[ Oh iya, hari ini rencananya tuh aku mau belanja bareng Pak suami hehe. Beliau lagi kerja dan nanti kami belanjanya tuh sore. ]
Laras tersenyum sendiri melihat video yang sedang ia tonton itu. Ia merasakan perasaan bahagia namun semenit kemudian ia merasakan sedih karena hidupnya tak seindah orang-orang yang ada di konten tersebut. Mereka dengan begitu bahagia bisa bersama pasangannya sedangkan ia tak pernah bisa. Laras langsung melihat ke arah Radit suaminya yang masih tidur pulas di kasur. Ini sudah jam setengah dua belas siang namun suaminya itu masih saja bermalas-malasan. Ia tersenyum miris melihat sang suami yang bahkan sampai mendengkur saking pulasnya tidur. "Mas, bangun. Ini udah siang loh, Mas. Bangun dulu ya." Radit yang memang orangnya pemalas itupun diam saja tak bergeming membuat Laras menghela napas berat. Sudah sejak tadi bahkan sejak pagi Laras membangunkan Radit namun suaminya tak mau bangun. "Mas Radit, bangun dulu yuk kita makan siang. Aku udah masakin sayur buncis kesukaan kamu, Mas." Mendengar sayur buncis seketika Radit langsung bangun. Laras tersenyum karena akhirnya usahanya berhasil. "Ya udah kalau gitu cepetan bikinin aku kopi!" pinta Radit sambil melepaskan selimut yang menutupi badannya. "Mas, maaf. Tapi kan Mas Radit tau sendiri kalau kopi sama gula udah pada abis..." Mendengar itu Radit langsung kesal, iapun menatap Laras dengan tatapan yang tajam hingga membuat istrinya itu menunduk takut. "Kalau gitu buruan kamu ke warung beli tuh kopi sama gula! Gitu aja kok repot!" bentak Radit. "Tapi kan uangnya nggak ada, Mas," cicit Laras yang masih menundukkan wajahnya. "Ya kamu ngutang lah! Gimana sih masa gitu aja nggak bisa." Hutang lagi? Hutang yang sebulan lalu saja belum lunas mana bisa Bu Nita mengijinkannya berhutang lagi di warungnya mengingat sikap Bu Nita yang seperti itu. Laras ingin menjawab lagi namun ia takut jika Radit akan semakin marah padanya. "Maaf, Mas. Tapi kan kita utangnya udah banyak banget, aku nggak berani ngutang lagi di warungnya Bu Nita," ujar Laras. Ia akhirnya memberanikan diri berkata seperti itu. Bukan karena apa-apa ia malu jika berhutang lagi. Berkali-kali ia sudah ditagih oleh Bu Nita namun ia belum sanggup untuk melunasinya. Radit berdecak kesal. "Banyak alesan kamu! Emang dasarnya aja kamu itu nggak peduli sama aku iya kan?" tuduhnya sambil berlalu ke kamar mandi. Laras menghela napas, berkali-kali Radit seperti itu jika membahas mengenai apapun. Ia selalu saja disalahkan atas apapun itu. "Ya udah deh terpaksa aku ngutang lagi di warungnya Bu Nita, semoga aja beliau masih ngebolehin." Akhirnya Laras pergi ke warung Bu Nita berniat ingin berhutang lagi. Namun di tengah jalan ia berpapasan dengan Rangga tetangga barunya yang mengontrak tepat di sebelah kontrakannya sebulan yang lalu. "Eh ketemu lagi sama Mbak Laras, mau ke mana nih?" sapa Rangga dengan senyuman khasnya dan juga dengan tutur kata yang ramah. Laras juga tersenyum pada Rangga. "Saya mau ke warungnya Bu Nita. Mas Rangga sendiri mau ke mana?" "Wah kebetulan saya juga mau ke sana, Mbak. Yuk sekalian aja bareng." Laras langsung menggelengkan kepalanya juga dengan raut wajah yang tak enak. "Maaf, Mas. Tapi mendingan saya jalan sendiri aja deh. Takutnya kan jadi fitnah gitu dan juga nggak enak kalau diliat tetangga," tolaknya halus. Para tetangga di sana memang suka sekali ikut campur urusan orang lain dan juga suka sekali bergosip jadi ia tak ingin ada kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka berdua. "Ya udah kalau gitu Mbak Laras jalan duluan aja biar saya nyusul." Laras setuju dan iapun jalan lebih dulu dan Rangga berjalan mengikutinya masih dengan senyuman yang khas. Laras tiba terlebih dahulu di warung Bu Nita dan iapun disambut oleh sang pemilik warung dengan wajah yang masam membuatnya menundukkan kepalanya karena merasa tak enak hati. "Maaf ya Mbak saya udah nggak bisa lagi ngutangin karena kan utang Mbak Laras udah numpuk," kata Bu Nita dengan judes. "Tapi kalau saya nggak ngutang kopi sama gula Mas Radit bisa marah, Bu." Laras berkata seperti itu karena jika hari ini kopi dan gula tak ada di rumah pasti Radit marah padanya. "Itu bukan urusan saya!" "Kalau gitu biar saya aja yang bayarin utangnya Mbak Laras. Berapa ya Bu?" Sontak Laras dan juga Bu Nita kaget mendengar suara itu dan merekapun menoleh dan ternyata Rangga orangnya. "Berapa Bu hutangnya Mbak Laras?" tanya Rangga lagi yang merasa sedikit kesal dengan Bu Nita yang terkesan menghina Laras. Ya, sejak tadi ia memang sudah tiba di warungnya Bu Nita maka dari itulah ia juga mendengar obrolan Bu Nita dan Laras. Ia merasa kasihan melihat Laras yang diperlakukan seperti itu hanya karena belum bisa membayar hutang. "Udah nggak usah, Mas," tolak Laras lalu ia menoleh ke arah Bu Nita. "Kalau gitu saya pulang aja, Bu. Maaf udah dateng ke sini lagi, saya usahain buat bayar utang secepatnya," lanjutnya lalu iapun pergi dari tempat itu. "Dih ngomongnya kok gitu amat sih!" ucap Bu Nita. "Berapa Bu utangnya Mbak Laras?" tanya Rangga dengan wajah datarnya. Ia urungkan niatnya yang semula ingin membeli sikat gigi di warung Bu Nita karena sikap sang pemilik warung tersebut. "Kamu yakin mampu bayar utangnya? Dia tuh utangnya banyak banget. Lagian kamu ngapain sih mau bayarin utangnya dia?" Bu Nita menatap curiga ke Rangga. "Oh kamu suka ya sama Laras? Atau jangan-jangan kalian itu udah selingkuh ya?" tuduhnya. Tentu saja Rangga merasa tersinggung atas tudingan Bu Nita yang menurutnya seenaknya itu dan juga terkesan merendahkannya. "Berapa Bu?" tanya Rangga sekali lagi. "Tiga ratus ribu," jawab Bu Nita judes. Rangga menyerahkan uang tersebut lalu memberikannya pada Bu Nita. "Wah makasih ya, Mas Rangga," ucap Bu Nita dengan mata yang berbinar-binar begitu melihat uang yang ia terima. "Permisi," pamit Rangga. Namun Bu Nita diam saja tak menjawab karena ia terlihat bahagia sekali memeluk uang itu. Laras tiba di rumah dengan perasaan sedih dan juga takut karena ia tak membawa apa-apa. Saat ia membuka pintu kontrakannya ia mendengar Radit sedang berbicara entah dengan siapa. "Iya iya, Sayang. Nanti aku kasih uangnya semuanya buat kamu ok?" kata Radit. DEG! Mendengarnya membuat Laras terkejut dan bahkan hatinya terasa sakit. Radit mengobrol dengan siapa di telepon?"Iya iya oke, Sayang. Pokoknya kamu tenang aja ya, uangnya pasti besok udah ada kok. Aku pasti bakalan usahain secepatnya buat kamu," kata Radit. Mendengar hal itu semakin membuat Laras terkejut dan juga sakit hati. Radit ingin memberikan uang untuk siapa? Lagipula untuk apa uang itu? Nafkah untuk dirinya yang selaku istri pun tak pernah ia dapatkan selama ini. Lalu mengapa Radit akan memberikan uang untuk orang lain? "Sayang kamu jangan marah dong. Aku janji sama kamu aku bakalan ngasih kamu uang, ok?" Sudah cukup Laras mendengar semua itu! Laras masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang campur aduk. "Uang apa, Mas? Kamu mau ngasih uang buat siapa?" tanya Laras langsung karena ia sudah sangat marah. Radit terlihat panik dan ia langsung mematikan telepon. "Kamu udah pulang?" tanya Radit dengan raut wajah yang gugup. Melihat gelagat Radit tentu saja membuat Laras curiga. "Aku tanya uang itu buat siapa, Mas? Aku dari tadi dengerin loh kamu ngomong di telepon. Kamu lagi nelepon
Sementara itu di tempat lain, terlihat Radit yang tengah makan di restoran dengan seorang wanita."Kamu gimana sih, Mas? Hampir aja kita ketahuan tadi!" sungut wanita itu."Ya maaf," cicit Radit takut."Lagian kamu sih, Mas. Ngajak aku ke sini kamu kan tau kalau kita ke sini tuh bakalan ketahuan sama si Laras!" "Ya maaf, Sayang. Aku lupa maaf deh, maafin aku aku yang salah." Radit terlihat takut pada wanita itu. Wanita itu mendengus kesal. "Bisanya minta maaf doang!"***Ucapan Melati masih terbayang oleh Laras. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa, tanpa bukti.Jadi, ia pun tetap bekerja. Bahkan, malamnya, Laras langsung pergi ke warung karena ingin melunasi hutang-hutangnya itu. Namun, baru saja Laras sampai, Bu Nita sudah menyambutnya dengan wajah kesal. "Ngapain lagi ke sini? Mau ngutang lagi ya? Jangan mimpi!" Bu Nita berkata dengan sinis. "Enggak kok, Bu. Justru saya ke sini mau bayar utang saya," balas Laras dengan sabar. "Tapi utang kamu udah lunas kan udah dibayarin sama
Laras terlihat panik begitu melihat sebuah mobil yang meluncur ke arahnya. Untunglah mobil itu langsung berhenti tepat sekali di hadapannya jadi ia masih selamat. Selamat dari ancaman tertabrak mobil, ia bernapas lega. "Ras tunggu! Kamu mau pergi ke mana?" seru Radit yang baru saja keluar dari kontrakannya itu. Laras menoleh dan panik melihat suaminya itu, mendadak ia menjadi emosi melihat pria yang ternyata sudah melakukan pengkhianatan padanya itu. Wanita itu pun berjalan cepat ke arah mobil. "Pak atau Bu atau siapapun tolong buka pintunya!" pintanya memelas sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil mewah itu. "Tolong bukain pintu mobilnya, Pak!" pinta si pria tampan pemilik mobil tersebut dengan datar. "Iya baik, Tuan Muda," balas Pak sopir dan iapun segera membuka pintu mobil agar Laras bisa masuk. Laras tersenyum. "Terima kasih," ucapnya sambil masuk ke dalam mobil, ia duduk di kursi belakang dengan sungkan. "Sama-sama, Non," kata Pak sopir ramah. Laras menghela napas lega kare
Aryo berjalan menghampiri Laras lalu ia duduk di tepi ranjang. Laras duduknya agak menjauh dari Aryo supaya ada jarak di antara mereka berdua. "Maaf, Pak Aryo. Tapi saya udah punya suami, saya udah nikah jadi saya nggak bisa terima ajakan Bapak untuk menikah," ucap Laras yang berusaha untuk sopan karena walau bagaimanapun Aryo adalah orang yang sudah menolongnya tadi. Wajah Aryo terlihat tegang mendengar jawaban dari Laras yang sudah jelas merupakan penolakan untuknya. Baru kali ini ada seorang wanita yang langsung menolak dirinya. Seorang Aryo Malik, putra pemilik perusahaan terkemuka di kota ini yang pesonanya begitu luar biasa di hadapan wanita namun ditolak oleh Laras. Diam-diam Aryo menyunggingkan senyum tipis. Laras menolak dirinya dan menggunakan alasan sudah bersuami? Sungguh ia salut pada wanita cantik dan sederhana di hadapannya itu. "Saya tau kamu bohong, mana mungkin wanita muda seperti kamu ini sudah nikah. Kamu pasti bercanda kan?" Laras bingung mendengar ucapan A
Ancamannya ternyata berhasil karena Radit terlihat panik. Ia menyeringai puas melihat raut wajah Radit yang terlihat ketakutan itu."Sekarang kamu jelasin, Mas. Siapa perempuan itu? Apa bener kamu ada hubungan sama dia? Hubungan apa Mas?" cecar Laras lagi pada Radit."Iya. Aku emang punya hubungan sama dia, puas kamu!" sentak Radit.Laras terdiam, jadi apa yang ia pikirkan ternyata benar? Radit sudah mengkhianati dirinya."Tapi kenapa, Mas? Sejak kapan kamu selingkuh dari aku!" Laras menangis sambil memukul-mukul lengan Radit pelan namun Radit sama sekali tak bergeming."Kamu nggak perlu tau!" Radit pergi dari sana, ia pergi entah ke mana.Laras hanya bisa menangis sejadi-jadinya, hatinya semakin terasa sakit.Melihat itu, Aryo menjadi tak tega. "Kondisi kamu kacau mendingan kamu ikut saya ke rumah, biar kamu bisa menenangkan diri kamu," ajaknya.Laras sontak menoleh ke arah Aryo lalu ia menghela napas. "Nggak usah, Pak. Terima kasih tapi saya mendingan di rumah saya sendiri aja," to
Apa kata wanita itu? Wanita itu malah mengatainya pelakor? Laras merasa kesal mendengarnya, wanita itu yang bersalah sudah merebut Radit darinya dan wanita itu malah berani mengatainya? Sungguh tak bisa dibiarkan! "Udah jelas-jelas kamu itu lagi berduaan sama suami saya tapi kamu malah ngatain saya yang pelakor? Ngaca dong, Mbak! Minimal tau diri lah! Mana ada sejarahnya saya yang istri sah dikatain pelakor sama kamu yang pelakor ulung!" Laras meradang. Karena mereka sedang berada di tempat umum jadi tentu saja banyak orang yang menonton perkelahian mereka namun mereka tak peduli. "Radit kamu jelasin ke dia ini, kasih paham siapa aku sebenarnya!" tuntut wanita itu datar. Radit dengan takut-takut akhirnya melihat ke arah Laras. Ia menelan ludah dengan susah payah tampak gugup. "Iya, Ras. Dina itu sebenarnya istri saya," kata Radit pelan. "Yang lengkap dong! Saya ini istrinya Radit, istri pertama malahan." Dina menjelaskan dengan tegas. Bagai tersambar petir di siang hari ketika
Sejak itu, sudah dua hari Laras berada di rumah Aryo untuk mempersiapkan peperangannya.Kini saatnya ia pulang. Untungnya, dia tetap didampingi oleh Aryo karena pria itu khawatir Radit akan kembali membuat Laras ragu untuk bercerai. "Terima kasih udah nganterin saya pulang, Pak," kata Laras saat ini ia bersama Aryo di mobil. "Nggak usah bilang makasih udah sewajarnya saya anterin kamu karena sebentar lagi kamu bakalan jadi tanggung jawab saya sepenuhnya, kamu bakalan jadi istri saya," balas Aryo. Laras menghela napas. "Iya, Pak. Setelah saya cerai dari orang itu saya bakalan jadi istri Pak Aryo." "Ya udah kalau gitu kita masuk, saya bantu kemasi barang-barang kamu." "Nggak usah, Bapak tunggu di sini aja..." "Pokoknya saya ikut masuk takutnya nanti orangnya dateng kamu bisa bahaya, Laras." Laras pun menurut saja, ada benarnya juga ucapan Aryo itu. Radit kan orang yang kejam jadi takutnya ia bisa nekat jika ia tahu mereka akan segera bercerai. Jangan lupa, Radit sendiri yang me
Aryo menghela napas. "Ma, yang paling penting kan dia bisa hamil kalau soal status mau dia janda atau gadis kan nggak masalah," bantahnya."Aryo dengerin Mama! Kalau kamu bilang begitu itu sama aja kamu mau bikin Mama malu terutama di hadapan si ular itu!""Siapa yang kamu sebut wanita ular ha?" Sekar, seorang wanita setengah baya yang baru saja masuk ke ruangan itu. Rita melengos tak sudi menatap Sekar. "Ngapain kamu dateng ke sini? Udah gitu masuknya main nyelonong aja tanpa permisi," katanya sinis. "Suka suka saya lah," balas Sekar dengan santainya lalu ia pun duduk di samping Aryo. Aryo hanya diam saja melihat kedua wanita itu, ia menghela napas pasrah. "Kalau gitu aku keluar dulu," pamit Aryo. "Permisi, Tante Sekar." Sekar mengangguk namun wajahnya tampak judes, melirik Aryo pun ia tak mau. Aryo keluar dari ruangan itu, ia tak ingin menganggu mereka berbicara. "Saya dengar Aryo anak kamu itu sebentar lagi akan menikah," kata Sekar. "Iya dong! Emangnya kayak anak kamu yang