Hana muntah-muntah di wastafel kamar mandi yang ada dalam kamarnya, di temani kedua sahabatnya yang terus menepuk pelan punggungnya. Semangkuk bubur bayam yang Hana paksa masuk ke perut, kini terbuang sudah. Hana memutar kran dan membilas mulutnya dengan air."Kamu sih Han, kenapa harus nurut banget si sama omongan tu bapak. Belum juga jadi istrinya, toh masih tunangan" Bebel Chaca, yang tak habis-habisnya meluahkan kekesalannya terkait kejadian tadi.Hana menutup kran air, mengambil tisu dan mengelap kering bibirnya yang basah, "Aku males liat kalian berdua cekcok"Karena itulah Hana segera menghabiskan semangkuk bubur bayam itu, berjuang keras untuk tidak muntah sampai akhir, agar Pasha segera pergi dan tak perlu melanjutkan peperangan dengan Chaca.Hana menoleh pada Chaca, mendesah panjang, "Yang satunya perang tombak yang satunya lagi perang dingin..." Hana menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat perseteruan antara Pasha dan Maya."Perang tombak? Maksudnya itu aku?" Chaca menunju
Tepat setelah shalat magrib, Hana tergeletak lemas di atas sajadah. Padahal tadi sore Hana sudah merasa cukup membaik, tapi tidak tau kenapa di malam harinya tiba-tiba ia merasa begitu lemah tak berdaya. Bahkan untuk bangun menanggalkan mukena saja, rasanya Hana sama sekali tak bertenaga melakukannya. Mendengar ponselnya bergetar, sekuat tenaga Hana bangkit dan berjalan mengambil ponselnya yang ada di atas meja."Assalamu'alaikum kak Kei" Hana berjalan lemah, pergi duduk di tepi ranjang."Hann, maaf banget. Kakak mungkin malam ini pulangnya agak telat, ada masalah yang harus kakak urus di toko roti""Iya kak, gak papa""Demam kamu gimana, udah turun?""Alhamdulillah kak, udah agak mendingan" Hanya saja Hana sungguh lemah dan merasa ingin terus merebahkan diri di atas ranjang."Pokoknya kalau ada apa-apa kamu kabarin kakak ya""Iya kak""Itu kakak udah delivery makanan buat kamu makan malam, mungkin sebentar lagi datang. Jangan lupa di makan ya..""Iya kak""Kakak tutup dulu ya, assala
Sepanjang mata kuliah berlangsung, Hana habiskan dengan termenung dan melamun. Kata-kata Pasha semalam itu bergentayangan bagai hantu di kepalanya. Alhasil ketika kelas sudah berakhir, Miftah dan Chaca datang mengagetkan Hana."Hana" "..." Hana bergeming, menatap lurus kearah orang-orang yang satu-persatu mulai pergi meninggalkan pintu ruangan."Han!" Miftah pergi menepuk pelan pundak Hana."..." Hana masih mematung, seakan tak sadar kelas sudah berakhir."Hanaa!" Panggilan keras Chaca akhirnya menyentak Hana dari lamunan."Y-ya?""Kamu kenapa sih Han? Engga kaya biasanya. Masih sakit ya?" Chaca meletakkan punggung tangannya di dahi Hana, "Suhu badan kamu stabil Alhamdulillah" Chaca menarik punggung tangannya dari dahi Hana, "Tapi kenapa kamu diem gitu? Lagi mikirin sesuatu?"Hana mengangguk lemah, "Em""Pasti tentang pak Pasha ya?" Tebak Miftah."Em" Hana mengangguk membenarkan."Tuh kan, masih tunangan aja kamu udah gini Han, udah gak bisa fokus sama pembelajaran. Apa lagi kalau ka
"Silahkan nona Hana, yang mana dulu mau di coba" Staf wanita itu menunjukkan deretan gaun pengantin dengan berbagai jenis desain dan warna. Hana menatap kagum pada setiap sentuhan gaya dan elegan nya gaun-gaun itu.Setiap gaun itu di rancang khusus untuk pengantin wanita yang berhijab. Memiliki lapisan dalam dengan kerah leher menutup tinggi keatas, cukup konservatif namun tak mengurangi nilai keanggunannya.Ketika jemari tangannya menyentuh salah satu gaun, tatapan matanya yang tersenyum sesaat berganti menjadi sendu. Mengingat dirinya seorang mahasiswa, sungguh tidak pernah terpikirkan oleh Hana gaun pengantin akan mendahului baju toga yang didambakannya sejak lama."Apa mau dicoba yang ini saja dulu?"Hana tersadar dari lamunan, "Boleh""Mari disini.." Staf wanita itu menunjuk tempat ruang ganti.Selesai berganti, Hana berjalan keluar menunjukkan penampilannya pada ketiga sahabatnya, "Gimana?""MasyaAllah Hann, kamu cantik banget!" Seru Miftah dan Chaca serempak. Mata keduanya berb
"Ah, iya, aku lupa memberitahu kakak" Hana lupa memberitahu keluarganya kalau Pasha bersiap menikahinya minggu depan."Sebenarnya hari ini, aku baru aja selesai fitting baju pengantin sama pak Pasha"Keira ter-pelongo di tempat."Bukannya kalian baru aja tunangan? Kok bisa tiba-tiba mau nikahan minggu depan?" Keira mengedipkan matanya tak percaya.Hana mendesah berat. Karena sebelumnya ia sudah ber-akting menjadi Hana yang love at first sight sama Pasha, jadi di sini ia harus menunjukkan seperti apa umumnya seorang gadis ketika terbuai bunga-bunga cinta, "Ya bukannya apa si kak, Hana merasa gak nyaman aja gitu kalau tunangannya kelamaan. Mending langsung nikah, biar lebih enak aja gitu nanti jalin hubungannya sama pak Pasha, kan udah halal""Han, kok kamu ngebet banget si nikah sama dia, Jangan bilang kamu benar-benar love at first sight sama si toxic itu?" Keira yakin kalau malam hari itu Hana berbohong mengucapkan kalimat dramatis itu, tapi ini kenapa..."Ya memang benar kan" Hana b
Hana pikir, setelah kesepakatan itu berhasil ia akan merasa tenang. Tapi tidak taunya sepulang ke rumah, Hana terus terpikirkan mengenai pembicaraannya dengan Pasha semalaman. Itu tidak lain adalah mengenai ketertarikan Pasha terhadap dirinya, "Aku masih belum mengerti. Barang antik?" Hana berdiri tepat di depan jendela dengan tirai yang belum di tarik padahal hari sudah larut, "Dia melihat ku seperti barang antik?" Pandangan Hana jatuh pada bulan sabit yang sinarnya separuh redup di balik awan, "Apa itu berarti dia tidak memiliki ketertarikan secara emosional terhadap ku?" Hana mengerutkan keningnya berpikir keras, "Soal itu sudah pasti. Tapi fisik?" Kata-kata Pasha tadi siang kembali terlintas di mindanya, yang menyatakan dengan jelas bahwa Pasha sama sekali tidak tertarik untuk berhubungan biologis dengan Hana setelah menikah nanti. "Kalau begitu maknanya dia juga tidak tertarik padaku juga secara fisik" Fakta itu cukup mengejutkan. "Tidak-tidak.." Hana berjalan menggelengkan k
Bangun pagi, Hana menjalani aktivitasnya seperti biasa. Berpakaian rapi dan bersiap-siap ke kampus karena hari ini Hana ada jadwal kelas pagi. Menyematkan tas samping ke pundak kirinya, Hana berjalan menuruni anak tangga. Melangkah ke dalam ruang makan yang sepi, Hana terkejut melihat sudah ada dua orang yang duduk di meja makan."Loh papa, belum berangkat?" Itu pemandangan langka melihat papanya yang super duper cepat dan sibuk masih menyempatkan sarapan di rumah."Duduk Han, papa mau ngomongin sesuatu tuh" Keira meletakkan roti tawar yang baru saja diolesi selai strawberry di atas piring untuk Hana. Lalu separuh bangun menuangkan susu vanilla hangat ke gelas yang masih kosong."Oh" Hana menarik kursi dan duduk. Sepertinya ia tau papanya itu akan membicarakan apa sampai-sampai menyempatkan waktu untuk sarapan di rumah."Papa denger dari pak Shahbaz, kalian berdua sepakat untuk mempercepat pernikahan?"Hana meletakkan segelas susu vanilla hangat yang baru saja di minumnya di atas meja
"Tiga puluh menit, apa menurut anda cukup?" Tidak peduli didepannya itu adalah bakal mertuanya, kebiasaan Pasha yang cukup ketat soal waktu memang tidak bisa dinegosiasikan. Pasha mengeluarkan jam pasir dari saku jasnya dan meletakkannya di atas meja bundar cafe perusahaan.Arya mengangkat cangkir kopi, matanya tersenyum menatap jam pasir kecil yang ada di atas meja, "Kamu tidak punya arloji ya? Tapi kebiasaan mu yang satu ini unik juga"Bibir Pasha berkedut kecil, tidak mengira pria paruh baya didepannya itu cukup bisa berbasa-basi, "Ya, saya terbiasa membawa benda kecil ini di setiap aktivitas saya. Anda tidak terganggu soal ini kan?"Arya menyeruput seteguk kopi kedalam mulut, rasa pahit yang pekat pun melesat jauh ke kerongkongan, "Kopi hitam disini rasanya cukup lumayan, hanya terlalu pekat" Arya meletakkan cangkir ke atas meja, matanya melirik Pasha itu tersenyum dingin mengekspresikan ketidakpuasan.Biarpun Arya tidak menjawab dengan lugas pertanyaan Pasha, tapi sinyal itu suda