Gilang sudah minum obat yang disiapkan oleh Bibi, asiten rumah tangganya. Panas badan Gilang sedikit menurun meski kepalanya masih terasa berat.
Sedari tadi bibi yang merawatnya karena papa Gilang masih di kantor. Mendengar Gilang sakit beliau akan usahakan pulang lebih awal. Tadi malam sepulang kerja papa Gilang masih mendapati keadaan Gilang baik-baik saja di kamar. Tak beliau sangka hari ini anaknya sakit.
Gilang ingin Safira menemaninya di saat-saat seperti ini. Lelaki itu meraih ponselnya di samping tempat tidur, mengirimi Safira pesan. Meminta untuk pacarnya itu datang ke rumah. Setelah mengirimi pesan, Gilang kembali meletakkan ponselnya di samping tempatnya.
Tangan kirinya terangkat memijit pelipis dan pangkal hidungnya yang terasa nyeri.
Gilang merasakan pelupuk matanya berat.
Mungkin efek obatnya sudah mulai bekerja. Lelaki itu sudah berusaha untuk tidak tidur tapi akhirnya matanya terpejam juga. Namun, dia tetap berusaha menjaga kes
"Lo nggak turun?" Pertanyaan Evan menyadarkan Safira dari lamunan. Gadis itu baru sadar kalau ternyata mereka sudah sampai di depan gedung kosannya. Safira pun turun dari motor Evan. "Makasih," ucap Safira singkat, terdengar dingin, tidak seperti biasanya. Safira tak bisa berhenti memikirkan Gilang. Bahkan selama jam pelajaran di sekolah, dia tak bisa fokus. Dalam perjalanan pulang pun dia lebih banyak diam. Alhasil, Evan yang terus mengajaknya bicara hanya bicara sendiri. "Lo kenapa, sih?" Safira baru akan melangkah meninggalkan Evan ketika Evan bertanya. Safira lantas membalikkan badan. "Masih mikirin dia?" "Gue khawatir banget. Gilang lagi sakit dan gue nggak ada di saat-saat dia butuh gue." Safira tak bisa menahan diri untuk tidak bercerita ke Evan. "Lo coba aja hubungin dia lagi," usul Evan. "Dan apa yang Riri bilang tadi lo percaya?" Evan yang baru datang sempat mendengar perseteruan antara Safira dan Riri tadi pagi.
"Kok gue jadi bayangin tuh cewek, ya?" Gilang tak habis pikir dengan dirinya yang bisa-bisanya membayangkan Viona. Lelaki berwajah tirus itu menggeleng pelan, berusaha menepiskan bayangan itu dari pikirannya. Tapi anehnya, semakin dia berusaha menghilangkan bayang Viona dari pikirannya semakin dia teringat akan gadis itu. "....ingat jaga jarak." Perkataan Vona yang satu itu ikut terngiang dipikiran. "Apa maksud Viona ngomong gitu, ya?" gumamnya. "Sebenarnya kalau gue perhatiin kayaknya dia mau ngelakuin itu sama gue lagi cuman mungkin karena gue sekarang bukan pacarnya lagi, jadi dia nolak." Gilang mengusap dagunya, berpikir. Dan dia yakin bahwa pemikirannya itu benar. *** Pagi itu sekolah masih sepi. Baru ada dua-tiga siswa yang terihat ketika Safira dan Evan menyusuri koridor IPS. Tapak sepatu terdengar menggema memecah kesunyian. Mereka berdua datang lebih awal hari ini. Karena Gilang masih sakit, Safira pergi bersama Ev
Hari-hari terus berlalu. Tibalah waktu ujian nasional. Para siswi angkatan kelas dua belas mulai serius menyiapkan dan mempelajari materi pelajaran yang akan diujikan. Tak ada lagi waktu untuk bermain-main. Tak terkecuali Safira dan teman-teman. Inilah yang paling Safira tunggu-tunggu. Dia akan belajar sungguh-sungguh agar mendapat nilai ujian yang memuaskan untuk kemudian bisa masuk ke universitas favorit di Jakarta seperti impiannya selama ini. Tak jarang Safira mengumpul dengan grup belajar yang dia buat untuk membahas materi yang akan diujikan dengan metode belajar tanya jawab dan bertukar pikiran. Intinya, Safira sering menghabiskan waktu untuk belajar serius. Dia tidak lagi banyak main. Itu sebabnya dia menolak permintaan Gilang yang mengajaknya jalan atau sekadar bertemu. Safira benar-benar memprioritaskan nilai sekolahnya. Hal itu kadang membuat Gilang kesal dan bosan. Safira lebih mementingkan nilai sekolah ketimbang dirinya. Untuk sekali d
Gilang pulang dari rumah Viona pukul setengah dua belas. Ketika ke rumah Viona tadi dia mendapati ponselnya di telepon oleh Safira, Safira juga mengiriminya pesan. Tentu saja Gilang tak mengangkatnya karena dia sedang bersama Viona. Tak lama setelah itu barulah dia memutuskan pulang. Saat ini Gilang sedang berbaring di kasur nya sembari menatap ponsel. Safira mengiriminya chat, bertanya apa saja yang Gilang lakukan di rumah. Tapi Gilang memilih tak menjawabnya. Pikirannya kembali mengingat ucapan Viona tadi. "Lepasin aja kak Safira buat kak Andra. Gue yakin kalau kak Safira udah nggak sama kak Gilang, mereka pasti jadian," "Gue nggak masalah sih kakak mau pacaran sama siapa aja. Mau sama kak Safira kek, sama perempuan lain di luar sana atau mungkin mau balikan lagi sama gue. Gue mau-mau aja, hehe." "Maksud Viona ngomong gitu apa ya? Aneh kok dari kemarin gue ngerasa tuh cewek kode gue terus ya?" gumam Gilang seorang diri. Dia mengingat lagi percakapan
Safira menatap Gilang tak percaya. "Gilang kamu kenapa, sih? Kamu seperti nggak suka sama aku. Salah aku apa?!" Safira tidak bisa menahan diri lagi. Gilang seperti tak mau disentuh olehnya. Gilang menatap mata Safira yang mulai berkaca-kaca dengan perasaan bersalah. Dia baru tersadar dia sudah bersikap kelewatan. "M-maaf, maafin aku. Aku nggak bermaksud..." Safira menggeleng sambil menangis. Gilang yang melihatnya semakin merasa bersalah. "Maafin aku Safira, aku..." Gilang tak bisa meneruskan ucapannya. Tak mungkin dia bilang kalau dia merasa terangsang setiap kali Safira sentuh dan membuat dia jadi ingin melakukan itu. Gilang sendiri tak mengerti kenapa tiba-tiba dia merasa seperti ini saat berada di dekat Safira. Tak seperti biasanya. Safira mengusap pipinya, berusaha untuk tidak menangis lagi. "Kita pulang aja, yuk," ajak Gilang akhirnya. Safira mengangguk. Gilang memanggil pelayanan yang lewat, membayar makanan mereka, lant
"Gue perhatiin tiga hari belakangan ini lo nggak terlihat akrab sama Gilang," ucap Riri ketika mereka bertiga--bersama Safira dan Evan--tiba di parkiran. Dan dia melihat Gilang tengah mengenakan helmnya. Safira dan Evan melihat ke objek yang sama. "Kalian nggak berantem, kan?" Riri menatap Safira. Gilang menaiki motornya. Safira terkekeh. "Nggak sama sekali." "Terus kenapa kayak perang dingin gitu," ucap Riri lagi. "Harus, ya, keliatan akrab terus," "Aneh, aja. Biasanya mah berduaan terus seolah dunia milik berdua, sampai kita dilupain. Iya, nggak, Van?" Evan hanya tertawa bersamaan dengan Gilang yang melajukan motornya meninggalkan pelataran parkir. "Tumben pulang sendiri, nggak bareng lo," ucap Riri lagi. "Gue lagi pengin pulang bareng Evan," kilah Safira. "Udah, ah, pulang. Ngapain ngomongin dia." Safira berjalan lebih dulu menuju motor Evan. Safira berusaha menghindari pembahasan itu. Dia tak mau
Gilang: Fir, hari ini kita ketemuan yuk. Ada hal penting yang pengin aku omongin sama kamu. Bentar lagi aku jemput. Safira menatap pesan itu tak percaya. Gadis itu tersenyum senang. Gilang akhirnya mengiriminya pesan setelah dua hari tak ada kabar. Di sekolah tadi Safira juga tidak melihat keberadaannya. Entah ke mana lelaki itu. Hal itu membuat Safira semakin rindu pada pacarnya itu. Dan tanpa di sangka sore ini Gilang akhirnya mengiriminya pesan juga. Bahkan pacarnya itu mengajaknya ketemuan. Namun, sejurus kemudian ekspresinya berubah, senyum senang yang sempat tercipta itu seketika memudar kala sebuah spekulasi buruk terlintas di pikirannya. Dua hari sejak semalam Gilang tak ada kabar sama sekali. Dan tiba-tiba saja hari ini Gilang langsung mengajaknya ketemuan. Untuk apa? Apakah Gilang mengadakan suprise untuknya? Rasanya tak mungkin. Safira takut kalau Gilang ingin menyampaikan kabar buruk mengenai hubungan mereka. Mendadak perasaan cewek
Gilang melepas pelukannya, menatap Safira lekat-lekat. "Aku...." "Apa Gilang?" desak Safira tak sabaran. "Aku mau cerita," ucap Gilang akhirnya. Sungguh dia berat mengatakannya. "Cerita apa?" Gilang lalu berdiri, berjalan menuju balkon, melempar pandang ke lapangan basket. "Jujur semenjak sama kamu, aku banyak berubah. Bahkan berubah drastis. Aku nggak pernah lagi ngelakuin itu," "Bagus dong." Safira berjalan mendekati Gilang. "Iya, tapi tetap aja aku merasa buruk. Aku nggak pantas. Aku memiliki masa lalu yang buruk. Aku bukan lelaki yang baik." Gilang lantas menghadap Safira. "Dibanding kamu, aku benar-benar nggak pantas. Tadinya aku pikir kamu yang nggak pantas untuk aku, tapi semakin ke sini aku sadar, aku yang nggak pantas untuk kamu," Safira mengernyit, perasaannya semakin tak nyaman, "maksud kamu?" "Kamu terlalu baik buat aku, Fira. Dan aku nggak pantas buat kamu. Kamu pantas dapatkan lelaki yang leb