Siang itu panas cukup terik, tak seperti hari sebelumnya. Dengan perasaan sendu menyelimuti hati, Linggar berjalan seorang diri di trotoar dekat toko kuenya. Tangan kanan membawa kantong plastik hitam, sengaja mencari makan siang untuknya dan beberapa karyawan di toko.Ada hal yang mengganjal di dalam hatinya, terlebih dari sarapan hingga berangkat kerja tak ada sepatah kata punya gambaran keluar dari bibirnya dan juga bibir Pramudita. Mereka terkesan saling acuh dan tidak peduli, padahal satu sama lain saling memikirkan. "Apa mungkin pertanyaan kemarin terlalu menyinggung perasaan Mas Pram?" Linggar membuang napas, kemudian langkah kakinya terhenti sejenak. "Aku rasa tidak, memang mestinya Mas Pram harus mencintai aku sebagai istrinya."Wajahnya kusut dan tak begitu bersemangat seperti hari-harinya biasanya. Bahkan ia memilih berteduh di bawah pohon trembesi dekat trotoar. Termangu dengan seorang diri, ia berharap hubungannya dengan Pramudita segera membaik. Selama bersama mereka ti
Linggar menutup wajahnya dengan kedua tangannya, kantuk terasa tak dapat terelakkan. Beberapa hari terakhir ini ia sulit terlelap, pikiran tidak tenang menyangkut hubungan pernikahannya dengan Pramudita. Pembicaraan seminggu yang lalu terasa masih terngiang-ngiang di ingatannya. Padahal semua setelah itu hubungan mereka kembali membaik, kemarin pun Pramudita inisiatif mengajak berangkat bersama dan pulang pun dijemput.Perlahan hubungan keduanya mengarah ke yang lebih baik, malah semakin akur dan saling mengisi. Linggar bahagia melihat hubungannya menjadi seperti yang ia harapkan. Di satu sisi, ia pun takut sekaligus khawatir jika suatu saat nanti kebahagiaan itu akan pergi dari hidupnya. Pramudita masih berpegang teguh pada perjanjian yang telah mereka tanda tangani. Tak ada yang bisa merubah hal itu kecuali Pramudita jatuh cinta dengannya.Matanya memerah, bibirnya beberapa kali terlihat menguap. "Padahal baru jam satu, kenapa mengantuk sekali ya? Apa lebih baik aku belanja bahan-ba
Sedang menari-nari banyak pikiran di dalam kepala Linggar. Ia termenung di mini bar dapur kesayangannya, tangan kanan mengaduk sendok di cangkir kopinya. Di depan tersaji kroisan satu kotak penuh dengan logo toko kue miliknya tertera di sana. Sayangnya, wajah Linggar tampak tidak bahagia, malah terlihat suntuk. Beberapa kali ia membuang napas, mengusap wajahnya kasar. Hati dan pikirannya semakin terasa tidak tenang. Lirikan matanya tak henti-henti pada jam yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Perasaan tidak menentu menunggu sang suami kembali ke rumah. Bahkan ia sengaja pulang lebih awal, hanya ingin membahas hal yang menurutnya cukup penting dibicarakan dengan Pramudita. Linggar memejamkan mata. Mengingat kembali tentang obrolannya tadi siang, banyak hal janggal dan membuat batinnya penuh tanda tanya. Ia memiliki banyak dugaan dan prasangka buruk. Bahkan sebelum suaminya menginjakkan kaki di rumah, tak akan hilang pikiran buruk itu menyerang kepalanya. "Kenapa Mas Pram l
"Dia tampan sekali, Ibu jadi ingat dengan anak sulung. Mungkin dia akan seusia suami kamu, Nak. Semoga saja dia tetap sehat dan bahagia di mana pun keberadaannya." Tidak dapat terlupa dari ingatan Linggar akan wajah dan gestur tubuh wanita paruh baya yang ia temui siang tadi. Ia merasa begitu dekat dan seperti telah mengenalnya lama, padahal ia yakin jika hari ini adalah pertemuan pertama untuk keduanya. Hatinya terasa tenang berada di dekat wanita itu yang mengaku namanya Kartini. Wajahnya anggun dan ayu sesuai dengan namanya. Linggar merasa seperti jatuh cinta pada pandangan yang pertama."Kenapa ya?" Linggar mengubah posisinya menjadi miring ke kanan, menatap tembok di depannya. "Kenapa aku memikirkan Bu Tin? Entah ini hanya kebetulan saja atau memang..., aku rasa tidak mungkin.""Bisa saja memang namanya sama. Ibu Tin dan Ibu dari Mas Pram hanya memiliki kesamaan nama saja," ucap Linggar. "Tapi, kenapa hatiku malah semakin tidak tenang seperti ini? Aku malah semakin penasaran den
"Bukannya kamu ada istri, kenapa penampilanmu begitu kusut? Atau jangan-jangan kamu sedang memiliki masalah dengan istrimu?" Pria dengan wajah masam itu tertawa menghina, tatapannya seolah menertawakan.Melirik sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, Pramudita membuang napasnya perlahan. Ia telah terlambat sepuluh menit, rapalan doa terus dipanjatkan dalam hati. Berharap jika koleganya pun terlambat seperti yang ia lakukan. Pandangannya mengarah pada pria yang kemungkinan ia rasa usianya tidak jauh darinya. "Mana mungkin istrimu mau mempersiapkan keperluan kamu? Tinggal satu rumah tak menjamin hidup kalian menjadi harmonis dan romantis, 'kan? Landasan cinta itu perlu sekali dalam pernikahan, bukankah begitu?" Pria itu kembali menambahkan.Pramudita tersenyum, mengelus wajahnya. "Apa sebenarnya yang kamu bicarakan? Mau sampai kapan kamu masih menunggu istriku? Padahal kamu sendiri tahu, hubungan kami baik-baik saja. Linggar pun hanya menganggap kamu sebagai teman d
"Mbak Enggar, ada satu pembeli yang ingin bertemu." Lia mengejutkanku Linggar, dahinya bertumpuk-tumpuk. Memikirkan siapa pembeli yang ingin bertemu dengannya. Mungkinkah ia sekarang memiliki penggemar?"Siapa Lia?" Linggar merapikan penampilannya sekilas. "Masih muda atau sudah dewasa?""Seorang Ibu, Mbak. Katanya kemarin sempat bertemu dengan Mbak Enggar di toko bahan-bahan. Saya kurang tahu nama Ibu tadi siapa, Mbak. Mungkin Mbak Enggar akan mengingatnya setelah ini," jawab Lia.Linggar mengangguk, wajahnya menampilkan senyuman. Teringat akan wanita paruh baya yang kemarin sempat ingin berkunjung ke tokonya. Ternyata bukan hanya sekadar janji, ditepati langsung oleh Kartini. Linggar merasa cukup senang dan gembira. "Itu Bu Tin, Lia. Beliau adalah tamu saya, tolong kamu siapkan minuman ya." Linggar beranjak, kemudian melangkah menuju depan. Sedangkan, Lia melanjutkan ke dapur, mengambil minuman dingin.Bibir itu tak henti menyunggingkan senyuman tipis, wajah terlihat begitu sumrin
"Aduh, Mas! Pelan-pelan! Sakit ini, Mas.""Sabar, kamu tahan sebentar ya. Kurang sedikit lagi ini.""Mas, cepetan sedikit. Aku sudah tidak kuat lagi.""Enggar tahan dulu, sedikit lagi hampir sampai."Linggar mengusap peluh, mengumpulkan seluruh kekuatannya untuk membantu Pramudita menggotong sofa dari ruang kerja ke ruang keluarga. Pria itu beranggapan jika sofa di dalam ruangan kerjanya hanya menambah sesak dan semakin mempersempit ruangan. Maka dari itu meminta bantuan Linggar yang baru saja memasak. "Di sini saja, Mas?" Linggar kembali mempertanyakan, pria itu menjawab dengan anggukan kepala. "Apa ada yang kurang pas?"Pria yang sudah berkepala tiga itu menggeleng, terkekeh geli menatap wajah istrinya banjir keringat. Mungkin kecapekan menggotong sofa tersebut yang tergolong cukup berat bagi ukuran wanita. Hati Pramudita menghangat, tak menyangka jika Linggar akan membantunya. Kenapa jantungku deg-degan seperti ini? Enggar tidak ingin aku mengerjakan sendirian, apa pun pekerjaann
Pramudita mengangkat alisnya sebelah. "Kenapa di sana? Kamu tidak ingin masuk?""Tidak usah, aku tidur di kamarku saja." Linggar menggeleng, melangkahkan kakinya berlanjut ke kamarnya. Belum ada lima langkah, tangannya ditahan Pramudita. Pria itu menariknya lembut, lalu membawanya masuk ke kamarnya. Wanita itu memberontak, ia tak ingin berada dalam satu kamar terlebih setelah berdebat panjang. Bahkan kondisi Pramudita belum begitu dingin dan tenang. Ini untuk pertama kalinya mereka akan tidur di atas ranjang yang sama, momentum paling mendebarkan sekaligus belum pernah terpikir sebelumnya. Linggar membuang napas perlahan."Aku tidur di kamarku saja, Mas," ucap Linggar. "Mungkin lain kali saja, Mas, jika memang semua sudah siap""Apa yang kamu khawatirkan? Aku tidak ingin melakukan apa-apa sebelum kamu memberikannya. Lagi pula aku ingin menuruti ucapan kamu juga hatiku, sudah saatnya kita memulai dari awal. Pernikahan ini bukan sekadar permainan, Dik Nggar. Percaya denganku."Perkataa