Aku melayang.Mulut ini tak henti meneriakkan jeritan panik dan ketakutan.Sesaat otak ku seolah berhenti berfungsi.Kejadian yang terjadi sangat cepat ini begitu sangat mengejutkan.Berikutnya, aku menggerakkan kedua tangan, reflek ingin menggapai apa saja yang bisa dijadikan pegangan. Walaupun, sejurus kemudian, aku menyadari jika itu adalah keinginan bodoh.Ketika melayang di udara seperti ini, apa yang bisa dijadikan pegangan?Aku bukan Mazdak, juga bukan Ghassan yang bisa melakukan hal ajaib seperti itu.Karenanya aku berhenti berteriak. Memutuskan untuk memejamkan mata dan berharap aku jatuh di tempat yang lunak ... sangat lunak.Berharap napasku masih ada ketika jatuh nanti. Berharap, hari ini bukan hari terakhir aku melihat langit biru di Kota Shrim.Kedua tangan ini terkepal, sedangkan otakku mengira-ira, jika saat ini terjatuh kira-kira aku akan terjatuh di mana. Di tengah jalan? Di gedung yang ada di depan tempat usahaku? Atau ...?Belum sempat pikiran panik ini selesai men
Bola cahaya yang sangat besar itu menembus cahaya cembung yang melindungi kami. Lalu, dengan cepat, bola cahaya ciptaan Mazdak itu menabrak punggung Daffar.Dan ..."Agh!" teriak Daffar tertahan.“Aaa!” Aku menjerit sekuat tenaga saat serangan yang tepat mengenai punggung Daffar itu menghasilkan getaran seperti yang kurasakan ketika pesawat yang kutumpangi mengalami turbulensi karena menabrak awan.Aku memejamkan mata menahan goncangan itu. Tangan ini dengan erat memeluk Daffar.Ah ....Meskipun aku terpejam, aku tahu dengan pasti, saat ini aku dan Daffar sedang melayang ke udara.Kami berdua terpental akibat tenaga hentakan bola cahaya Mazdak setelah efek getaran itu menghilang.Sepertinya, hentakan ini dihasilkan dari daya ledak bola cahaya itu.Tubuhku tegang dan kaku.Otak dan jantung ini seolah kembali mendapatkan serangan keduanya.Aku kembali pasrah dan berharap jatuh ke tempat yang lunak dan aku mengharakan hal yang sama untuk Daffar.“Paradise!!!” seru Daffar tiba-tiba.Ia se
Aku menatap Daffar dengan mata membulat penuh.Laki-laki guanteng itu mengangguk dengan wajah tenang menanggapi keterkejutanku.“Maksudnya gelembung?” kejarku melepas kekepoan.“Ya, gelembung. Seperti gelembung biasa yang Kamu lihat di dunia nyata. Hanya saja, gelembung berukuran sangat besar dan memuat satu lanskap pemandangan indah berikut dengan segala isinya,” jelas Daffar ringan.“Hem ... mungkinkah?” sahutku tak percaya.Daffar tersenyum lebar.“Jika Kamu sudah kuat berjalan, bergeraklah ke tepi sebelah sana!” tunjuk Daffar pada satu sudut yang ada di hamparan rumput yang luas ini.Benarkah?Aku nggak percaya.Tapi, tak urung, aku berusaha berdiri, lalu setelah memastikan tubuh ini berdiri dengan tegak, aku berjalan dengan pelan ke arah yang tadi ditunjuk Daffar.Beberapa langkah kemudian aku sampai di satu titik.Eh?!Di titik ini aku merasakan percikan air yang sangat halus menerpa wajah.Mata ini memandang satu tabir bening yang seperti berasal dari air, tapi ia juga bening d
Daffar yang baru saja menjebloskan kepalanya ke lubang leher t-shirt sejenak menghentikan gerakannya. Laki-laki itu hanya memandang lurus ke depan tanpa terlihat berniat menoleh ke arahku.“Daffar,” panggilku menuntut jawabannya dengan halus.“Hem ... ya ... sedikit berbeda,” jawabnya pendek.Aku menangkap nada enggan dalam suaranya.“Bedanya apa?” desakku nggak mau tahu, mengabaikan keengganan yang samar tertangkap.“Iya ... lebih beda. Em ... mungkin sedikit lebih mirip denganmu, walaupun sampai sekarang, aku juga nggak tahu Kamu jenis manusia seperti apa,” jelasnya mengambang.Aku mengeluh pelan.“Lalu gimana aku bisa membandingkan dengan diriku sendiri, jika aku nggak tahu aku ini seperti apa? Yang kutahu, aku juga seperti manusia lain, seperti penduduk Shrim yang lain,” sahutku agak kesal.Daffar mengedikkan dua bahunya.“Saat ini, aku nggak tahu bagaimana harus menjelaskan jenisku pada mu, tapi yang jelas, Kamu bukan manusia biasa, Kamu beda dengan penduduk Shrim lainnya,” tegas
“Itu bukan pertanyaan karena si penanya sudah tahu dengan jelas jawaban apa bakal didengar!” seruku sewot.Daffar tersenyum menyeringai.Aku kembali mengelap kaca yang tinggal sedikit lagi selesai.Sejurus kemudian aku mendeteksi pergerakan dari arah meja Daffar.Laki-laki itu beranjak dan berjalan mendekat ke arahku. Lalu, ia berhenti tepat di belakangku dan mengambil paksa lap kaca yang ada di tangan kananku.“Itulah kenapa kutanya,” ucapnya pelan sambil mengelap kaca bagian paling atas.“Menurutku, untuk sementara waktu, Kamu harus pergi dari tempat ini. Setidaknya sampai aku kembali dari Anbar untuk bernegosiasi dengan Ghassan,” sambungnya tanpa menoleh ke arahku.Aku melongo.Semengkhawatirkan itukah keadaanku?Laki-laki itu mengembalikan lap kaca ketika selesai membantuku, lalu ia meletakkan kedua telapak tangannya di bahuku. Lalu, dengan lembut, ia membalikkan badanku seratus delapan puluh derajat. Kemudian, ia mendorongku ke mejanya dengan pelan.“Nah! Duduklah!” pintanya keti
Tapi, ingat!Jangan terlena!Bahaya yang mengancam itu juga nyata!Capung besi ini mulai terangkat dari lantai rooftop. Lalu, kontrol kendali dalam tangan Daffar yang menyerupai joystick itu membuat helikopter ini bergerak menyerong, lalu melesat menjauhi gedung di mana penthouse berada.Wah ...!Sekali lagi aku merasa berada dalam sebuah toples bening raksasa yang bisa terbang. Dari sini pemandangan kota Shrim yang padat terlihat dengan jelas.“Ternyata begini Kota Shrim jika dilihat dari atas,” gumamku pada diri sendiri.Daffar terkekeh.Aku nggak mempedulikan kekehannya, mata ini terus meraup dengan rakus pemandangan yang baru pertama kalinya kulihat dalam hidup ini.Sesaat ada satu pikiran yang melintas dengan sangat cepat dalam pikiran.Sepertinya, sejak bertemu dengan Daffar, selain terjadi keanehan-keanehan itu, tapi aku merasa ada sesuatu yang istimewa tentang bagaimana ia memperlakukanku.Em ... benar juga yang dikatakan Amora. Pantasan saja gadis itu cemburu setengah mampus.
Daffar mengangguk.“Aku nggak tahu gimana prosesnya atau apa yang terjadi sesungguhnya dengan bayi ini, yang aku tahu, ketika itu, begitu ia lahir, Penjaga Agung Anbar langsung menurunkan perintah untuk melenyapkan bayi manusia ini,” imbuh Daffar datar.Aku hanya ber-oh panjang.“Sebentar lagi kita akan mendarat,” infonya kemudian.Laki-laki ini menunjuk satu tempat yang berjarak sekitar satu kilometer dari bekas tempat kelahiran bayi Darah Malaikat itu.Sebuah rumah di pinggir danau kecil yang sangat indah terlihat menyendiri di tengah rimbun pepohonan. Rumah bercat putih itu seakan menjadi bangunan yang paling bersemangat di antara bangunan-bangunan lain yang berada di sekitar kota Sahm ini.Beberapa saat kemudian, helikopter dengan kanopi gelembung sabun ini mendarat di dekat rumah itu.Dan setelah landing dengan sempurna, aku dibawa ke rumah satu tingkat bercat putih itu.Sepasang laki-laki dan wanita yang berambut putih menyambut kedatangan kami. Mereka diperkenalkan sebagai dua
Sepasang suami istri yang telah lanjut itu mengangguk-angguk dengan semangat. Bahkan, istrinya, dengan cepat, menarik kursi, kemudian duduk di sampingku.“Memang kalau diperhatikan dengan baik, tidak sama persis, tapi saya yakin, ada separo wajah dari orang itu ada wajahmu,” lanjut laki-laki itu dengan sekilas memandang istrinya.Wanita yang kini di sampingku ini mengangguk-angguk setuju.“Oh ya?” Aku makin tertarik.“Di mana kalian bertemu dia?” kejarku makin penasaran.Sesaat mereka menunduk menyembunyikan sorot mata penuh kesedihan.“Dia ikut menjadi korban bersama tempat yang dihancurkan itu,” jelas laki-laki itu dengan sedih.Hah!Aku membelalakkan mata.“Kalian yakin?” tanyaku menegaskan.Mereka berdua mengangguk.“Dia adalah tetanggaku, rumahnya berjarak beberapa rumah dari rumahku yang juga ikut hancur. Dia dan suaminya adalah orang yang sangat baik di lingkungan ini,” celetuk sang istri setelah dari tadi hanya mendukung cerita suaminya dengan mengangguk-angguk.“Orang ini ada