Mereka terlihat sangat menikmati perjalanan dari Bagan Siapi-Api, menuju ke Pekanbaru. Lalu menyewa dua mobil menuju, gunung talang. Fikri satu mobil dengan Abraham dan Safira, mobil di kemudikan oleh Zakir Pramudita, dan di sampingnya ada Feri Oktaviani, sedangkan Safira, Abraham dan Fikri berada di bangku nomor dua, setelah bangku sopir. Safira duduk ditengah, Abraham dan Fikri. Sedangkan bangku yang paling belakang, diduduki oleh Muhamad Farhan, Ilham Arif Setiawan, dan Muhamad Thoriq Akbar.Sedangkan mobil kedua, diisi oleh Latifah Ahmad Fadillah, disetir oleh Safir Ahmad Fadhil Zikri. Abraham dan Safira sangat romantis disepanjang perjalanan, Fikri yang tidak suka melihat Safira dipeluk, dicium oleh Abraham. Rasanya ingin sekali dia patahkan leher laki-laki itu, agar pria itu tidak lagi mendekati Safira.Sepanjang perjalanan, Abraham tidak melepaskan pelukkannya pada Safira, sesekali dia memcium ubun-ubun Safira, dan membelai wajahnya ayunya, yang terus mengoda keimanan seorang Ab
“Ibu, ada pengumuman penting untuk kalian semua! Mengingat sebentar lagi, akan diadakan ulang tahun, sekolah. Maka kita, akan mengadakan drama antar kelas" ujar bu Adelicia mulai bicara. "Dan dengar baik-baik, ibu akan bagi kelompoknya. Ibu harap, kalian semua bisa kompak dan mengesampingkan ego, terlebih dahulu. Bagi yang bermusuhan, ibu harap kalian berbaikan untuk sementara, demi kelancaran acara ini." jelas bu Adelicia. "Baiklah, akan ibu pilih sendiri, yang dipanggil namanya maju kedepan. Fikri Wijaya Kusuma sebagai pangeran, Siska Rahmayani, sebagai ibu peri, Safir Ahmad Fadhil Zikri sebagai raja, Safira Ramadhani sebagai cinderrella, Adira Fairuz sebagai utusan dari istana, Nadia Oktaviani sebagai ibu cinderrella, Amelia, dan Wulandari sebagai kakak tirinya cinderrella.” satu persatu nama-nama yang dipanggil ibu Adelicia Calista maju kedepan kelas. Ada beberapa orang maju dengan wajah kesal, Fikri dan Safira tidak terima dengan peran, yang diberikan oleh bu Adelicia. “Baikl
Abraham membawa Safira, makan di sebuah restoran yang ada di Bagan Siapi-Api. Mereka duduk dan memesan beberapa menu, makanan dan minuman. Ditengah asyik-asyik makan, seorang wanita mengebrak meja, dan menjambak rambut Safira dengan kuat.“Jadi, karena wanita ini, kau tidak mau menikahiku hah? Dasar perempuan jalang, berani-beraninya kamu merebut, calon suami saya.” bentaknnya, menekan kepala Safira kedalam piring, yang masih berisikan nasi dan lauk. Muka Safira terlihat belepotan, nasi lengket diwajahnya.Abraham berusaha memisahkan wanita itu, dari Safira. Safira berusaha tenang, dan melihat Abraham sedang menahan wanita itu, yang masih berusaha menghajarnya kembali. Safira memandang Abraham, dengan penuh tanya. Safira menghela napas.“Benar Bra, dia calon istrimu. Kenapa kau menyembunyikan ini dariku?” Safira berusaha bersikap tenang, semaksimal mungkin. Namun di otaknya sudah mau meledak, ingin menghajar mereka satu persatu.“Kau tau, apa yang telah dilakukannya kepadaku perempuan
Beberapa hari setelah kejadian direstroan, Abraham tidak pernah pulang kerumah dan menemui Safira di rumahnya Hartawan. Safira hanya mendengus kesal, padahal dia masih menginginkan pria itu meminta maaf padanya, sekedar membujuknya. Saat dirinya sudah bisa menerima, saat itulah dia dicampakkan begitu saja. Sungguh kejamnya dunia. Disisi lain Abraham mengetuk pintu, ketukkanya semakin keras saat pemiliki rumah, tidak dilihatnya membukakan pintu. Wajah Abraham terlihat kesal, dan ketika hendak mengetuk lagi, seorang wanita keluar dari dalam rumah. “Hay, akhirnya kamu kamu datang juga. Aku sudah menunggumu.” wanita itu tersenyum membelai dada Abraham, diselingi tatapan genit. “Kenapa kau, datang kerestoran waktu itu? Bukankah aku sudah memberi, apapun yang kau minta, rumah, mobil, uang, apalagi yang kurang?” Abraham menepis tangan wanita itu dan menatapnya dengan tatapan jengah. “Aku ingin kau menikahiku Bra...” wanita itu memeluk pinggang Abraham. “Aku tidak akan menikahimu. Karena
Safira hanya termenung, duduk di teras rumah Hartawan Wijaya Kusuma. Kini Abraham sudah menghilang bak di telan bumi. Yang paling mengejutkan lagi, rumah mewah yang di tinggali Abraham, juga mobil yang dia miliki, juga ikut di sita oleh seseorang yang mengaku Abraham memiliki hutang padanya. Namun walaupun Abraham sudah bangkrut dan menghilang, tetapi para bodyguard nya tetap setia menjaga Safira. Feri, Thoriq, Fadil, mendekati Safira dan duduknya di sampingnya. “Kenapa masih di luar? Di luar dingin lo,” ucap Feri. Safira tidak menanggapi, dia hanya mendengus pelan. Thoriq membuka jaketnya dan memakaikannya ketubuh Safira. “Sampai kapan nona seperti ini? tidak baik bersedih setiap saat. Yang pergi tidak akan kembali, kecuali takdir mempersatukannya kembali.” Thoriq berujar dengan lembut, masih menghormati perempuan yang ada, disampingnya . Walaupun Safira tidak lagi kaya, dan terus saja di manjakan oleh barang-barang mewah pemberian Abraham, seperti dulu. Tetap saja wanita itu perna
Setelah latihan yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya sampailah pada hari H nya. Kelas Safira menampilkan drama cinderrella diatas panggung. Tirai yang besar dan juga tinggi perlahan terbuka, memperlihatkan seorang saja yang sedang gundah gulana, memikirkan putranya yang masih saja sendirian, dan tak kunjung menikah. Sang raja duduk disinggasana kebesarannya, (diperankan oleh Safir Ahmad Fadhil Zikri) disampingnya berdiri seorang pengawal (diperankan oleh Adira Fairuz). “Mohon Ampun Tuanku, apa yang membuat baginda raja terlihat begitu bersedih? Apakah hamba boleh mengetahui, gerangan apa yang membuat baginda bersedih?” pengawal berkata dengan takzim menundukkan kepalanya didepan sang raja. “Saya bersedih memikirkan putra kerajaan, belum juga kunjung menikah. Jika putra mahkota tidak menikah, dan tidak memiliki keturunan, lalu siapa yang akan melanjutkan memimpin kerajaan ini?” sang raja sangat bersedih jika memikirkan kelangsungan dan kejayaan kerajaannya dimasa yang akan dat
“Mau kemana putri? Kita belum selesai berdansa.” Fikri mengucapkannya terbata-bata, antara yakin atau tidak. Apakah itu, dialog yang harus dia ucapkan atau tidak. Safira mencoba bangkit, dan high hillnya tidak copot dari kakinya, seharusnya ketika dia jatuh high hill itu terjatuh sebelah. Melihat adegan demi adegan telah berantakkan, Fikri berinisiatif untuk memberitahu gadis itu, melewati dialog tambahan. Fikri meraih tangan Safira yang sudah berdiri. “Putri, apakah kamu akan meninggalkanku?” fiks, dialognya tidak ada didalam naskah. Membuat para guru dan siswa lainnya, hanya mengelus dada dan tepuk jidat. Mata keduanya beradu, berharap Fikri mengatakan sesuatu padanya. Karena saat ini, otak Safira sudah seratus persen, blank. “Jatuhkan sebelah sepatumu, sesuai adegan didalam naskah.” Fikri mengingatnya sambil berbisik. Safira hanya menghela nafas, dan beracting berlari lagi. Itu membuat Fikri mengerutkan dahinya, namun ketika Safira berusaha melepaskan sepatunya, dengan melak
“Freya....” teriak Fikri, melihat tubuh Freya terpelanting beberapa meter dari tempat kejadian. Fikri yang masih memiliki kesadaran, sempoyongan mendekati kekasihnya itu sekaligus sahabatnya, yang dia panggil dengan panggilan, Caca. Fikri menyentuh urat nadinya dan ternyata sudah tidak berdenyut lagi. “Freya...” teriak Fikri, histeris memeluk erat Freya untuk terakhir kalinya. Fikri mengeleng-ngelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayang-bayang Freya dibenaknya. “Ayo bang, kejar Aruna.” Aruna berteriak, keluar dari kamar abangnya setelah mengelitik perut sang abang. “Awas ya, kalau nanti abang tangkap, Aruna tidak akan abang lepas.” Fikri mengejar Aruna bocah yang masih berumur 5 tahun itu, yang telah mengangu tidurnya. Aruna dengan gesit mampu menghindar dari tangkapan abangnya. Hingga sesuatu terjadi, kaki Aruna Wardana Wijaya Kusuma tergelincir. “Abang....” teriak Aruna. Spontan Fikri yang sudah hampir saja mendekati adiknya itu, mencoba menarik tangan bocah itu, agar tidak