Aku memejamkan mata dan kembali bisa mendeteksi suara dan pergerakan makhluk yang hidup dalam selubung kegelapan Anbar.Kali ini, aku menggunakan kekuatan dalam tubuh untuk menembus selubung gaib kekuatan kegelapan dalam tubuh Daffar ini.Beberapa saat kemudian, aku merasa berada dalam satu hamparan luas nir cahaya, gelap gulita, sampai aku nggak bisa melihat tanganku sendiri.Tapi, dalam kegelapan ini aku menyadari ada sesuatu yang bergerak mendekat ke arahku. Sesuatu itu seperti dengan tepat dapat mendeteksi keberadaanku yang menyusup tanpa izin ke daerah kekuasaannya.Aku menahan napas, jantung ini mulai berdebar-debar.Gimana nggak? Saat ini tubuhku seolah berdiri di dalam kegelapan dan sesuatu yang kuhadapi ini bisa melihatku dengan jelas. Aku merasa seperti mangsa yang segera akan diterkam predator.“Plak! Plak!”Telinga ini menangkap bunyi yang dihasilkan dari satu tangan atau kaki yang menapak pada lantai semen.Apa di hamparan gelap ini ada lantai? Apa tanah yang kupijak ini
Daffar yang sedang dikuasai bagian dirinya yang berasal dari kegelapan itu meraung dengan keras.Egh!Kekuatan dalam tubuh Daffar seolah makin meningkat, cengkeramannya tambah kuat.Makhluk itu mengamuk.Tangannya yang lain mengayun dengan telapak tangan membentuk cakar yang hendak mencengkeram kepalaku.Seketika ada sesuatu dalam tubuhku yang mendadak memancar dan mengalir melalui tangan yang sedang mencengkeram dada Daffar.Mungkin kekuatan itu muncul otomatis karena fisikku terancam.Kekuatan yang meletup tanpa kupanggil itu mengalirkan hawa sejuk di tangan dan keluar melalui telapak tangan.Kekuatan dari tubuhku itu seperti mengeluarkan aliran listrik yang menyentak jantung Daffar.Cakar Daffar yang nyaris menyentuh wajah ini seketika berhenti.Kekuatan itu terus melecut jantung Daffar. Lalu, beberapa detik kemudian, cengkeraman tangan Daffar di bagian belakang kepala ini makin melemah.“Phuh ...,” embus panjang napasku begitu tangan itu tak lagi mencengkeram leher.Sambil menatap
Daffar mengangguk tanpa ragu.“Oke, siap-siap dengar ceritaku ya,” ucapku pelan.“Tadi malam matamu bukan hanya berubah hitam dan memancarkan sorot hawa dingin, Tapi Kamu juga mencengkeram bagian belakang leherku dan membuatku kesakitan,” kisahku singkat.Daffar terperangah, matanya membelalak dengan mulut terbuka. Tapi ekspresi tersebut hanya sesaat karena sejurus kemudian ia terkekeh pendek.Ekspresi wajahnya kini terlihat tak percaya.“Apapun yang terjadi, Kamu tahu aku nggak akan melakukan itu padamu, Anneth,” komentar Daffar enteng.Aku menatapnya lekat.Tentu saja ia tak menyadari dan merasakan itu, raganya benar-benar diambil alih oleh makhluk kegelapan dalam dirinya.Aku tersenyum lembut, menyadari bahwa apapun yang akan kukatakan, kemungkinan besar laki-laki yang masih melihatku dengan ekspresi tak percaya ini akan mengingkari fakta itu.“Ya, aku percaya itu, Daffar. Jika itu dirimu sendiri, tentu nggak akan melakukan sesuatu yang membuatku sakit,” ucapku mendukungnya.Aku me
Daffar menoleh dan menatapku dengan sedih.“Nggak usah pasang muka sedih gitu!” saranku sambil menyertakan senyum.“Jangan dipikirkan sekarang! Kalau cara itu ada, mungkin satu ketika, cara itu akan muncul ke permukaan,” ujarku untuk menenangkannya.Daffar memaksakan sebuah senyum.Ini kali pertama aku melihat senyum Daffar tak mengandung pemanis. Sepertinya video itu merusak moodnya.“Udah! Hari ini apa rencananya? Em ... ayo jalan-jalan lagi aja! Kemarin, kita sudah menjelajah bagian selatan rumah ini, masih ada bagian lain yang belum kita kunjungi,” ujarku mengalihkan pikirannya.Daffar mengangguk, tersenyum, lalu menyelesaikan sarapannya.Waktu berlalu.Setelah seharian menjelajah daerah dengan pemandangan indah ini, kami berdua pulang.Aku membersihkan diri karena berada di luar seharian membuat tubuh ini sangat lengket. Dan ketika, aku selesai membersihkan diri dan keluar kamar, aku berpapasan dengan Daffar yang masuk ke kamarnya sambil mencium-cium T-shirtnya yang kotor.“Annet
Laki-laki berjanggut putih dari Anbar itu menurunkan satu tangannya. Tapi, tangan kanannya tetap berada di atas. Lalu, tangan kanan itu menunjuk bola api yang menyala itu.Bola api itu bergerak di ujung telunjuk laki-laki itu.“Benteng Ardasyr!” perintahnya pada bola api yang berkobar-kobar itu.Hah?!Tiba-tiba bola api melesat ke arah benteng gaib Ardasyr.“Duarr!”Ledakan yang sangat keras terdengar.Benteng Ardasyr jebol.Getar serangan bola api itu menyebar sampai tanah yang sedang kupijak.Aku melihat kepanikan di wajah orang-orang Ardasyr.“Agh!” jeritku tertahan.Tiba-tiba ada sesuatu yang seolah menarik tubuh ini mendekat dengan gerakan yang sangat cepat ke arah laki-laki berjanggut putih dari Anbar itu dan-“Blas!”Tubuhku seolah masuk dalam tubuh laki-laki yang kuketahui sebagai salah satu penyihir tinggi Anbar ini.Hah?!Mendadak aku bisa melihat apa yang dia lihat. Aku seperti sedang menempati matanya, menunggangi pandangannya.Laki-laki tua ini tertawa dengan puas begitu
Benteng gaib Ardasyr yang telah berlubang itu kembali bergetar. Pun tanah yang kupijak. Getaran ini begitu besar sampai seolah merambat ke ubun-ubunku.Aku merasakan efek seperti kesemutan di seluruh tubuh. Lalu, aku berdiri dengan berusaha menyembangkan posisi. Kemudian, efek getaran itu pelan-pelan lenyap.Namun, di waktu tubuhku kembali normal, tiba-tiba pandangan mata ini menangkap satu pemandangan yang merisaukan.Pandangan mata ini seolah kembali berkelana ke pusat titik Anbar, gedung utama yang disakralkan itu.Di puncak kubah, patung hitam bergerak yang hidup itu seolah sedang menyimak dengan cermat apa yang terjadi dalam kubah.Pandanganku bergeser ke bawah dan berhasil menembus ruang tertinggi gedung sakral Anbar itu.Aku membelalak penuh kengerian, karena saat itu, dalam ruang tertinggi itu, ada gambaranku yang sedang menatap ke dalam Isar.Bukan ... bukan ketika aku menatap sosok anak laki-laki berumur delapan tahun yang meringkuk di lubang kegelapan yang ada di bawah Isar
Aku gugup, tubuh ini tegang, sedang telapak tangan ini mulai mengeluarkan keringat.“Daffar,” panggilku lirih, sangat lirih dan mungkin ia tak begitu mendengar suaraku dengan jelas.Daffar berjalan mendekat ke arahku, sedang mata ini mengikuti gerak benang hidup itu.Seperti sebelumnya, wujud fisik dari ular yang hidup dalam selubung itu berjalan ke dada Daffar, membentuk jalinan rumit dan berakhir dengan wujud bintang, yang akan menyala dan kemudian pudar.Aku kembali menyaksikan tahap-tahap itu sampai akhirnya benang hidup itu berjalan ke punggung Daffar.“Ada apa, Sayang?” tanya Daffar yang mungkin melihat ekspresi wajah ini pucat pasi.“Daffar,” ulangku sambil di otak ini mencari tipu muslihat untuk membuat tugas itu segera terlaksana.Apa mungkin setelah ini aku akan di tidur di penjara Shrim karena telah melakukan pembunuhan?Sekilas pikiran ini melintas.Tapi, aku segera mengabaikannya begitu pandangan kedua yang menampilkan badai api di kancah peperangan tanah perbatasan itu m
Aku memandang wajah Daffar yang terlihat sangat tenang, matanya terpejam, di bibirnya membayang senyum samar.Aku melihat ke arah dadanya, lalu dengan sangat pelan, meletakkan telapak tangan di atasnya.Kira-kira di sini aku harus menancapkan belati dua dimensi itu.“Daffar, aku ingin Kamu ingat apa yang aku ucapkan barusan, oke? Ulang-ulang itu dalam benakmu, bahwa aku menyayangimu!” ucapku dengan penuh penekanan.Daffar mengangguk dengan sangat pelan, dan satu senyum menghiasi bibirnya.Jantungku berdetak kian tak terkendali. Detaknya seperti mengamuk dan hendak keluar dari lintasan normal.Dengan sangat pelan, aku mengangkat telapak tangan, lalu menghentikannya dua jengkal di atas dada Daffar."Aku memanggilmu, keluarlah!" ucapku dalam hati dan melafalkannya tanpa suara.Aku memberi perintah pada belati dua dimensi yang bersarang di dalam tangan ini dengan tubuh yang mulai gemetar.Ayo beranikan dirimu, Anneth! Bulatkan tekad dan kumpulkan serpihan nekad yang ada dalam dirimu!Aku