Share

3. Menggalau

Bunyi 'klik' tanda kunci apartemen berhasil dibuka dari luar tidak membuat Kavia lantas bangun dari rebahan. Terlalu malas buat sekedar menyeret langkah untuk tahu siapa yang datang. Kalau bukan Gyan, paling Dian. Hanya dua orang itu yang dia amanahi password apartemennya. Bahkan papi sama maminya tidak.

Kavia makin merapatkan selimut. Kantuk masih bergelayut. Sudah dua hari ini dia mendekam di apartemen. Sengaja minta cuti dari kerjaan. Tidak ada yang dia lakukan kecuali makan dan tidur. Mandi pun cuma sekali sehari saking magernya.

"Ya ampuunnn! Kaviaaa!"

Dengan cepat Kavia menyambar bantal untuk menutupi telinganya. Suara menggelegar yang bisa mengguncangkan gedung apartemen itu dia yakini berasal dari living room unitnya. Dan siapa lagi yang bisa teriak dengan kekuatan penuh seperti itu kalau bukan sahabatnya?

"Perawan kok rumahnya kumuh, jorok gini! Ini apartemen apa tempat sampah?!"

'malas, Di.' Kavia cuma menyahut dalam hati. Dia yakin sebentar lagi Dian akan kembali merepet seperti petasan imlek.

"Kebiasaan banget, kalau putus cinta pasti sebelas dua belas kayak orang sinting. Rumah nggak diurus, baju kotor nyampir di mana-mana, sampah bekas snack bertebaran. Sakit hati sih sakit hati, Vi. Tapi lo tetep kudu jaga kebersihan tempat lo. Lo mau tempat ini jadi sarang nyamuk. Mau lo kena DBD, terus koit? Lo belum nikah, Vi. Emang lo nggak penasaran rasanya surga dunia? Nggak pengin punya anak-anak yang lucu.... Bla bla bla.... "

Kavia berada di kamarnya, tapi dia masih bisa mendengar omelan Dian di living room sambil terkantuk-kantuk. Hal seperti itu sudah biasa sejak mereka tinggal satu atap ketika menempuh pendidikan di Kanada. Omelan itu akan berhenti tepat ketika unitnya rapi kembali. Jadi, selama nyerocos ngalur-ngidul itu Dian sambil beres-beres kekacauan yang Kavia buat.

"Bangun lo!"

Kavia mengerang ketika selimutnya ditarik paksa. Jika Dian sudah membangunkannya, artinya bersih-bersihnya sudah selesai.

"Bangun, Mandi sana!"

"Ih mau apa sih mandi," sahut Kavia ogah-ogahan.

"Ya mandi biar badan lo nggak bau. Dandan yang cantik terus nongkrong. Tepe-tepe sama cowok ganteng plus tajir. Gaet mereka. Tunjukin kalau lo bisa cepet move on!"

Rasanya Kavia ingin memaki orang yang tengah berkacak pinggang di depannya ini. Dipikir nyari cowok itu gampang?

"Lo itu cantik, Kavi. Modal lo gede, perawatan mahal. Ditinggal cowok brengsek aja galaunya dua hari dua malam." Dian menarik paksa tangan Kavia sampai wanita itu terbangun. "Liat diri lo. Udah kayak zombie. Sadar, Vi! Sadaaar!"

Astaga! Sumpah ini berisik banget. Dengan terpaksa Kavia membuka matanya setengah. Sekarang dia bisa melihat dengan jelas cewek manis berbadan gemoy itu tengah melotot padanya.

"Nih! Baca!" seru Dian sambil mengacungkan sebuah kartu.

"Apaan?" tanya Kavia malas.

"Ini undangan pertunangan Fabby sama Mak lampir."

"Apa?" Kali ini mata Kavia terbuka sempurna dan langsung merebut undangan dari tangan Dian. Dengan tak sabar dia membuka undangan tersebut dan segera membaca isinya.

Setelahnya, tubuh Kavia terasa lemas seketika. Luka di hatinya yang masih menganga lebar seolah sengaja disiram air garam. Seakan belum cukup pengkhianatan yang mereka lakukan, kini keduanya malah makin memperpuruk dirinya.

"Ayo! Vi! Sadar! Move on! Ngapain lo begini buat orang yang udah nggak peduli sama lo. Jangan sia-siain air mata lo. Jangan sia-siain kehidupan lo yang pasti jauh lebih berharga daripada mereka." Dian mengguncang-guncang bahu Kavia ketika wanita itu tampak terkulai lemas.

"Ya udahlah, Di. Biarin aja. Moga mereka bahagia," sahut Kavia lemah seperti orang kehilangan tenaga. Lalu menjatuhkan kembali tubuhnya ke atas tempat tidur.

"Lah biarin aja gimana? Ya lo bangun, gerak. Jangan kayak gini terus. Mereka nggak boleh bikin lo kayak gini."

"Emang gue mesti gimana? Sabotase acara mereka?"

"Ya enggak juga. Seenggaknya tunjukin ke mereka kalau lo baik-baik aja. Lo harus datang ke pesta pertunangan mereka."

Kavia menyatukan dua alis, menatap sahabatnya. "Lo mau lihat gue pingsan di sana?"

Seakan lelah menghadapi sahabatnya yang galau, Dian menepuk jidatnya sendiri. "Lo ke sana jangan sendirian atau sama gue. Bawa gebetan atau pacar baru."

"Masalahnya nyari di mana gebetan dan pacar baru itu?"

"Ya siapa kek lo bawa. Temen Gyan kan banyak bawa kek salah satunya." Tiba-tiba mata Dian berbinar. "Ah! Gue jadi ingat si ganteng Marsel. Lo bawa dia aja! Ganteng tajir, Fabby mah lewaat."

"Dih, ogah! Gue nggak mau berurusan sama si penjahat kelamin itu."

"Tapi dia cowok yang masuk akal. Yang lebih segala-galanya dari Fabby."

Kavia menggeleng tegas. Bahkan Gyan melarang dirinya berdekatan dengan anak konglomerat dari keluarga Wiratama itu, saking bejadnya. Dua sahabat itu meluruhkan bahu seraya mengembuskan napas berat.

"Gue di sini aja. Biarin mereka bahagia," ucap Kavia pasrah kendati sakit di hatinya terasa makin dalam.

Dian menepuk tangan Kavia pelan. Dia prihatin dengan sahabat satu-satunya itu. "Sabar ya."

"Sebentar!"

Tiba-tiba Kavia teringat sesuatu. Dengan cepat dia melompat dari tempat tidur dan bergerak ke keranjang cucian kotor. Membuat Dian bingung melihat tingkahnya. Pasalnya Kavia saat ini malah mengaduk-ngaduk isi keranjang yang belum sempat dia bawa ke laundry.

"Ketemu!" teriaknya kemudian.

Dian sampai mengernyit melihatnya. "Apaan?"

Senyum Kavia terulas lebar sembari menunjukkan secarik sticky note pada Dian. "Mungkin ini jawaban."

Dengan cepat Dian merebut sticky note tersebut. "Nomor siapa?"

"Nomor cowok ganteng," ujar Kavia sembari mengingat pertemuannya dengan pria bernama Javas dua hari lalu di kafe Erland. "Namanya Javas."

"Serius? Siapa dia?"

Itu masalahnya. Kavia tidak tahu apa-apa tentang pria itu selain rupanya yang tampan dan penawarannya yang cukup ajaib.

"Gue nggak tau. Gue ketemu tanpa sengaja di kafe Erland di malam Fabby mutusin gue."

"Ganteng mana sama Fabby?"

"Kalau ngomongin fisik, cakep cowok itu sih. Cuma..."

"Kok ada cumanya?"

Mengalirlah cerita pertemuannya dengan pria bernama Javas itu tanpa Kavia tutupi sama sekali termasuk penawarannya.

"Aneh juga ya?" komen Dian setelah Kavia selesai cerita. "Kalau dia seganteng itu dan tajir melintir kenapa dia kayak orang putus asa nyari istri? Random banget minta lo jadi istrinya padahal baru pertama ketemu."

"Itu juga yang gue pikirkan. Lagian gila nggak sih kalau gue tiba-tiba nikah sama orang yang baru pertama gue kenal?"

"Dia nggak gay kan?"

Pertanyaan Dian membuat Kavia baru sadar akan hal itu. Benar juga. Siapa tahu ajakan menikah pria itu untuk menutupi orientasi seksnya yang menyimpang. Astaga, sayang sekali orang setampan Javas gay.

"Gue nggak tau. Menurut lo apa gue perlu hubungi dia?"

Wanita dengan postur gemoy di depan Kavia tampak berpikir. "Nggak ada salahnya dicoba. Siapa tahu dia jawabannya."

Keduanya saling melempar pandang sebelum tersenyum dan segera merapat untuk menghubungi nomor itu. Dengan hati-hati Kavia mengetik angka di layar ponselnya lantas menarik napas panjang sebelum menekan tombol calling.

Tersambung!

Dengan hati berdebar keduanya menunggu panggilan itu diangkat. Hanya dua kali nafa dering lalu....

"Halo... Dengan siapa saya bicara?"

Suara empuk itu mengudara melalui saluran ponsel milik Kavia. Dian sampai menutup mulutnya agar tidak teriak mendengar suara berat nan empuk itu.

"Halo, aku Kavia. Malam itu kita bertemu di kafe Erland."

Jeda. Pria di seberang sana tidak bersuara lagi. Mungkinkah dia tak ingat? Namun....

"Oh... Ya, kamu. Jadi? Kamu berubah pikiran untuk menerima tawaranku?"

Eh?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status