Bagian 3
Bukan kepalang bahagiaku dan Mas Yazid. Dua kantung yang berarti akan terisi oleh dua janin di dalam rahim ini. Ya Allah sungguh nikmat yang tak terduga. Berulang kali kami serempak mengucap syukur di hadapan dokter Barly. Lelaki bermasker bedah itu sampai ikut berbahagia kala mendengar cerita kami tentang perjuangan tujuh tahun ini.
Setelah selesai berkonsultasi dan mendapatkan resep dari dokter, kami memutuskan untuk menebus obat di apotek terlebih dahulu sebelum pulang. Lamanya antrean tak sama sekali membuat kami jenuh atau pun bosan. Hanya perasaan berbunga-bunga yang kami rasa berdua. Bahkan rasa lemah di badan ini tak datang barang sedetik pun.
“Mira, aku masih tidak percaya. Kita akan punya anak kembar!” Mas Yazid berbisik padaku sembari meremas jemari ini. Senyum dari pria yang rambut ikalnya sudah mu
Bagian 4Petang itu, kami berlima begitu buncah dalam haru yang bercampur bahagia. Ummi dan Abi memelukku begitu erat. Keduanya bahkan tak segan untuk menciumi pipi ini. Hangat sekali perlakuan mereka. Tak lupa, Sarfaraz yang kini kuanggap layaknya anak sendiri, juga memberikan ucapan selamat sekaligus kecupan di pipi. “Bunda, adiknya mana?” Pertanyaannya sangat polos sekali. Membuatku sangat gemas dan semakin sayang padanya. “Sabar ya, Mas Faraz. Sembilan bulan lagi adiknya akan lahir. Mas yang jagain ya nanti.” Aku menciumi pipi kanan dan kiri Sarfara yang kini tengah berada dalam gendongan Mas Yazid. “Mana bisa? Kan aku masih kecil.” Tatapan Sarfaraz seperti kebingungan. Wajahnya terlihat cemas. Kami berempat sontak ter
Bagian 5Kami berlima telah sampai di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Betul-betul surga dunia bagi aku dan Ummi. Bagaimana tidak, di gedung tujuh lantai yang menyediakan segala jenis barang kebutuhan rumah tangga sampai material bangunan atau perabot ini begitu menyilaukan mata kaum ibu-ibu. Kami bisa berkeliling ke setiap sudut dan lantai hanya untuk sekadar cuci mata atau berbelanja.Mas Yazid sampai menarik tanganku ketika kami hendak masuk ke counter perlengkapan bayi dan anak yang berada di lantai tiga. "Belum waktunya. Nanti saja beli-beli barang bayi." Begitu ujarnya. Jangan ditanya, aku langsung mengecimus akibat kecewa."Padahal kan cuma mau lihat-lihat," kataku membela diri."Nanti saja, Mira. Orang zaman dulu bilangnya pamali." Abi pun ikut buka suara."Kami kan cuma ingin lihat, Bi." Ummi menimpali. Kami berdua kini kian sehati dan sejalan. Berbeda dengan Abi yang selalu lebih pro pada anak semata wayangnya."Lebi
Bagian 6Telingaku mendengar sayup-sayup kepanikan dari seluruh anggota keluarga. Terasa tubuh ini digotong oleh Mas Yazid. Dibawa dengan langkah agak buru-buru. Aku bukannya tak sadar, tetapi tubuh ini benar-benar lemas dan sulit untuk membuka mata. “Mira, bertahanlah. Kita ke rumah sakit, ya?” Suara Mas Yazid begitu ketakutan. Kemudian suara-suara lainnya menyusul. Tubuhku terasa terguncang-guncang saat Mas Yazid membawanya entah kemana. Terdengar olehku pintu suara lift yang terbuka. Aroma jeruk dari pewangi yang dipasang dalam ruangan kecil itu pun menguar, semakin membuat perutku terasa mual. Ya Rabbi, rasanya aku tak tahan lagi. Dari mulai rasa nyeri, mual, sampai pusing, semuanya campur aduk. Aku hanya ingin rebah. Istirahat dan memejamkan mata sembari meminum obat penghilang mual dan nyeri.&
Bagian 7Di ruang rawat inap, tangis Mas Yazid dan kedua orangtuanya semakin tumpah ruah. Membuat aku seketika merasa pilu luar biasa. Bergantian mereka menciumi keningku. Memberi semangat agar aku kuat menjalani kehidupan. “Mira, Ummi sungguh menyesal. Maafkan Ummi yang sudah mengajakmu berbelanja, Sayang. Tidak Ummi duga bahwa semuanya malah seperti ini.” Lama sekali Ummi memeluk tubuhku yang terkulai lemah di atas ranjang pesakitan. Beberapa kali air mata Ummi ikut menetes pipiku. Membuat jiwa ini semakin sedih dan turut ingin menangis. “Sudah, Ummi,” liriku sembari perlahan mengangkat tangan untuk menghapus air mata beliau. “Ummi minta maaf, Sayang.” Sekali lagi Ummi memohon maaf. Bagiku, beliau sama sekali tak salah.
Bagian 8Setelah menjalani terapi dan rawat inap selama lima hari, dokter memperbolehkanku untuk pulang. Di rumah, bukan berarti aku bisa beraktifitas layaknya perempuan sehat pada umumnya. Aku diharuskan tirah baring penuh selama enam bulan ke depan. Berat? Membayangkannya saja aku sudah tak mampu. Namun, tak ada pilihan lain. Aku harus patuh terhadap advice dari dokter jika memang kondisi kesehatan ini membaik. Kedatanganku di rumah, disambut meriah oleh seluruh anggota keluarga. Kamar yang kami tempati di rumah Ummi sudah dihias dengan begitu apik penuh balon-balon helium berbentuk hati yang diikat di tiap sudut tempat tidur. Kemudian ada ucapan selamat datang dari rangkaian balon abjad warna magenta yang di tempel di dinding atas kepala ranjang. Tak lupa, cake berbentuk persegi dengan lapisan pondan warna merah jambu yang di atasnya dibentuk karakter wanita berhijab dengan perut membesar bagai ibu h
Bagian 9PoV SelaSelamat tinggal rumah reyotku di kampung. Selamat tinggal juga bapakku yang pemalas dan cuma bikin susah orang saja kerjaannya. Ah, sekarang aku sudah enak banget tinggal di sini. Walau cuma jadi babu, tapi kok rasanya nikmat sekali, ya? Rumah gedongan, wangi, bersih, bebas gerah. Belum lagi bisa nonton Youtube dan TikTok-an setiap malam abis kerja seharian. Eh, makanannya enak-enak pula. Belum lagi kalau ketiban rejeki liat yang bening-bening. Ehem, itu ... suami Mbak Mira yang kaya raja minyak dari Arab. Orangnya ganteng, badannya bagus, harum pula! Uwu banget pokoknya. Setiap aku liat dia, rasanya pengen meluk terus bawaannya. Gimana nggak betah, coba? Hidup udah kaya di dalam surga. No bau kandang ayam, no gedoran di pintu dari anak buah rentenir yang kejamnya bukan main, dan no ejekan dari kawan-kawan
Bagian 10"Sel, tolong antarkan makanan ini ke kamar Mbak Mira." Kuberi perintah pada pembantu remaja kami yang kayanya ada sedikit penyakit gatal. Entah kurap bawaan dari kampung, atau gara-gara tampak olehnya anak tunggal kami yang tampan rupawan itu, aku juga tidak paham. Namun, setiap kuawasi, gadis ini selalu saja mesem-mesem apabila sedang berhadapan dengan Yazid atau kebetulan berpapasan dengan pria yang sebentar lagi bakal jadi bapak tersebut."Siap, Mi." Sela yang awalnya tengan mengelap meja makan, langsung cepat bergegas mendatangi aku di meja pantry depan dapur. Wajahnya seperti semringah dengan binar mata yang penuh kilau. Kenapa anak ini? Dia pikir, baru kubilang dapat harta warisan apa? Kok senangnya keterlaluan begitu."Ini kan, Mi?" katanya lagi sembari membawa nampan berisi mangkuk berisi makanan untuk menantu kesayanganku."Iyalah! Masa yang di dalam wajan panas itu. Buruan!" Aku agak marah. Selain kuranh sopan, anak ini sering bertanya
Bagian 11Tak terasa, 37 minggu 5 hari sudah aku mengandung. Bukan sebuah waktu yang sebentar untuk menanti kedatangan dua sosok malaikat penghuni rahim ini. Susah senang sudah kulewati. Tangis dan tawa pun telah kenyang dijalani. Dukungan suami, kedua mertua, dan orangtua di kampung pun terus mengalir deras hingga detik ini. Syukur selalu kuucap pada Illahi yang telah membuatku merasakan nikmatnya menjadi istri sekaligus calon ibu.Rumah terasa begitu damai sejak kepergian Sela dan ibunya. Aku benar-benar lega luar biasa. Ternyata, orang yang selalu kucurigai tersebut memang menyimpan sebuah niat buruk pada kami sekeluarga. Alhamdulillah Ummi bisa cepat mengetahuinya dan segera mendepak perempuan tak benar tersebut. Pelet yang dia inginkan, nyatanya tak bekerja sampai sekarang. Mas Yazid malah semakin lengket padaku dan mencintai diri ini dengan sepenuh hati.Kebahagiaanku makin bertambah kala Ayah dan Ibu datang ke sini demi menemaniku menghadapi persalinan se