“Elsa, jangan ngambek kayak anak kecillah. Kita ini sudah sama-sama dewasa dan pernah merasakan yang namanya berumah tangga. Kalau sedikit masalah langsung memutuskan sebelah pihak, bagaimana rumah tangga nantinya bisa bertahan lama?” cecarku. Aku mengerjar Elsa dan Cici yang sudah keluar kafe.“Kalau aku yang melakukan kesalahan kayak hal tadi, apakah kamu akan menerimanya? Kamu tidak marah dan berburuk sangka?” cibirnya.Aku terdiam beberapa saat. Membayangkan hal yang sama dengan yang dikatakan Elsa. Aku juga mungkin akan salah sangka dan cemburu jika melihat Elsa dekat dengan laki-laki lain, apalagi sampai bersentuhan tangan.“Aku minta maaf jika itu salah menurutmu, El.”“Ya, memang salah. Dan aku yakin, kamu tak akan jujur jika tak ada bukti tadi,” cetusnya.“Maafkan aku, El. Aku memang salah, tapi yang jelas kami bukan sepasang suami istri. Makanya biar tak makin ruyam, tolong dengarkan dulu penjelasanku.”“Hmm, baiklah. Katakan sekarang juga.”Aku menarik napas dalam saat men
Aku mengurungkan niat untuk masuk dan menjenguk Elsa. Buat apa lagi aku masuk? Hanya akan membuat hati ini terluka. Dia tidak sakit, melainkan sedang tertawa senang bersama dengan seorang laki-laki. Mungkin itu kekasihnya. Ah, mungkin kami memang ditakdirkan tidak berjodoh.Kuhela napas panjang dan membalikkan badan. Namun, di saat yang bersamaan, pintu berderit dan cahaya lampu dari dalam rumah menyorot punggungku.“Hei siapa kamu? Mau bertamu atau maling?” cecar seorang perempuan, tapi kuyakin itu bukan Elsa. Terjadilah kegaduhan dari dalam. Aku jadi dilema, apakah mau pergi atau di sini saja. Kebimbanganku terjadi karena dicurigai maling dan mengetahui kenyataan baru juga kalau ada Elsa tidak berdua saja di rumah itu.“Aku bukan maling kok,” balasku pada wanita tadi. Kutaksir, dia seumuran dengan Elsa. Dia sudah memegang gagang sapu dan mengacungkannya ke atas. Kalau aku lari, dia bisa teriak nanti dan terjadi salah paham.“Mas Delon? Ngapain ke sini?” Elsa keluar disusul seorang l
“Jangan tegang begitu, Delon. Aku bercanda kok.” Wina tertawa terpingkal-pingkal dan menepuk lenganku. Ah, aku lupa kalau dia sebenarnya humoris. Namun, aku tadi melihatnya begitu serius hingga mengira apa yang dia katakan memang dari hatinya.“Aku senang kalau kamu dapat calon istri yang baik. Gara-gara kita sempat berteman baik, aku jadi tambah beruntung karena bisa dibantu sama Mbak Elsa juga,” lanjutnya.Aku menarik napas lega dan tersenyum tipis. “Kamu memang jago banget bikin senam jantung. Udah ah, aku juga mau keluar dulu. Mau pamit sama ibu kos.”Kutinggalkan Wina dan berbicara sebentar dengan ibu kos. Dia sempat mau mengembalikan uang yang sudah kubayar untuk satu bulan, tapi kutolak.“Ibu sudah baik sekali pada Wina dan dia pindah bukan karena diusir. Jadi, gak apa-apa, simpan saja uangnya, Bu. Aku ikhlas kok.”“Makasih kalau begitu, Mas. Jaga baik-baik temannya, ya. Semoga keadaannya makin membaik kalau sudah pindah dan sering diperiksakan ke dokter.”“Iya, Bu. Makasih ba
Hari tambah hari, berat badan Wina makin naik. Tidak hanya perutnya saja yang buncit, tapi tangan dan kaki tidak kerempengan seperti sebelumnya. Selain faktor makanan dan juga kontrol rutin, mungkin karena dia lebih bahagia juga sekarang. Elsa benar-benar perhatian padanya sehingga Wina seperti mendapatkan sosok seorang ibu yang sangat menyayanginya.Elsa pun tak pernah mengeluhkan apa-apa tentang Wina. Dia dengan senang hati dan ikhlas merawat wanita hamil itu tanpa paksaan. Selain karena kasihan, dia juga senang dengan wanita hamil. Soalnya, selama beberapa tahun berumah tangga dengan mantan suaminya, Elsa belum pernah merasakan bagaimana mengalami kehamilan.Sebelumnya aku sudah merencanakan untuk menemui orang tua Elsa supaya membahas hubungan kami. Papa terus mendesak agar aku melamar Elsa secara resmi. Namun, wanita yang kucintai mengundurkan waktunya dengan alasan dia ingin menunggu Wina lahiran dulu.“Setelah kita menikah, tentu akan serumah, Mas. Lalu bagaimana dengan Wina? S
Setelah Wina lahiran, aku mengontrak rumah untuknya. Dia mandiri juga mengurus bayinya. Namun, meskipun begitu, aku tetap mencari orang untuk membantunya. Hari ini aku dan Elsa menjenguk Wina dan bayinya untuk memastikan semua baik-baik saja.“Aku ada kabar buruk sekaligus baik,” ujar Wina.“Apa, Win?” tanya Elsa.“Kabar buruknya, anakku sudah yatim. Namun, aku bahagia karena akhirnya terlepas dari lelaki itu tanpa harus ketakutan lagi dia kejar-kejar. Mantan suamiku sudah meninggal karena kecelakaan. Aku baru lihat berita online-nya.”Aku dan Elsa berpandangan. Jujur saja, aku juga tak tahu mau bilang selamat atau sedih. Aku prihatin karena anak yang baru lahir itu tak punya ayah lagi, tapi di lain sisi Wina akhirnya terbebas dari lelaki kejam itu.“Mungkin ini yang terbaik buat kalian, Win. Lagian, meskipun mantan suamimu masih hidup, Reza tak bisa menuntut apa-apa pada bapaknya. Kamu dan mantan suamimu hanya nikah siri dan tidak tercatat dalam dokumen negara. Kamu sebagai ibu harus
Adakah laki-laki paling malang di dunia ini selain aku? Tak bisakah pintu taubat mengubah nasibku? Ya Allah, aku tahu, diri ini adalah manusia bejat di masa lalu. Namun, aku sudah lama menjauhi maksiat. Apakah pendosa sepertiku tak berhak dapat jodoh di dunia ini lagi?Tak terasa, air mata menetes begitu saja. Mungkin benarlah kata orang bijak kalau kita tak pantas menggantungkan harapan pada manusia. Sepercaya apapun kita, tetap saja harus bersiap akan kecewa. Segala kemungkina buruk itu pasti ada dan kini aku mengalaminya.Elsa, wanita yang selama ini jadi idaman hatiku. Kecocokan kami hampir seratus persen. Tak ada keluhan berarti tentangnya dalam hatiku. Dia nyaris sempurna bagiku untuk dijadikan pendamping hidup. Namun, siapa yang tega menghancurkan mimpiku? Siapa yang mengirim pesan pada Elsa kalau aku punya penyakit HIV? Ini pasti ulah orang-orang terdekatku, atau para wanita yang pernah hadir dalam hidupku. Aku lumayan banyak dekat dengan wanita, lalu mereka memilih pergi kare
“Yang sabar, ya, Mas. Suatu saat kamu akan dapat pengganti yang lebih baik. Mungkin Mbak Elsa bukan jodoh yang terbaik buat Mas Delon,” ujar Wina. Ucapannya kelihatan tulus. Mungkin senyumannya tadi bukan bermaksud bahagia di atas penderitaanku.“Iya, kalau gitu aku pulang dulu, ya. Kamu juga pasti butuh istirahat banyak.”“Kok cepat banget pulangnya? Padahal baru nyampe loh.”“Besok aku bisa datang lagi, yang penting sudah ketemu sama Reza. Gak enak juga dilihat tetangga kalau aku bertandang ke sini malam-malam,” tukasku.“Terima kasih kalau begitu karena sudah berkunjung. Semoga hatimu baik-baik saja, ya, Mas.”Aku mengangguk, menyentuh pipi bocah menggemaskan yang sudah tertidur, lalu pulang. tak langsung ke kafe yang merangkap tempat tinggalku. Untuk menghilangkan suntuk, aku pergi ke taman kota, duduk di bangku besi yang tersedia. Cuaca lagi bagus dan di langit sedang banyak bintang menghiasi.“Tolong! Tolong lepasin aku!”Suara teriakan wanita membuatku langsung mengedarkan pand
“Mas, kenapa melamun terus? Mau dibuatkan minum?” Delima mengagetkanku, membuyarkan lamunan.“Aku baik-baik saja. Gimana kerjanya? Bisa?”“Bisa, Mas. Di sini enak kok kerjanya. Teman-teman ramah dan pengunjungnya santun. Kadang kan di kafe-kafe banyak pelanggan genit yang suka godain cewek-cewek, kalau di sini tidak ada.”Aku tersenyum dan mengangguk. Keselamatan dan kenyamanan kerja para pegawai adalah tanggung jawabku. Kalau ada yang bersikap kurang ajar, mending aku kehilangan pelanggan daripada mengorbankan pelayan.“Hai cantik, cappucino-nya dua!”Dua orang laki-laki datang dan tersenyum genit ke arah Delima. Meskipun kami sedang mengobrol, sepertinya mereka langsung mengenali Delima adalah pelayan kafe ini karena memakai seragam khusus seperti pegawai yang lainnya.Baru saja Delima memuji kalau pelanggan kafeku sopan-sopan, sekarang sudah ada dua laki-laki yang kayaknya setengah mabuk dari cara duduknya dan berjalan tadi.“Sana siapkan biar aku yang antar sama mereka,” titahku p