Share

Bab 6. Gigolo Bocah!

Neil yang terbiasa menggoda wanita, begitu diberikan sebuah ciuman yang sangat mendadak dari wanita tersebut mendadak terpaku di tempatnya, tidak bisa melakukan apa pun.

"Sepertinya aku mengenal wajahmu," kata wanita itu seraya menunjuk Neil. Neil sendiri hanya mengerjapkan kedua matanya, merasa apa yang ia lihat saat ini adalah sebuah mimpi yang menjadi nyata.

"Dok?"

Dalam keadaan setengah mabuk, wanita yang ternyata Shania, pun terkejut begitu melihat wajah Neil. "Bocah? Sebentar ... kamu mengikuti aku?" tuduhnya. Shania mendorong dada bidang Neil, lalu bergegas menjauhkan diri, "Kenapa kamu memeluk aku, Bocah?"

"Ya Tuhan, siapa yang memeluk kamu? Tiba-tiba saja kamu yang langsung menciumku, Dok. Sekarang katakan padaku, kenapa kamu mabuk?" Neil merasa Tuhan sangat menyayangi dirinya, harapan selama beberapa hari ini akhirnya dikabulkan. Shania sendiri kembali duduk di trotoar, tubuh masih sempoyongan, dandanannya sendiri benar-benar berantakan, entah apa yang terjadi, Neil tidak mau menebak-nebaknya.

“Diam kamu, Bocah!”

"Hentikan, jangan memanggilku bocah. Sekarang siapa yang tampak seperti bocah, menangis meraung-raung dan duduk di trotoar seperti ini. Berdiri lah!" Neil mengulurkan satu tangannya, Shania sendiri membuang muka mengabaikan uluran tangan pemuda itu padanya.

"Wow, kau sombong sekali, Dok. Kau menangis di tepi jalan ini, kenapa?"

"Bukan urusanmu, Bocah," jawab Shania kesal.

"Hei, aku tahu kamu sedang bersedih. Jangan begitu gengsi, Dok. Katakan, siapa tahu aku bisa menjadi teman bicaramu?" sahut Neil cepat. Bertemu Shania dalam keadaan seperti ini, membuat Neil terenyuh dengan keadaan wanita itu. Tapi dia tidak bisa melakukan apa pun, sepertinya wanita itu tidak menyukainya.

"Bocah, kamu terlalu banyak bicara. Apa kamu tidak bisa menutup mulutmu walau hanya satu menit? Suasana hatiku sedang tidak nyaman!" bentak Shania pada Neil. Lalu pemuda itu dengan keras kepala memilih untuk duduk di samping Shania, lalu dia memiringkan kepala dan menatap wajah Shania

"Hm, aku akan menemanimu," kata Neil.

"Aku malas melihatmu," jawab Shania datar.

"Tapi aku tidak peduli," ucap Shania sekali lagi, bersikeras tidak ingin pergi dari samping Shania.

"Terserah."

"Well done, Dok. Kenapa wajahmu sembab seperti ini?"

"Apa aku harus menceritakan padamu?" Shania pun menoleh, lalu tatapan Neil dan dirinya saling bertemu. Tanpa diminta Neil mengangkat satu tangannya, lalu menggunakan jempol dia mengusap airmata yang membasahi pipi Shania.

"Kamu jelek saat menangis, Dok."

"Mungkin aku selalu terlihat jelek, seperti itu. Bahkan nasibku pun sangat jelek."

"Dok ...."

"Ya?"

"Kamu masih membutuhkan sandaran untuk menangis lagi?" tanya Neil, dia pun berbalik dan memunggungi Shania, "Punggungku cukup lebar, kau bisa meletakkan kepalamu di sana, lalu menangis sekencang-kencangnya. Aku tahu, masih ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatimu."

Neil tidak menyangka, bisa-bisanya ia bertemu dengan wanita yang ada di dalam pikirannya dalam situasi yang menggelikan seperti ini. Apa ada yang menyakitinya? Pikir Neil.

Shania menyandarkan pergelangan tangannya pada punggung Neil, dijadikannya bantalan bagi kepalanya, lagi-lagi ia pun menangis meraung di balik punggung Neil. Pemuda 19 tahun itu hanya bisa menarik napas panjang, merasa jika Shania yang sedang menangis itu jauh lebih bocah darinya!

"Kalau sekiranya, kamu sudah merasa lega, maka katakan saja. Kamu hanya menjadikan punggungku sebagai sandaran tempatmu menangis, jadi tidak perlu membayar apa pun padaku, free of charge, Dok," ucap Neil dengan kalimatnya yang mengada-ngada. Meski ia tahu, Shania yang sedang menangis mungkin karena masalah yang menimpanya, bukan lah urusan dirinya, tetapi entah kenapa ia tidak bisa mengabaikan wajah cantik yang sendu dengan kedua mata sembab terlihat begitu rapuh di mata Neil.

"Tidak kah kamu berpikir kita berjodoh?" kata Neil lagi.

"Diam kamu, jangan banyak bicara, aku sedang malas menanggapi celotehanmu. Kamu tidak akan mengerti rasanya diselingkuhi!" seru Shania sembari tersedu-sedu, rasanya Neil ingin tertawa tetapi ia merasa tidak tega.

"Hm, kamu boleh menangis sepuas hati, asal jangan mengotori pakaianku. Aku harus bekerja dan pakaian ini jangan sampai kotor, aku malas menggantinya." Terlihat sangat konyol saat harus berdua duduk di tepi trotoar tanpa melakukan apa-apa. sementara ada beberapa pejalan kaki yang memperhatikan mereka berdua, mungkin berpikir jika Neil telah melakukan sesuatu pada Shania.

"Kamu masih tidak mau bercerita?"

"Aku mau ke bar, mungkin sakit hatiku bisa sedikit terobati," kata Shania. Neil dibuat bingung, tadi ia bilang baru saja diselingkuhi, lalu sekarang ingin pergi ke bar? Kenapa wanita sulit sekali untuk dimengerti sih?

"Mau apa ke bar, hm?"

"Mau mencari pria tampan, mungkin? Kamu masih bocah, tidak akan mengerti apa yang orang dewasa alami. Kamu tidak akan tahu rasanya ... mencintai seseorang selama 12 tahun, mempercayainya setengah mati, ternyata dikhianati begitu saja," cerocos Shania. Ia tidak sadar saat ini sedang menumpahkan seluruh perasaannya pada Neil. Baru saja Shania menjeda kalimatnya, ia kembali menangis, Neil mengusap wajahnya dengan kasar, berharap tangisan Shania bisa segera mereda. Sumpah! Neil merasa malu!

Ia pun kembali memunggungi Shania, lalu sibuk memainkan ponselnya. Terserah mau sampai kapan Shania menangis, ia rela memberikan punggungnya sebagai sandaran wanita yang sedang patah hati itu.

"Hei, aku punya saran untukmu," kata Neil. Wanita yang kembali menangis itu pun menghentikan sejenak tangisannya dan menatap wajah Neil, "Kamu tidak percaya?"

"Saran apa?" jawab Shania. Keduanya berbicara dengan posisi tubuh yang saling memunggungi. Mereka berdua tampak seperti dua orang yang sudah begitu akrab, padahal tidak ada yang tahu, baru malam ini mereka berbicara cukup banyak.

"Balas saja dengan selingkuh. Tadi kamu memintaku mengajakmu ke klub malam, kan? Aku akan membawamu ke sana, lalu ... di sana kamu bisa memesan pria mana pun yang kamu inginkan, termasuk jika kamu ingin denganku, aku rela," kata Neil. Shania memang belum tahu, jika pemuda yang sekarang berada di dekatnya, dengan rela memberikan punggung untuk dijadikan sandaran kesedihannya, adalah seorang gigolo berkelas.

Shania memutar bola matanya dengan malas begitu mendengar celotehan Neil, tapi apa katanya tadi?

Membalas dengan selingkuh?

"Aku selingkuh juga? Dengan siapa?" tanya Shania masih belum begitu sadar, "Lalu begitu selingkuh, aku tidur denganmu, begitu?"

Sesungging senyum yang begitu lebar tersampir di wajah tampan Neil, pemuda iseng berprofesi sebagai gigolo itu tentu saja riang mendengar apa yang baru dikatakan oleh Shania, siapa yang akan menolak diajak tidur oleh seorang wanita cantik, seksi, meskipun ya ... usianya pasti jauh lebih tua.

"Aha, tepat sekali. Bagaimana? Untukmu aku bersedia repeat order, bahkan tidak perlu membayar pun ... aku rela, Dok," ucap Neil seraya tertawa.

Terdengar Shania mendesah pelan sembari menggelengkan kepala, menganggap kata-kata Neil barusan adalah lelucon, "Dari pada membayar kamu, lebih baik ... aku mencari gigolo yang jelas lebih berpengalaman dibandingkan bocah seperti kamu!"

"By the way, you're talking with the right ones, Anda tidak perlu mencari gigolo jauh-jauh. Aku juga gigolo," sahut Neil dengan percaya diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status