Satria pulang setelah memasang aki baru ke sepeda Beat. Wajahnya terlihat lesu dan kuyu."Mas kamu sudah pulang?" tanya Shafira halus. Tak lupa dia mengulas senyum dan memandang lekat sang suami. Senyuman dan tatapan teduh Shafira berhasil membuat Satria merasa bersalah. Dirinya tak pernah memberlakukan sang istri seperti ini."Ya. Tolong buatkan aku teh saja, aku habis ngopi.""Baik mas."Tiba tiba Aini datang dari luar dengan ekspresi yang sulit dijelaskan."Mana sepeda beatnya?""Aku tinggalkan di sana, tadi aku cuma memasang aki."Aini menggeleng tak percaya jika anaknya mau saja di peralat oleh Thika."Sampai kapan kamu akan mengutamakan Thika daripada aku ibumu dan keluargamu?"Satria memandang marah pada Aini."Bu, bisa tidak kamu diam saja? Jangan campuri urusanku."Shafira hanya bisa menghela nafas berat melihat ibu dan anak itu berbeda pendapat. Ada rasa bahagia karena sang mertua membelanya namun di sisi lain Shafira juga ikut kesal melihat sikap Satria yang berani membent
Seharian Satria memikirkan ucapan Shafira tentang hari ini. Dia sama sekali tak ingat tentang ulang tahun istrinya. Berbeda dengan Satria yang dulu, Satria yang selalu mengucapkan selamat ulang tahun untuk pertama kalinya. Shafira sendiri berusaha melupakan sikap pelupa Satria."Assalamualaikum," ucap Iva main ke rumah Satria."Waalaikumsalam, masuk Va," jawab Shafira, menjamu sahabatnya itu dengan minuman dan cemilan."Nggak potong kue ya mbak?" goda Iva sekenanya saat duduk di sofa.Shafira memandang Satria sekilas dan berkata, "untuk apa potong kue Va, toh gak ada yang spesial hari ini"."Uhuk, uhuk, uhuk."Satria seketika batuk mendengar ucapan Shafira yang ditangkap mengejeknya."Ada apa mas? Pelan pelan dong kalau minum kopi."Shafira menepuk nepuk punggung Satria membuat lelaki itu memandang aneh pada sang istri.Shafira segera ke dapur berniat mengambilkan air putih untuk sang suami."Hari ini hari apa sih Va?" bisik Satria saat sang istri tak ada."Ya ampun mas, kamu lupa ya?
[Besok aku mau ambil sepeda, kita bertemu di tempat biasanya.][Ambil sepeda?][Iya, aku ada urusan dan akan pergi menggunakan sepeda beat.][Iya, baiklah kalau begitu mas, sampai ketemu besok.][Ya.]Suara Thika terdengar tak rela jika sepeda diambil.Satria menutup telepon dan berkata, "aku sudah menelponnya, sekarang kamu puas kan?""Kita lihat saja besok," jawab Shafira tenang. Jauh di lubuk hati, Shafira tak sabar menunggu hari esok, apakah Satria akan memenuhi ucapannya atau tidak. "Ya sudah kalau begitu, kita bahas masalah lain saja,"ucap Tutik menengahi.Disini, Tutik sebagai orang tertua sudah sewajarnya memberikan nasehat kepada Satria dan Shafira, terlebih Shafira sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Tutik memberi kode kepada Indra agar menceritakan masalahnya kepada Satria. Dengan ragu, Indra mulai mengeluarkan unek unek di hatinya."Mas, aku mengundangmu kesini karena ada hal penting yang perlu aku bicarakan.""Tentang apa itu mas?" tanya Satria heran."Ini tentang pe
"Kamu?""Kamu kenapa kemari?""Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi?" cerca Thika kepada Sholeh, suaminya."Aku kan sudah bilang jika aku ingin membenahi hubungan kita.""Aku meragukanmu mas?""Kenapa ragu, semua ini demi anak kita," jawab Sholeh mantap.Seminggu yang lalu Sholeh memang mendatangi Thika dan meminta maaf. Dia juga menjelaskan alasannya datang menemui Thika jika dirinya telah bangkrut dan semuanya sudah terjual. Sholeh tak punya apa apa lagi sehingga dia menemui Thika dan meminta rujuk.Saat itu Satria melihat dengan mata kepalanya sendiri sehingga dirinya merasa bodoh, mau saja percaya pada Thika."Demi anak anak katamu mas?" tanya Thika emosi."Lalu saat kamu menceraikanku, apakah kamu memikirkan mereka mas?""Aku menyesal Thik, maafkan aku?" pinta Sholeh dengan sujud menyembah kaki Thika."Mas, jangan seperti ini. Malu dilihat orang."Thika memundurkan tubuhnya membuat Sholeh kecewa dan berdiri tegak, seketika membuat nyali Thika menciut.Dia kembali mengingat betapa
"Tega apanya, wong kamu tak ingatkan tetep saja membangkang, melakukan cara agar Thika dihina. Thika itu sedang down mentalnya. Kenapa kamu tak mengerti sama sekali sih?" keluh Satria pada Shafira istrinya."Aku melakukan apa mas? Aku tak paham apa maksud ucapanmu.""Terus saja berkilah. Kamu kan yang menyuruh tante Ipung ngelabrak Thika?"Aini datang mendekat karena mendengar perdebatan dari anak dan menantunya."Ada apa ini kok ramai ramai?""Shafira ini bu, selalu mencurigai aku sama Thika. Dia nyuruh Tante Ipung ngelabrak Thika."Shafira menghembuskan nafas berat. Dia tak mau debat dengan sang suami. Percuma saja dia membela, toh akan terus disalahkan."Kamu jangan nuduh Shafira karena aku yang melakukannya. Ya, akulah yang menyuruh Ipung mengingatkan Thika agar tak mengganggu kehidupan rumah tanggamu!" seru Aini merasa kesal."Bu, bisakah-""Diam Satria. Sudah cukup ibu melihatmu seperti ini, tak akan aku biarkan si pelakor genit itu mengusik kehidupan anakku."Satria memandang p
Shafira sangat khawatir akan keadaannya saat ini. Darah terus menetes dari jalan lahir sang bayi. Sambil menahan rasa sakit, dirinya mendatangi sang suami yang kini tengah tidur. Shafira berkali kali menghubungi sang suami namun hasilnya nihil membuatnya begitu kecewa. Disaat seperti ini, Satria malah tak pulang. "Shafira, malam semakin larut tapi kenapa suamimu belum juga pulang?" tanya Aini mencemaskan anaknya. "Entahlah bu, aku sendiri juga tak mengerti," jawab Shafira menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit yang mendera. "Kamu kenapa kok meringis begitu? Kamu sakit?" "Ah, tidak bu" elak Shafira berbohong. Sebenarnya Aini merasa janggal namun dia tak mah menelisik lebih dalam, berlalu menuju dapur membuat segelas kopi untuk dirinya sendiri. Aini adalah seorang wanita yang tak bisa hidup tanpa kopi. Meski mempunyai darah tinggi, dia tetap minum kopi padahal kandungan kafein pada kopi diyakini bisa membuat tensi naik alias penyebab hipertensi. Tiap hari dia akan membuat seg
"Mas, tunggu!?""Ada apa?!" tanya Satria ketus. Dirinya masih emosi, pengaruh alkohol yang begitu kuat.Yudha memberi kode pada Shafira untuk menghentikan niatnya dan membiarkan Satria pergi.Safira yang mengerti kemudian berkata, "tidak jadi Mas".Akhirnya Satria pergi meninggalkan Safira dan Aini."Bu, sekarang ibu istirahat ya," ucap Shafira memapah mertuanya masuk ke kamar. Dilihat jam di ruang tamu menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Pintu yang tadi di rusak Satria, kini ditopang dengan kursi agar bisa tertutup. Tatapan Shafira beralih pada pecahan gelas yang berserakan di ruang tamu. Dengan pelan diambil dan dibuang ke sampah."Tess!"Air mata Shafira kembali jatuh tak tertahan."Kamu kenapa mas?""Apa rasa cintamu pada Thika yang membuatmu seperti ini?"Hati Shafira benar benar hancur saat ini. Dirinya tak tahu harus berbuat apa untuk menyadarkan Satria. Perubahan ini jelas terjadi setelah sang suami bertemu dengan Thika. Karena Thika, kehidupan rumah tangga Shafira jadi hancur
"Apakah saya akan melahirkan?" tanya Shafira pada Bidan yang telah memeriksa kandungannya."Maaf bu Shafira, belum ada pembukaan. Jika dilihat dari buku KIA ini, sudah lewat HPL jadi seharusnya dia sudah waktunya lahir.""Lalu Bu?""Aku tadi telah memeriksa kandungan Anda, menurutku bayi anda sehat, tempo gerakannya aktif jadi kita tunggu saja satu atau dua minggu ini. Jika lebih dua minggu, Anda harus segera ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut."Shafira mengangguk paham, ada rasa takut dan kecewa di dalam hati. Dia pikir hari yang ditunggu tunggu datang juga, ternyata dia terlalu berharap."Kamu tenang saja, anak kita akan lahir dengan selamat dan sehat, kita tunggu saja," ucap Satria tegas saat membonceng sang istri. Seolah dia tahu apa yang menjadi beban pikiran istrinya saat ini."Iya mas, aku mengerti."Lama saling diam, Satria kembali berkata, "hidup itu tak boleh mengeluh. Kita harus menjalani apa yang sudah Allah gariskan untuk kita," ucap Satria menceram