"Viona?" Laki-laki itu berkata untuk memastikan kalau yang ada di depannya itu adalah Viona."Iya, Mas. Aku Viona." Viona tersenyum pada laki-laki bernama Gibran itu. Gibran adalah suami dari Adel, kakaknya Damar. "Apa kabar Viona? Kamu kesini ngapain? Sama siapa? Mana Arka?" Gibran mencecar Viona dengan beberapa pertanyaan."Alhamdulillah, kabar baik. Arka di hotel sama Bapak dan Ibu.""Ehem!" Laki-laki di sebelah Gibran berdehem karena merasa dicuekin."Eh, maaf. Ini temanku Tedi." Gibran memperkenalkan diri.Viona dan Hana segera bersalaman tangan dengan Tedi."Oh, ini Bu Hana yang janji bertemu dengan saya, kan? Mau melihat-lihat apartemen," tanya Tedi."Iya, Pak. Saya Hana.""Untuk siapa apartemennya?" "Untuk teman saya, Mbak Viona." Gibran yang mendengarkan perbincangan Hana dan Tedi, mengernyitkan dahi. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan. Tapi ia tidak berani untuk bertanya lebih lanjut."Ayo kalau mau melihat. Ada di lantai lima," ajak Tedi. Viona dan Hana mengikuti Ted
"Kok malah melamun?" celetuk Adel.Viona kaget mendengar ucapan Adel, ia pun tersadar dari lamunannya."Aku iri melihat kehangatan Mbak Adel dan Mas Gibran." Viona menjawab dengan pelan."Yakinlah, suatu saat kamu akan menemukan teman hidup yang baik untukmu," sahut Adel."Aku belum kepikiran kesitu, Mbak. Fokusku sekarang adalah Arka.""Viona, kamu masih muda. Kamu berhak untuk hidup bahagia. Carilah kebahagiaanmu sendiri. Walaupun kamu tidak bersama Damar, kamu tetaplah adikku.""Terima kasih, Mbak." Viona sangat terharu dengan perlakuan Adel padanya."Apa yang membuatmu memutuskan pindah kesini?" Adel masih penasaran."Karena seorang laki-laki," sahut Viona."Oh, ada laki-laki yang mau melamarmu. Terus karena kamu nggak suka, akhirnya kamu pergi? Begitu?" Adel berkata seolah-olah ia tahu apa yang terjadi.Viona mengangguk."Kayak Mama tahu saja, sih." Gibran mengomentari pendapat istrinya."Kurang lebih seperti itu, Pa. Buktinya Viona mengiyakan. O ya, Viona, kenapa kamu tidak meny
"Damar, kamu kan sudah melamar Jihan! Jangan sembarangan memutuskan hubungan. Bisa malu keluarga kita," kata Adel."Tapi Mbak, kalau diteruskan nanti malah akan selalu terjadi pertengkaran.""Kenapa kamu melamarnya?" Adel mulai emosi."Itu karena ibunya Jihan yang mendesak," kilah Damar."Aku jadi pusing mikirin masalahmu.""Nggak usah dipikirin, Mbak. Aku saja santai kok, hehe." Damar malah tertawa meledek Adel."Sudah ah, aku mau ganti baju." Adel pun masuk ke dalam kamar."Mas, apa aku salah kalau aku memutuskan hubungan?" tanya Damar."Enggak salah, sih. Semua ini demi masa depanmu sendiri. Kamu pernah menikah, kamu nggak mau gagal lagi, kan?" tanya Gibran."Aku ingin pernikahanku ini yang terakhir kalinya.""Pikirkan lagi semuanya. Jangan mengambil keputusan ketika marah. Nanti akan menyesalinya.""Ayo Pa, cepat ganti baju," kata Adel yang sudah keluar dari kamarnya."Ya sudah, aku pergi duluan ya?" pamit Damar, kemudian ia beranjak dari duduknya dan melangkah pergi."Kok bisa-b
"Assalamualaikum." Jihan mengucapkan salam dengan sopan. Semua yang ada di meja itu menoleh ke arah Jihan, mereka kaget melihat sosok yang mengucapkan salam."Waalaikumsalam." Pak Yuda menjawab salam Jihan."Wah, rupanya sedang berkumpul disini ya? Kalau boleh tahu, ada acara apa?" tanya Jihan. Ia tersenyum melihat ke sekeliling. Adel dan Danish membalas senyuman Jihan, sedangkan Mama Laras dan Damar tak menghiraukan sapaan dan senyuman Jihan. Jihan tampak kecewa melihat Damar mengabaikan dirinya."Enggak ada acara apa-apa, cuma makan bersama saja," kata Damar dengan nada suara yang ketus."Kamu sama siapa disini?" tanya Adel, ia berusaha untuk ramah supaya Jihan tidak tersinggung. "Sama teman, Mbak. Tapi dia sudah pulang.""Oh, gitu." Adel tampak manggut-manggut."Ayo ikut bergabung." Pak Yuda berkata pada Jihan. Jihan menatap wajah Damar, ekspresi Damar hanya datar saja. Adel menjadi kasihan melihat Jihan diabaikan oleh Damar."Duduklah, bergabung bersama kami." Adel menawari Jihan
"Kamu nggak akan bisa melepaskan aku begitu saja, Mas. Aku terlalu berharga untuk kamu lepaskan," kata Jihan dalam hati dengan penuh kemenangan."Ada banyak hal yang harus kita bicarakan." Alan berkata dengan tegas."Oh, tentang rencana pernikahan kita ya?" sahut Jihan dengan tersenyum. Jihan tidak jadi keluar dari mobil. Ia pun menghadapkan wajahnya ke arah Damar. Mereka berdua saling berpandangan. Damar menghela nafas panjang."Aku ingin berbicara tentang kita. Hubungan kita, apakah akan berlanjut atau berhenti sampai disini.""Maksud Mas, kita putus? Tapi kita kan sudah bertunangan, apa kata orang kalau sampai tidak jadi menikah." Jihan sangat syok dengan ucapan Damar."Orang menikah saja bisa cerai, apalagi baru bertunangan.""Oh, jadi Mas mau rujuk dengan ibunya Arka ya? Berarti tadi ngumpul di restoran untuk membahas rujuknya kalian? Pantas saja kalau Mama tidak menyukai kehadiranku." Jihan langsung nyerocos."Sudahlah, nggak ada gunanya berbicara denganmu. Kamu tidak mau menden
"Jujur saja, ketika pertama bertemu dengannya, aku memang baper. Karena aku adalah pihak yang tersakiti, hingga akhirnya kami berpisah. Tapi lama kelamaan, aku sudah mulai bisa menguasai perasaanku sendiri. Aku harus menjalin hubungan baik dengannya, karena ada Arka.""Apakah tidak ada keinginan untuk rujuk?" Hana sangat penasaran."Hana, Mas Damar sudah mau menikah. Dia sudah punya kehidupan yang baru. Aku hanyalah bagian dari masa lalunya.""Kalau seandainya Mas Damar nggak jadi menikah, terus mengajak Mbak Viona rujuk, apakah Mbak mau menerimanya?" tanya Hana lagi."Nggak usah berandai-andai, deh! Doakan saja yang terbaik untuk kami berdua." Viona sudah bingung mau menjawab apa, akhirnya ia menjawab secara diplomatis.Hana tersenyum mendengar jawaban Viona. Ia menduga kalau sebenarnya Viona masih menyayangi ayahnya Arka. Tapi ia tidak berani mendesaknya, biarlah sang waktu yang akan menjawab semuanya."Apakah orangtua Mas Damar sudah tah kalau Mbak Viona dan Arka ada disini?""Kaya
"Sebenarnya, hu…hu..huaa…huaa." Jihan malah semakin keras menangis."Ada apa, sih?" Mega menjadi kesal karena Jihan hanya menangis."Ada apa, Jihan? Cerita dulu, biar Ayah dan Ibu tahu apa masalahnya." Dedi menenangkan Jihan.Jihan menarik nafas perlahan, kemudian mulai berbicara."Mas Damar memutuskan hubungan denganku." Jihan berkata dengan pelan. Mega terkejut mendengar kata-kata Jihan, Dedi hanya biasa saja. Ia sudah menduga kalau hal ini pasti terjadi."Ayah kok biasa saja? Apa Ayah senang kalau mereka berpisah?" Mega tampak berang melihat ekspresi wajah suaminya yang datar saja."Ayah kan sudah pernah bilang, kalau Jihan tidak berubah, bisa saja Damar memutuskan hubungan mereka.""Nggak bisa seenaknya memutuskan hubungan, apa kata orang-orang nanti?" Mega langsung naik darah, ia tidak pernah memikirkan kalau Damar mau memutuskan hubungan dengan Jihan, apalagi mereka sudah bertunangan."Nggak usah pikirkan kata orang-orang." Dedi berkata dengan pelan, ia menatap Mega dan Jihan se
"Viona." Mama Laras menutup mulutnya, ia seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Iya, Ma. Ini Viona." Viona mendekati Mama Laras kemudian mencium tangan dan memeluknya.Mama Laras meneteskan air mata karena terharu melihat siapa yang datang. "Mama jangan nangis," kata Viona ketika melepaskan pelukannya."Mama bahagia melihat kamu datang." Mama Laras segera menghapus air matanya."Arka, kasih salam sama Oma." Viona berkat pada Arka."Ini Oma, Sayang. Sudah lupa, ya?" Mama Laras menggendong Arka. Arka hanya terdiam, ia masih bingung dengan situasi ini."Arka sudah besar ya, sudah berat." Mama Laras mencium Arka."Ayo ke dalam," ajak Mama Laras pada Viona."Iya, Ma."Viona mengikuti langkah kaki Mama Laras menuju ke ruang keluarga."Opa, lihat siapa yang datang," kata Maam Laras pada suaminya yang sedang asyik menonton berita di televisi. Pak Yuda menoleh ke arah istrinya."Viona? Arka." Pak Yuda tak kalah terkejutnya dengan kehadiran Viona dan Arka. Viona segera mendekati Pak