhiri dengan kesepakatan dua orang yang berkomitmen untuk menjalani rumah tangga seperti yang seharusnya.“Pertama, kau harus menyiapkan semua kebutuhanku yang biasa diurus oleh bu kepala. Semua hal, tanpa terkecuali.” Angga duduk di kursi malas di sudut kamar. Masih setia dengan handuk yang membalut area pinggang hingga ke lutut.“Kedua, kau harus selalu menyambut kedatanganku saat pulang kerja dengan senyuman hangat. Meski aku sedang dalam keadaan mood terburuk sekalipun.”“Ketiga…”“Apa kau berniat untuk menjadikanku pembantu?” sela Nova cepat. Semua syarat yang diajukan oleh Angga terdengar lebih pantas dilakukan oleh asisten rumah tangga. Tidak ada satupun yang menyatakan kewenangan yang adil untuk Nova.Bagaimana cara Angga menatap saat ini adalah satu hal yang paling Nova khawatirkan. Tatapan tajam yang menelisik hampir seluruh isi pikiran Nova. “Hanya kau yang berpikir seperti itu. Jika kau cukup cerdas dalam menafsirkan ucapanku, semua syar
Hidup dan mati Nova kini ada di tangan Angga. Perubahan sikap Angga yang drastis dari waktu ke waktu bagaikan sebuah isyarat bagi Nova bahwa dirinya perlu bersikap siaga."Oh ya, balik ke pembahasan awal. Kau yakin hanya bertemu dengan teman-temanmu hari ini?" Jika Angga bisa melihat peluh yang mengalir di sekujur tubuh Nova, pria itu tentu akan lebih membanggakan dirinya di depan Nova. Hal itu akan semakin menunjukkan ketakutan Nova di hadapannya."Um, ya. Tentu. Mereka bahkan menitipkan salam untuk suamiku tercinta ini."Tak ada cara lain selain mengalihkan perhatian Angga dengan beberapa sentuhan. Tangan Nova terjulur menyentuh dada bidang di balik piyama yang membalut tubuh Angga. "Aku bangga sekali menjadi istrimu. Kemanapun aku pergi, semua orang akan mengenali aku dengan sebutan istri pengusaha dermawan. Bukankah itu bagus?" kata Nova, berusaha mengambil alih kendali atas situasi ini. 'Jika dia mulai melayangkan kata-kata yang bersifat mengintimidasi, coba alihkan perhatiann
Sejujurnya Nova lega karena telah menyampaikan berita ini pada Angga. Tetapi, perubahan sikap Angga yang semakin dingin justru mengundang banyak tanda tanya di kepala Nova.Diana bilang, Angga seharusnya bahagia dengan berita yang Nova bawa saat ini. Tetapi, saat melihat mimik wajah Angga yang datar, apakah ucapan Diana tadi benar?Angga tidak mencintai dirinya dan calon anak kedua mereka?“Apakah kamu tidak senang mendengarnya, Angga?” tanya Nova memberanikan diri mematuk emosi Angga.“Sudah berapa minggu?”"Empat minggu," jawab Nova. Bibirnya gemetar saat mengatakan itu. Harap-harap cemas dengan reaksi Angga setelah mendengar pengakuannya. Tetapi, tidak disangka, sikap Angga bahkan di luar dugaan Nova kali ini. Pria itu memilih untuk menjaga jarak dengan Nova dengan mundur beberapa langkah darinya. Disaat yang bersamaan, Nova merasa kehilangan. Suasana diantara keduanya berubah canggung. Sekian detik Nova menunggu reaksi suaminya, tapi Angga justru tak mengatakan sepatah katapun.
BAB 66Tepat jam delapan pagi Angga sudah menginjakkan kakinya di kantor. Semua karyawan yang juga baru datang tercengang dengan kehadiran bos mereka di lobi. Raut wajah Angga sedatar jalan tol. Tak ada senyum yang setidaknya mampir untuk menyambut harinya yang kelam.Saat ini, ia juga tidak bernafsu untuk bersikap ramah pada siapapun. Kedatangannya didampingi oleh seseorang yang juga baru pertama kali menginjakkan kakinya di gedung ini. "Kau ikut ke ruanganku, kita akan berbincang di sana," ucap Angga pada pria itu. Pria itu sepuluh tahun lebih muda darinya. Penampilannya juga tak kalah formal dengan Angga hingga beberapa karyawan sempat menganggap mereka berdua seperti kakak dan adik. "Baik, pak. Mohon arahannya," kata pria itu. Kacamata dengan bingkai persegi warna abu-abu itu mengangguk.patuh. ia hanya bisa menundukkan kepala selama lift membawa mereka naik ke lantai tiga puluh dua.Angga memimpin langkah menuju ruangan di ujung koridor. Sebuah ruangan paling besar dengan pint