"Uda, itu SMA Nda!" tunjuk Dinda sambil menepuk punggung Fahri yang sedang mengendarai motor tua peninggalan ayah Dinda. "Nggak nanya," ketus Fahri, walaupun ia sempat sekilas menoleh ke arah bangunan yang dikelilingi pohon flamboyan yang tengah berbunga. Warna oranye dari bunga yang tengah mekar terlihat kontras di tengah kabut yang masih menggantung pagi itu. "Ini Nda juga ngasih info, jadi nggak butuh Uda nanya," sahut Dinda dengan santai. Fahri mendengkus, ia masih kesal karena Dinda memaksanya ke luar rumah menggunakan sepeda motor tua milik ayah Dinda. Padahal Fahri enggan mengendarai sepeda motor di udara yang dingin pagi itu. "Biar dilihat orang mesra, Uda. Kan kita pengantin baru," alasan Dinda sebelum mereka berangkat tadi. "Apanya yang mesra, mana nggak bisa dibawa ngebut gini," rutuk Fahri yang merasa kesal dengan laju motor yang agak tersendat-sendat karena tidak pernah diservis itu. Lalu tiba-tiba Dinda memeluk dan menempelkan kepalanya di punggung Fahri dengan ter
"Eh, Uda. Kenapa balik lagi? Kangen ya pisah dari istrinya?" goda Dinda dengan cengiran lebar. Cara Dinda mencandai suaminya, membuat Gibran iri. Padahal dia yang semenjak dulu mengharapkan Dinda menjadi pendampingnya, tetapi malah lelaki yang—bahkan menyebut namanya saja salah pada saat menjawab ijab—yang memiliki Dinda. Gibran bukan lelaki munafik yang akan mengatakan "Aku bahagia melihat kau bahagia." Bagi Gibran, kebahagiaannya adalah ketika bisa menjadikan Dinda sebagai pendampingnya. Namun, apa daya, takdir menikungnya dengan tak berperasaan. "Naik!" Fahri memberi kode ke jok penumpang di belakangnya. "Nda, pergi dulu ya, Uda. Sampai ketemu lagi kapan-kapan. Jangan lama-lama galaunya," ucap Dinda sambil melambaikan tangan dan berlari ke arah Fahri yang menunggu dengan wajah cemberut di seberang jalan. "Suaminya dibikin kesal, malah cengengesan sama laki-laki lain," sungut Fahri ketika mereka telah kembali berkendara berdua. Meninggalkan Gibran yang masih termangu menatap ke
"Nda, kata umi nanti kita harus keliling silaturahmi ke rumah sepupu-sepupu Umi sebelum balik ke Bandung," tukas Fahri ketika mereka sudah di perjalanan pulang. Dinda yang baru saja beristirahat sejenak dari celotehan memperkenalkan beberapa tempat di kota kelahirannya bak tour guide, melongokkan kepala ke depan untuk melihat ekspresi Fahri lebih dekat. "Kapan umi bilang begitu?""Barusan nge-wa aku. Katanya wa ke kamu dari pagi nggak dibalas telpon juga nggak diangkat.""Oh, Nda kan nggak bawa hp. Biar Nda bisa fokus ke Uda dan kita bisa quality time." Dinda kembali cengengesan. "Pret! Quality time apaan!" Fahri mencebik. "Berhubung kita menikah karena dijodohkan, kita harus menciptakan bonding dan chemistry, biar pernikahan kita beneran bisa saling mencintai dan tercipta keluarga sakinah mawadah wa rahmah," celoteh Dinda mengabaikan cibiran suaminya. "Iya Mamah Dedeh!"Selama di perjalanan, telinga Fahri terasa pengang karena mendengar celotehan Dinda yang tiada henti. Fahri ba
Setelah berkeliling ke beberapa rumah karib kerabat dekat mereka, kini Fahri dan Dinda mengunjungi rumah terakhir, salah seorang sepupu ibu Fahri dari pihak ibunya, yang juga merupakan saudara Dinda dari pihak ayahnya. "Eh, pengantin baru ... mari masuk." Seorang perempuan paruh baya, berwajah mirip pemeran ibu judes di beberapa sinetron, menyambut mereka. "Mau minum apa?" tanya perempuan yang biasa disapa Tek Anis itu oleh Fahri dan Dinda, yang juga merupakan istri dari paman mereka. "Nggak usah repot-repot, Tek. Nda ke sini cuma mau menyampaikan pesan dari umi dan ibu." Dinda menyodorkan bingkisan yang sudah disiapkan oleh ibunya pada Anis. Anis urung meninggalkan pasangan pengantin baru itu. "Oh, iyo ... terima kasih, ya," ucapnya dengan senyum yang terlihat dibuat-buat. "Om mana, Tek?" tanya Dinda berbasa-basi saat mendudukkan dirinya di sofa rumah yang cukup mewah itu. "Oh, Om lagi ngawasin panen, mungkin baru sore baliknya."Dinda hanya membalas dengan ber-oh ria. "Berunt
Setelah perdebatan kecil yang terjadi saat mereka di perjalanan pulang, baik Dinda maupun Fahri, tak mempunyai waktu untuk bicara berdua dan menyelesaikan pertengkaran begitu mereka sampai di rumah. Mereka kembali disibukkan dengan menemui kerabat yang masih berdatangan untuk mengucapkan selamat atas pernikahan mereka. Hanya sesekali, Dinda dan Fahri bertemu mata. Namun, Dinda memilih untuk menghindar. Biasanya Dinda lebih mudah untuk kembali bersikap biasa, tetapi kali ini ada canggung yang ia rasakan saat bersitatap dengan Fahri. Satu hal yang Dinda tangkap dari kalimat tajam yang diucapkan Fahri saat diperjalanan tadi adalah, ia hanya pelarian dari patah hati yang Fahri rasakan. Dinda paham, efek rasa kehilangan dan dicampakkan yang dirasakan Fahri tak akan bisa disembuhkan dalam waktu semalam. Kondisi psikologis Fahri sedang tidak baik, tetapi Dinda masih saja merasakan sedikit perih ketika mengingat kalimat yang diucapkan Fahri di perjalanan tadi. Rasa lelah baru Dinda rasakan
Setelah seminggu berada di kampung, pasangan suami istri itu harus kembali ke kota kediaman Fahri. Pesta ternyata masih belum usai, masih ada resepsi ngunduh mantu yang diadakan Emi di kota kembang, kota di mana Fahri dibesarkan. Resepsi yang digelar Emi ternyata tak kalah besar dengan resepsi yang mereka adakan di kampung. Bahkan resepsi kali ini diadakan di ballroom sebuah hotel. Tentu saja, karena tamu undangan pada resepsi kali ini adalah kolega bisnis Emi dan Fahri. Meskipun sahabat kampret Fahri sudah menghadiri acara resepsi yang digelar di kampung, tetapi kali ini mereka tetap datang untuk merayakan kembali masa melepas lajang sahabat mereka."Selamat ya, kalian. Semoga lekas berkembang biak." Dony yang tidak menghadiri acara akad nikah kedua mempelai itu mengucapkan selamat."Njir! Berkembang biak pisan!" Fahri tergelak mendengar kalimat yang dilontarkan Dony. "Ri! Aya (ada) mantan!" Gustaf yang turut menemani Dony ke panggung pelaminan, menyikut Fahri yang masih cengenges
"Nda," panggil Fahri pelan. Dinda yang tengah menekuri ponsel, mendongak menatap Fahri yang baru saja keluar dari kamar mandi. Aroma sabun khas hotel menguar dari tubuhnya yang hanya berbalut handuk. Butuh beberapa detik untuk Dinda menyadari, sebelum ia mendadak panik, melempar ponsel, dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Uda pakai baju dulu, ih!" seru Dinda dari balik telapak tangannya. "Kenapa masih kaku gitu, sih? Kan kamu udah halal ngeliat aku kayak gini." Fahri yang tadinya berinisiatif hendak meminta maaf perihal kejadian di ballroom tadi, mendadak terkekeh-kekeh melihat Dinda menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan. "Uda senang, ya, kalau Nda kena serangan jantung?" Dinda makin menenggelamkan wajahnya di balik telapak tangan. Pipinya mendadak terasa panas. Fahri masih terkekeh saat ia mengatakan, "Kita senam jantung aja, yuk!" Lalu dengan santainya, duduk di samping Dinda dan menarik tangan perempuan yang malah memejamkan matanya erat-erat itu. "Uda m
Dinda perempuan yang kuat. Ia mulai terbiasa dengan kata pedas yang sering dilontarkan Fahri. Keceriaan selalu ia tunjukkan, terlebih lagi saat melayani suaminya itu. Meskipun kebiasaannya menjawab perkataan Fahri dengan kalimat asal, belum juga hilang. Setelah menikah, Fahri memboyong Dinda pindah ke rumah yang terletak di pinggiran kota Jakarta, sesuai dengan kesepakatan sebelum mereka menikah. Rumah tersebut pemberian Emi—uminya Fahri—yang bersikeras membelikan mereka rumah sebagai hadiah untuk pernikahan Fahri dan Dinda. Bahkan Emi menyerahkan tanggung jawab pengelolaan show room mobil milik keluarga mereka di bawah kepemimpinan Fahri. Dinda perempuan yang beruntung. Begitu kata orang-orang. Mempunyai suami berwajah tampan, hidup mapan, dan mertua yang sangat menyayangi. Kehidupannya terlihat begitu sempurna dari luar, tanpa ada yang yang tau bahwa diam-diam Dinda masih saja memendam rasa rendah diri dan tak dihargai oleh suami sendiri. Semenjak mereka pindah, Fahri mulai disib