Sedikit pun Mayang tidak bisa tenang sejak mendengar perkataan Mirna. Ia menunggu saat putri semata wayangnya membuka matanya kembali. Kadang kala ia terbuai pikiran konyolnya. Menukar tubuh Kemala dengan Mirna. Andai saja bisa, ia menunggu kesempatan saat dirinya mampu menggenggam pisau tajam yang mungkin akan menikam tubuh Kemala. “Maafkan aku–hanya dengan cara ini aku bisa menyelamatkan nyawa putriku.” Kalimat itu bahkan sempat terlintas di dalam benaknya yang sedang tidak waras. Mayang tidak hanya kehiloangan semangat ketika melihat tubuh putrinya terkulai lemah. Ia juga menjadi hilang kesadaran meskipun belum sepenuhnya. Mungkin begini rasanya seorang ibu yang putus asa atas keselamatan jiwa putrinya. Sementara Mayang sedang diliputi perasaan sedihnya. Kemala justru sedang mengalami hal sebaliknya. Beberapa hari setelah kembalinya Mayang ke kota, ia bertemu dengan pria yang pernah mengisi harinya. Pagi itu, cuaca sedang mendung. Kabut tebakl turun menghalangi pandangan. Kema
Nenek Tua itu menunggu sang cucu terprovokasi dengan kalimatnya. Tidak sabar melihat wanita muda tersebut segera membuang topengnya selama ini. Yah, Kemala memang kerap menutup wajahnya dengan topeng wanita tangguh. Dan–Ponirah tahu kalau sebenarnya hati cucunya begitu rapuh. “Semoga mereka berjodoh.” Ponirah bergumam dalam hatinya. Di kamarnya, Kemala sedang bersiap untuk menyambut kedatangan Bramantyo. Ia juga menjadikan Dylan, anak laki-laki yang mungkin akan menerima banyak pujian dari Bram. Meskipun merasa agak aneh, Kemala tetap ingin melakukannya. Merias dirinya untuk Bram, ini kali pertamanya. Wanita tua bernama Ponirah keluar dari kamarnya saat mendengar seseorang mengucapkan salam. Pria jangkung dengan rambut ikal yang diikat ke belakang itu tersenyum padanya. Sikap sopan dengan gaya bahasa yang santun membuat kesan pertama yang cukup baik. “Silahkan duduk dulu, Nak!” Ponirah meninggalkannya, lalu menuju ke kamar Kemala. “Nduk, ada tamu.” Ia mengintip di balik tirai.
Pipinya basah, biji matanya memerah. Ada sebilah pisau yang berada dalam genggaman tangan dinginnya. Meski gemetar, ia tetap mencengkeram kuat benda tajam itu.“Nduk ... apakah ubinya sudah siap?” Ponirah menoleh ke arah Kemala yang masih melamun. “Airnya sudah mendidih!” serunya.Wanita tua yang sejak tadi duduk di depan tungku segera beranjak, menghampiri cucunya, lalu mengambil paksa wadah berisi ubi yang baru sebagian dikupas. Tanpa banyak bicara, sebilah pisau dalam genggaman Kemala direbut dengan hati-hati.“Emm ... Mala belum selesai mengupasnya, Mbah.” Ia baru tersadar dari lamunannya.“Sudah ... sudah ... kamu kerjakan yang lain saja.” Ponirah mulai mengupas ubi yang masih tersisa. “Oh ya, sepertinya susu Dylan habis. Kasihan, nanti dia tidak bisa tidur.”Kemala meninggalkan dapur menuju ke kamar tidurnya. Mengambil botol susu kosong milik Dylan
"Rupanya buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya." Sekar berdiri menatap Bramantyo sambil mengangkat wajah. Ia memicingkan mata sambil menarik ujung bibirnya, mencibir lalu membuang muka penuh kesal. Dadanya masih naik turun menahan amarah yang susah payah ia sembunyikan. Sehingga wajah cantiknya tampak pudar oleh keangkuhan. Bramantyo menoleh ke asal suara. Pun Kemala yang turut menatap heran atas kedatangan wanita paruh baya itu. Mereka masih tertegun, menoleh satu sama lain. "Marco! Tolong jelaskan, apa semua ini!" Bramantyo beralih menatap Marco yang berdiri mematung di samping Sekar. Tanpa mengatakan apapun, Marco memilih tetap berada di sisi Sekar. Seolah hatinya telah membunuh persahabatan mereka, ia lebih takut kehilangan semua yang telah diberikan Sekar daripada menunjukkan kesetiakawanan-nya pada Bram. Tentu hal itu membuat Bramantyo geram, rahangnya mengeras, kedua tangannya pun mengepal. "Tidak perlu heran, Marco memang orangku, aku sengaja menyuruhnya berada di dek
Marco terdiam, bibirnya terasa beku hingga tidak dapat mengatakan apapun untuk menjawab pertanyaan pamannya. Terlebih lagi ia tidak ingin dianggap kembali mengkhianati Bramantyo. Pada akhirnya, Marco memutuskan untuk menyimpan sendiri apa yang sempat ia dengar dari pembicaraan singkatnya dengan si Penelpon, dia tak lain adalah Sekar Yulinda. “Apa ada masalah?” Yos bertanya lagi, “Mukamu kelihatan bingung.” Ia memperhatikan jalanan di depannya. “Tidak–tadi ada kabar dari kurator agar disampaikan pada Bram,” sangkal Marco, ia sambil membetulkan kacamatanya. Selama di perjalanan, Marco tidak banyak bicara. Begitu dirinya sampai di rumah, ia kembali merogoh ponselnya di dalam saku celana. Kemudian menghubungi Sekar lagi, sebelumnya ia memastikan bahwa Yos benar-benar telah pergi. Mimik wajah Marco terlihat serius. Sesekali ia mengangguk, terkadang juga hanya menjawab ‘iya’ atau ‘baik’, tidak banyak kata yang diucapkannya. Kali ini, durasi permbicaraan mereka terbilang agak lama dari
Butiran bening membanjiri kedua pipi Sekar, batinnya berkata bahwa dirinya bahkan tidak pantas meminta agar Bram menganggapnya sebagai seorang ibu. Sebab luka yang ia torehkan sangat dalam, mungkin juga belum sembuh hingga saat ini. Wajar kalau Bram sangat membencinya. “Jika memang anda menyayangi Bram, mengapa anda berkata ketus padanya di kali terakhir bertemu?” Marco perlu meyakinkan hatinya agar percaya pada pengakuan Sekar. “Aku terlalu malu untuk mengakui bahwa aku adalah ibu yang juga menunggu kabarnya.” Sekar mengusap pipinya. “Mungkin sulit, anda tahu–ia sangat ingin melupakan masa lalunya.” Marco berdiri, ia hendak pergi. “Tolong, ini terakhir kali aku meminta bantuanmu. Aku akan berikan imbalan setimpal agar kau bisa menyelamatkan hidup adikmu.” Sekar tiba-tiba memohon sambil menyatukan kedua tangannya di hadapan Marco. Pria itu tidak mengatakan apapun, ia segera pergi dari kediaman Sekar. Isi kepala Marco berpikir sangat keras, ia harus mengambil langkah bijak. Mi
Setelah Marco mengantarkan Sekar sampai ke luar rumah, ia kembali menemui Bramantyo. Kali ini Marco tidak ingin bungkam, jika sebelumnya ia memilih tidak bersuara karena dirinya berada di posisi salah, sekarang tidak begitu. Marco merasa terusik untuk menjelaskan tentang bagaimana seorang Sekar sesungguhnya. “Apa lagi yang kamu mau?” Bram bertanya sinis saat melihat Marco datang. “Tidak ada. Aku hanya ingin kamu lebih membuka hati. Oke, kalau di masa lalu Bu Sekar memang pribadi yang buruk. Namun, cobalah sedikit berempati sebab aku tahu beliau bertahun-tahun melakukan banyak hal demi bisa menebus dosa-dosanya padamu.” Marco menatap Bram sangat tajam. “Siapapun bisa dengan mudah mengatakan hal semacam itu, termasuk kamu. Tapi, aku tidak yakin kau akan tetap berpikir begitu jika kau berada di posisiku.” Bram tidak kalah kesal dari Marco. Perdebatan di antara mereka berujung saling diam, hingga saat Kemala datang. Mereka masih dalam situasi canggung, tidak ada seorang pun diantar
Bramantyo hanya bisa menatap Kemala lekat tanpa dapat mengeluarkan suara, di dalam pikirannya berkecamuk berbagai hal, menghimpit isi kepalanya yang tak mampu menemukan jalan keluar. Di hadapannya, Kemala memilih untuk tidak memaksakan diri agar Bram menuruti apa yang ia katakan tentang melepas segala beban. Justru Kemala lebih memahami keinginannya, wanita itu membiarkan Bram berpikir sejenak tentang sesuatu yang merenggut setengah ruangan di dalam benaknya. “Kurasa wafle madu dengan secangkir coklat panas, cukup menyenangkan.” Kemala tersenyum tulus. Yah, dia selalu tahu apa yang dibutuhkan Bram saat ini. Sudah lama Bram tidak menikmati makanan buatan Kemala itu, ia selalu menyempatkan diri menyantapnya di echo bakery, paduan rasanya cukup mampu meringkus kejenuhan yang kerap ia rasakan. “Tapi–apakah masih tersedia untukku?” Bram membalas senyum calon istrinya. “Tentu. Tidak akan lama, kamu dapat menunggu sembari bermain bersama Dylan.” Kemala menarik tangannya, mereka pergi