Pikiran pemuda tampan itu gelusah. Dia berdiri dengan bersedekap, jiwanya menembus waktu, mencari keberadaan sosok gadis berkemben dan berkain hijau yang sudah dianggap sebagai adik itu.Tak ada jawaban atas penglihatan batin yang baru saja dikerahkan. Sosok gadis bisu itu tetap tak tertembus. Matanya perlahan terbuka. Sorot netranya bergerak-gerak gelisah."Sekar Pandan, di mana kau, Adikku?" Raden Prana Kusuma mendesah. Terdengar ketukan dari luar jendela yang terbuka. "Raden, kau ada di dalam?" Suara halus tapi tegas seorang laki-laki bertanya. Raden Prana Kusuma menoleh pada jendela kamar. Itu suara pelayannya yang biasa mengurusi keamanan di lingkungan kediaman orang tuanya. Biasanya kepala pengawal ayahnya akan memukulkan batu pada gagang pedang setiap melewati jendela kamar junjungannya. "Ya, ada apa?"Pemuda tampan itu menyalakan damar dengan pelita kecil yang ada di meja dekat kendi air minum. Tidak lama ruangan kamar semakin
Sebelumnya aku ingin bertanya padamu, apa yang akan dilakukan seorang gadis berusia belasan warsa di tempat asing seperti rimba persilatan? Apalagi gadis itu tanpa suara." Raden Prana Kusuma menatap wajah abdinya, seolah tidak membiarkan sang pengawal menyembunyikan isi pikirannya.Ludro Gempol terkesiap. "Tanpa suara? Bisu?" Raden Prana Kusuma mengangguk. Ludro Gempol berpikir. Selama ini dia tidak pernah bertemu seorang gadis belia tanpa sanak saudara apalagi bisu berada di rimba persilatan. Namun, diam-diam dia lega. Setidaknya bukan gadis seperti yang selama ini mencuri perhatian junjungannya dengan bersikap lemah gemulai, bersolek berlebihan atau berpura-pura baik pada orang lain saat di depannya. Dia hanya gadis biasa yang tidak bisa bicara.Setidaknya tidak akan menjadi bahan untuk membangkitkan murka orang tua Raden Prana Kusuma. Jelas tidak mungkin pemuda yang banyak digandrungi para gadis cantik ini menjatuhkan pilihan pada gadis bisu itu.
Dengan langkah lebar Raden Prana Kusuma menghampiri pintu kamar lalu membuka palangnya. Dia takut, suara bibi emban akan membangunkan yang lain. Wajah seorang wanita berusia lima dasa warsa menatapnya cemas."Raden tidak apa-apa?" Mata cekung dan lebar itu memindai tubuh junjungannya dengan seksama. Tidak ingin membuat emban setianya khawatir, pemuda berdada bidang itu berkata, "Aku tidak apa-apa, Bi. Kembalilah tidur.""Tapi saya dengar ada suara benda jatuh dan orang tertawa di dalam." Bibi emban belum percaya. Terpaksa Raden Prana Kusuma menggeser tubuhnya agar bibi emban dapat melihat Ludro Gempol di dalam kamar.Mata tuanya masih bisa mengenali lelaki dalam kamar luas itu. "Rupanya kamu, to, Le. Bibi kira siapa."Ludro Gempol meringis pada bibi emban."Maaf, sudah mengganggu bibi. Kami hanya bercanda. Benar, kan, Raden?" Dia menatap Raden Prana Kusuma berharap mendapat pertolongan darinya."Ya, sudah, Raden. Bibi kembali ke kama
"Bibi, corak batik yang kau kenakan sangat cantik ...." Suaranya mengambang. Ada perasaan tidak enak terlihat di wajah cantiknya."Kenapa wajahmu kautekuk begitu, Ngger? Kau menyukai corak batik bibi? Bukankah kau sendiri pandai menciptakan corak batik yang bagus dan indah?" Alih-alih menjawab pertanyaan ibu Raden Prana Kusuma, justru dia menunduk. Nyai Ageng Swardhani mengangkat dagu lancip itu."Wajahmu sedih, Gayatri." Nyai Ageng Swardhani tidak mengerti dengan gadis yang menjadi teman putranya sejak kecil itu. "Kau bertengkar dengan Prana Kusuma?""Tidak, Bi," tukasnya. Wajah itu seketika berubah saat mendengar nama teman kecilnya disebut. Nyai Ageng Swardhani mengerti, maka dia memerintahkan satu emban untuk memanggil putranya."Bibi, kedatangan saya ke sini bukan untuk bertemu Kangmas Prana Kusuma, tapi untuk memberikan hadiah ini untuk bibi Ageng." Dayang putri Dewi Gayatri menyerahkan bungkusan kain putih pada Nyai Ageng Swardhani. Perlaha
"Nimas," desah pemuda itu serba salah."Kangmas sudah tidak menyayangiku lagi, " isaknya. Raden Prana Kusuma berdiri. Dia semakin serba salah jika gadis itu menangis. Kedua tangannya hendak menyentuh pundak halus sang putri untuk menenangkan perasaannya. Namun, tangan itu berhenti di tengah jalan lalu turun lagi. Dia tidak ingin membuat gadis yang sudah dia anggap adik itu selalu bergantung padanya. Sejak kecil hanya dia yang mampu membuat hati gadis berusia dua puluh warsa itu terhibur ketika sedih. Angin lembut berhembus dari pancuran kolam. Bau harum tubuh si gadis menyeruak penciuman Raden Prana Kusuma yang ada di belakangnya. Kata ibunya, semua perempuan di kota raja menggunakan ramuan khusus untuk merawat tubuh agar tetap halus dan harum. Bahkan setiap hari mereka akan memakan buah yang memiliki kandungan mengharumkan keringat seperti memakan buah kepel. Itulah penyebab para putri bangsawan tercium harum saat berpapasan.Secara tidak sadar, pemuda
Saat ini Sekar Pandan tidak berdaya di tangan mereka. Pedang warisan ayahnya berada di tangan Hang Dineshcarayaksa. Satu-satunya senjata yang dimiliki dan masihmelekat di tubuhnya hanyalah bubuk hijau beracun yang ada dalam tas kecil anyaman pandan."Bagaimana jika siluman akan mencelakaiku seperti yang dikatakannya?" Dia membatin."Kami bukan siluman, jadi jangan menduga yang tidak-tidak. Cepat jalan!" Sekar Pandan mempercepat langkah kakinya mengimbangi langkah Elakshi dan Bimala. Elakshi yang memiliki tubuh lebih tinggi daripada Bimala bertanya."Kemana kalian akan membawaku?""Tuanku Hang Dineshcarayaksa.""Kau yakin pedang itu milikmu?" tanya Bimala."Tentu saja. Pemilik satu-satunya pedang Sulur Naga adalah ayahku, lalu pedang itu diwariskan padaku. Mengapa kau bertanya seperti itu?" tanya Sekar Pandan tidak suka. Dia melirik Elakshi yang ada di sampingnya. Bagaimana bisa wanita ini meragukan kepemilikan Pedang Sulur Naga m
Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, gadis itu melompat ke udara lalu jungkir balik melewati kepala Bimala yang kebingungan karena tiba-tiba lawannya lenyap. Tangan Sekar Pandan bergerak cepat menghantam punggung Bimala yang masih bergeming. Gadis itu terperangah, pukulannya tidak berpengaruh pada tubuh wanita itu. Belum juga dia menyadari adanya serangan Elakshi dari belakang, perempuan itu telah mengiriminya sebuah tendangan telak menghantam punggungnya.Tubuh ramping itu menghantam tubuh Bimala yang masih ada di depannya. Sontak keduanya terlempar menatap pinggiran meja batu. Masih untung, Dewi Bunga Malam menatap tubuh Bimala kembali. Namun tidak bagi Bimala. Wanita itu meringis kesakitan karena perutnya harus berkenalan dengan pinggir meja batu yang sangat keras.Bimala jatuh berguling ke lantai gua. Dia mengerang kesakitan seraya memegangi perutnya. Elakshi mendengkus kesal melihat kawannya kesakitan tertabrak tubuh gadis yang dia serang. Kembali dia m
Dikeroyok para penghuni jurang yang berkekuatan besar membuat pertahanan Sekar Pandan mulai keteteran. Apalagi ditambah dengan serangan Bimala yang ikut maju mengeroyok. Berkali-kali tubuhnya menerima pukulan dan tendangan Bimala hingga terpental menabrak dinding jurang. Obor dan Pedang Sulur Naga di tangannya jatuh agak jauh dari tubuhnya. Kepalanya berdenyut-denyut dan berputar. Sebuah tangan mencengkram lehernya dan mengangkat tubuhnya ke atas. Cengkraman itu demikian kuat. Gadis berjuluk Dewi Bunga Malam itu gelagapan karena sulit bernapas. Urat wajahnya menegang."Kau ingin melarikan diri dari tempat ini?! Hahaha," gertak orang itu. Kedua tangan Sekar Pandan menggapai-gapai berusaha mencakar dan menendang, tapi orang yang mencekiknya seperti batu yang tidak merasakan sakit.Niatnya untuk keluar dengan selamat sangat kuat. Itu juga yang membuat tenaganya tidak surut dan semakin menyala. Diam-diam tangannya merogoh tas kecil anyaman pandan yang terik