Kejadian kemarin malam membuat Nova menimbun rasa sungkan yang semakin besar pada Mario. Kejadian yang baginya sangat memalukan karena semalam, kecemasan Nova mendadak kambuh di momen yang tidak terduga. Nova keluar dari unit apartemennya. Tas selempang sudah tersampir di pundak siap untuk pergi ke restoran dan mengisi perut. Ting! Langkah Nova menuju lift terhenti, saat nyeri mulai menjalar di perut bagian bawahnya. “Akh! Aw, ya Tuhan. Sakit sekali.” Nova meringis. Bersandar di dinding koridor sambil memegangi perutnya. Rasanya seperti dicabik-cabik. Deretan tulangnya seakan dipatahkan secara bersamaan. Berusaha tetap dalam keadaan ini, pandangan Nova mengedar ke sekeliling. Berharap ada seseorang yang muncul untuk menolongnya. Tetapi sekian lama penantian sambil meringis ngilu, tidak ada sedikitpun tanda-tanda pertolongan. Nova hampir putus asa. Tubuhnya limbung. Kedua kakinya tidak mampu lagi menopang tubuhnya sendiri. Nova luruh ke lantai, ringisan pilu terdengar kian kencan
Mario kikuk. Bagaimana cara perawat itu memandangnya terasa menguliti Mario hidup-hidup. Salah tingkah, seharusnya ia sadar diri sejak awal. “Um, jadi begini. Aku dan ibu bayi ini–” “Mario, sedang apa kau di sini?” Dua orang yang terlibat obrolan dalam suasana tegang itu menoleh bersamaan ke arah sosok yang tiba-tiba menyoroti mereka dengan pandangan penuh curiga. “Mark?” gumam Mario lirih. “Sedang apa kamu di sini? Dan ini, anak siapa?” Padahal rasa-rasanya Mario tidak melakukan kesalahan apapun, tetapi kenapa pertanyaannya terdengar sebagai sebuah tuduhan. “Bukan urusanmu,” balas Mario. Sikapnya berubah dingin, begitu juga dengan gestur tubuhnya yang defensif. “Mohon maaf, tuan. Sudah waktunya bayi anda untuk kami tangani lebih lanjut. Dimohon untuk tidak menimbulkan ketidaknyamanan diantara sesama pengunjung rumah sakit,” ucap perawat. Ia mengambil alih bayi dalam gendongan Mario. Menghindari perdebatan antara dua pria di sekitarnya.“Tolong kabari aku jika terjadi sesuatu
“Mark? Bagaimana kamu bisa ada di sini?” Baru saja Nova membuka matanya, tubuhnya masih terasa remuk seperti dihantam beban puluhan kilo beratnya. Namun ia berusaha untuk memfokuskan pandangan pada sosok yang kini berdiri di samping tempat tidurnya.Pria itu tersenyum, sebelah tangannya mengusap puncak kepala Nova dengan sayang. “Kamu sudah sadar, sayang? Syukurlah,” kata Mark. Tidak menjawab pertanyaan Nova tadi. “Kamu harus banyak istirahat, aku akan menemani kamu di sini.” Dahi Nova mengernyit bingung, sika Mark benar-benar aneh baginya. Ia hendak bersuara lagi, tetapi suaranya kalah cepat dengan Mark yang sudah menyodorkan segelas air putih padanya. “Minumlah dulu, kondisimu sangat lemah setelah melahirkan bayi yang tampan.” “Bayiku laki-laki?” Pertanyaan yang sebelumnya sudah sampai di ujung lidah mendadak berubah ketika di ucapkan. Nova hampir lupa, saat ini situasi tak lagi sama seperti sebelumnya. Selama beberapa saat Nova merasa kehilangan identitas aslinya sebagai seor
Siapa yang pernah menduga kalau Nova akan kembali pada lingkaran setan dimana lagi-lagi ia terlibat bersama dua pria dengan ikatan darah yang sama. Apakah ini karmanya karena telah meninggalkan Angga tanpa kepastian. Nova memandangi Mark yang terbaring di atas sofa double untuk pengunjung. Tertidur pulas karena semalaman suntuk terjaga untuk menemani Nova mengasihi. Sudah pukul lima pagi, kedua matanya tak bisa diajak bekerja sama. Seharusnya, Nova mengistirahatkan diri dari segala kemelut pikiran yang tak menentu. Kenyataan bahwa Mark dan Mario adalah saudara sepupu cukup membuat ingatan di masa lalunya kembali terpanggil. Ini sama saja dengan mengulang momentum hubungan antara Angga dan Aldo dulu. Kegundahan di hati Nova semakin bergejolak. Dorongan untuk menemui Mario begitu besar demi mencari tahu kebenaran dan mengucapkan terima kasih secara langsung. Kembali Nova membuat melirik jam di dinding. Waktu hanya berlalu selama lima menit, terasa lebih lama ketika isi kepala terasa
BRAK!!Pintu ruang kerja Mario dibanting keras oleh seseorang yang tak diundang kehadirannya. Ini masih pagi, bukan waktunya mendebatkan hal-hal di luar urusan pekerjaan. Mario menatap datar ke arah Mark. Pria itu menghembuskan napas kasar, ketika melihat target amukannya tak bereaksi apapun atas kedatangannya kali ini. “Ternyata kau punya nyali yang cukup besar untuk melawanku, ya?” katanya. Mario masih santai, bahkan ia mempersilahkan Mark untuk duduk di kursi tamu, tepat di depan meja kerjanya. “Santailah, duduk dulu wahai sepupuku,” kata Mario mengejek. Seakan tahu dengan maksud kedatangan Mark ke kantornya. Mark kelihatannya masih nyaman diselimuti emosi yang justru membuat dirinya terlihat seperti orang yang payah. Namun ia tidak peduli, tujuannya datang kemari hanya untuk mencari satu wanita yang tiba-tiba hilang dari pandangannya. Lengah, satu kata yang membuat Mark geram pada dirinya sendiri. Kecewa, satu hal lain yang membuatnya hampir kehilangan kepercayaannya untuk san
“Nova? Kenapa kamu ada di sini?” Nova masih diam terpaku ketika pria di hadapannya menatapnya dengan raut bingung. Pemandangan di depannya kini menarik perhatian Nova hingga membuatnya tidak berkedip. Sehelai handuk menutupi sebagian area intim tubuh pria itu. Dada bidangnya dibiarkan terekspos dengan jelas setiap lekukannya. Dada mulus itu bergerak naik turun mengikuti ritme napas pria itu dengan teratur. Pandangan Nova naik dari dada, ke bibir, kemudian berhenti di puncak kepala pria itu. Semakin terlihat menggoda saat setetes air jatuh dari ujung rambutnya yang basah. “Nova?” “Ah, iya. Mario, maaf kedatanganku pagi ini mengganggumu. Aku kesini berniat untuk–” Ucapan Nova terhenti karena Mario menarik tubuhnya masuk ke dalam unit apartemen berukuran besar itu. Nova digiring menuju ruang tamu, dan didudukkan di salah satu sofa. Berhadapan langsung dengan Mario. “Duduklah,” titah Mario. “Ada apa kamu datang pagi-pagi begini? Apa ada masalah?” sambungnya lagi. Pertanyaan itu terd
Setelah puas menikmati sarapan dengan berbagai menu khas Korea, di sinilah Angga berada. Menyusuri setiap lorong swalayan yang berada tepat di sebelah restoran yang ia sambangi tadi. Deretan buah dan sayuran menjadi pemandangan yang menyejukkan mata. Berbeda dengan suasana kota Jakarta yang lebih riuh dengan kesibukan orang-orang di jam kerja. Sesuatu berbeda dirasakan oleh Mario di sini. Dimana ia bisa bebas melakukan apapun tanpa khawatir akan penilaian orang lain tentangnya. Hanya bermodalkan satu troli besi yang mengikuti langkahnya menyusuri setiap sudut swalayan, Angga mengambil beberapa barang yang merupakan kebutuhannya selama di negeri ginseng ini. Beberapa warga lokal diam-diam menaruh kagum pada sosoknya yang tinggi semampai dan tak lupa–tampan. Meski begitu, setidaknya Angga tidak merasa dirugikan sama sekali. Ia kembali memacu langkahnya mencari barang-barang yang mengisi daftar belanjanya hari ini. Sampai langkahnya terhenti otomatis ketika tak sengaja, ujung trolinya
BAB 204Nova lari sekencang kilat menerobos kerumunan orang-orang yang mengantri di kasir. Untungnya, ia belum sempat mengambil benda apapun kecuali troli yang bertabrakan langsung dengan troli milik Angga. Sebuah insiden sepele namun mampu membuat sekujur tubuh Nova mati rasa. Orang-orang memandangnya dengan tatapan aneh. Seolah Nova adalah buronan yang melakukan tindak kejahatan paling kejam. Tetapi masa bodoh. Menghilangkan jejak dari Angga adalah pilihan terbaik saat ini. “Permisi-permisi,” ucapnya melewati segerombol orang yang sedang menunggu anggota keluarga mereka membayar tagihan di kasir swayalan. Satu lagi keberuntungan yang patut Nova syukuri saat ini. Ia tidak membawa barang apapun kecuali sebuah dompet kecil yang berada dalam genggamannya sehingga, ia bisa lolos dari dugaan pencurian barang dari toko itu. “Ada apa dengan wanita itu? Gelagatnya aneh sekali,” ucap salah satu pengunung swayalan sambil menggelengkan kepala bingung. Risih melihat kehebohan yang disebabkan