Orang-orang di rumah ini sepertinya memang tak berniat untuk memberikan Angga sedikit waktu luang untuk istirahat sejenak. Kemunculan Chris mengejutkan Angga hingga jantungnya hampir mencelos. Untung saja, penyakit jantung Angga kian hari menunjukkan perubahan yang baik. "Apa maksudmu?" Angga mengernyitkan dahi keheranan. Baru juga menghela napas lega setelah problematikanya dengan Rachel kini terlihat jelas. Kedatangan Chris justru membuat isi kepala Angga semakin berantakan. Chris menghampiri meja kerja dimana Angga memijakkan kekuasaannya di sana. Kantong plastik hitam lusuh yang ia bawa diletakkan di atas meja sontak membuat Angga bangkit dari kursinya. Tak siap dengan serangan aroma mematikan dari kantong plastik hitam itu. "Apa yang sudah kau lakukan, pak? Kenapa ada benda itu di mobilmu?" tanya Chris tak mau membuang waktu dengan berbasa-basi. Angga menatap isi kantong plastik yang menyembul ke permukaan. Sehelai kain yang dilumuri dengan noda darah di sekelilingnya. "Oh
"Angga? Ada apa datang kemari? Nova mana?" Keterkejutan menyambut kedatangan Angga di sebuah rumah yang ia pijaki terakhir kali dua tahun lalu.Semenjak menikah dengan Nova, Angga tak pernah lagi menyambangi rumah ini dan memilih untuk memfokuskan diri pada pekerjaan dan misi balas dendamnya.Namun, siapa sangka, misi balas dendam yang seharusnya menjadi senjata untuk pembalasan berikutnya malah membuat Angga jatuh ke pelukan Nova. Seorang wanita paruh baya yang kini berdiri di hadapan Angga adalah satu-satunya orang yang telah mewarisi paras cantiknya pada Nova. Sayangnya, sifat kedua wanita itu jauh berbeda.Pertanyaannya tadi cukup membuat Angga tersudut. Kedatangannya terkesan tak pernah sekalipun diinginkan oleh si tuan rumah. Tetapi, Angga tidak peduli. Ia justru mengulas senyum penghormatan pada sang ibu mertua, lalu menjawab."Aku ingat kemarin adalah ulang tahunmu, mama. Jadi aku menyempatkan diri datang kemari. Maaf kedatanganku terlambat," ucap Angga.Wanita di depannya b
Langkah kaki saling bersahutan di belakang Mark sama sekali tidak menggetarkan hatinya untuk menoleh ke belakang.Sementara, ada seorang wanita yang sedang mati-matian menuntut alasan sebenarnya atas kandasnya hubungan mereka. Jalinan cinta antara Nova dan Mark sudah pupus dua bulan lalu. Namun, masih banyak rentetan pertanyaan di kepala Nova yang belum terjawab. "Mark, tunggu!" Nova mencekal langkah mantan kekasihnya itu dengan menggenggam bisep kekar milik Mark."Bisakah kamu berhenti menerorku seperti ini, Nova? Kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi, jadi pergilah," ucap Mark dingin. Tatapan Mark tak sehangat dulu, dan itu membuat hati Nova tercabik-cabik. Nama Mark masih setia mengisi setiap sudut hati Nova hingga detik ini. Alasan di balik hubungan mereka kandas semakin membuat Nova tak yakin Mark benar-benar mengakhiri kisah cinta mereka. Nova bergerak gelisah. Niat bicara empat mata dengan Mark pun lenyap begitu saja, dipatahkan dengan penolakan Mark barusan."Aku yakin
Rasanya Angga seperti dikuliti hidup-hidup ketika pertanyaan itu keluar dari mulut mertuanya sendiri. Sorot mata Marrie penuh harap, terkesan setia menunggu jawaban dari sang menantu tiba. Wanita ini, sangat ambisius untuk segala hal berbau uang dan kekayaan. Tak heran bila dulu, Marrie dan sang suami mematok nilai mahar dengan nominal hampir seperempat nilai kekayaan Angga. Tentunya, demi gengsi dan misi balas dendam, nominal itu adalah angka yang sepadan.“Um, kurang lebih laba bersihnya senilai lima belas triliun rupiah. Itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan nilai investasi yang sekarang sedang aku jalankan. Nominalnya jauh lebih besar dari yang aku sebutkan tadi,” jawab angga jumawa. Perhatian bisa dibeli oleh uang, dan itu adalah rencana yang sedang Angga lakukan. Wanita di depannya ada akar dari semua masalah. Keluarga komplotan pembunuh seperti mereka tidak seharusnya hidup dalam ketenangan dan kemewahan seperti saat ini. “Waw, kamu hebat sekali, Angga. Pasti Nova sena
Raut wajah penuh amarah dari sang mertua adalah hiburan bagi Angga. Kimi, pria itu menampakkan senyum lebar sambil sesekali gelak tawanya terdengar mengejek. Marrie menatapnya dengan sorot tajam, tak suka dipermainkan menantunya sendiri. “Jawab mama, Angga. Apa maksud ucapan kamu barusan?” kata Marrie berapi-api. Sungguh, Angga tidak menyangka reaksi sang mertua akan semarah ini. Angga masih sibuk mengontrol dirinya, di tengah Marrie yang terlihat seperti bahan lelucon. “Hahaha, astaga, ma. Kenapa mama marah seperti itu? Aku hanya bercanda,” ucap Angga santai. Tatapannya menyimpan ratusan lapis misteri yang sulit untuk dipecahkan siapapun. Mendengar itu, raut wajah Marrie berubah drastis. Seolah malu dengan tingkahnya yang emosional, dan reaksi yang berlebihan, Marrie kembali berkilah. Emosinya seakan menguap terbawa angin, berbanding terbalik dengan senyuman yang kini ia pamerkan di hadapan Angga. Dasar wanita culas, batin Angga. “Astaga, Angga. Kamu ini suka sekali membuat ma
“Pak Angga, kau darimana saja?” Angga baru saja masuk ke area ruang tamu rumahnya dan pertanyaan Chris menjadi sambutan atas kedatangannya. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan, pukul sepuluh malam dan kedua matanya masih betah terjaga setelah berkendara mengelilingi kota. “Mencari udara segar. Kenapa kau masih di sini?” Angga bertanya balik. “Bukankah jam kerjamu sudah berakhir tiga jam lalu?” “Kau tidak menjawab pertanyaanku, pak. Hari ini kau menghilang begitu saja tanpa kabar.” Chris terlihat frustasi. Pria itu mengikuti langkah Angga menuju ruang kerjanya. Sudah larut malam pun Ambisi Angga untuk bekerja masih berkobar. Tidak ada pelampiasan lain dari penuhnya kepala yang diisi oleh bayangan sang istri. Menenggelamkan diri pada tumpukan dokumen dan menghadiri rapat-rapat penting adalah upaya Angga untuk mengurangi sakit di dada. Sakit jantungnya tidak seberapa mematikan dibandingkan sakit hati karena kehilangan sang istri. Angga duduk di kursi kebesarannya
“Sayang, aku sudah membuatkanmu sup buntut. Lihatlah, penampilannya menggugah selera, bukan?” Chris duduk di kursi salah satu sisi meja makan. Ia menelan salivanya dengan berat. Pemandangan di depannya membuat Chris mematung tak menyangka.Ia hendak menyuap kembali sesendok nasi lengkap dengan sup buntut ketika seseorang di sampingnya bersuara. Ya, Angga. Pria itu terlihat asik bermonolog ke arah kursi kosong di seberangnya. Perlu beberapa kali bagi Chris mengucek kedua matanya saat melihat pemandangan memiluka itu. “Bagaimana? Enak tidak?” kata Angga lagi pada satu titik yang sama. Lidah Chris kelu, kata-kata yang menumpuk di kepalanya tidak ada satupun yang terungkap. Matanya masih awas memantau gelagat aneh bosnya. Entah apa yang terjadi dengan pria itu setelah menghilangkan jejak seharian ini. Puas bermonolog, Angga beralih pada Chris di sampingnya. Gerakan kepala Angga perlahan memutar dan berhenti tepat di depan wajah Chris. Sorot mata Angga kosong, dengan serabut merah ti
Nova kalah dengan tekadnya sendiri. Apalagi ketika Chris melayangkan permohonan berkali-berkali bahkan rela bersimpuh di hadapan Nova. Disinilah Nova berada sekarang. Bagaikan dejavu, Nova dibawa kembali pada situasi dimana dirinya dikelilingi oleh sekelompok orang yang memandangnya rendah. “Eomma, aku sudah membawanya kemari. Kau harus mengenalnya dulu.” Mark tidak memberi jarak sedikitpun pada Nova yang berdiri di belakangnya. Pria itu nampaknya benar-benar menepati janjinya untuk membuat keluarganya yakin akan hubungan mereka.Ya, pada akhirnya Nova luluh dengan permohonan maaf Mark beberapa hari lalu. Tentunya, dengan beberapa kesepakatan yang sudah disetujui oleh keduanya.Meski bukan yang pertama kalinya Nova akan berhadapan pada keluarga sosialita ini, jantungnya belum bisa berpacu normal apalagi membiasakan diri untuk berbaur dengan situasi saat ini.Seorang wanita paruh baya, dan pria yang duduk di samping wanita itu kompak mengangkat kepalanya. Kedatangan putra mereka bers