Share

Bab 6 Keributan Sore Itu

RAHASIA TIGA HATI

- Keributan Sore Itu

Livia terkejut begitu juga dengan Bre. Ia tidak menyangka bertemu wanita yang ingin dicarinya di sana. Niatnya tadi ingin menemui Alan untuk menanyakan keberadaan Livia. Justru bertemu wanita itu yang baru keluar dari rumah Alan.

Bre turun dari mobil dan melangkah menghampirinya. Rasa kaget tadi berubah menjadi tampang curiga di wajah lelaki tampan itu.

"Kenapa Mas di sini?" tanya Livia.

"Kamu kabur ke rumah Alan?" Bukannya menjawab, Bre berbalik tanya. Mereka saling menatap tajam. "Atau Alan yang membawamu kabur?"

"Jangan sembarangan kalau ngomong. Tahu kan apa alasan yang membuatku meninggalkan rumahmu, Mas."

"Aku kan sudah bilang, tunggu aku pulang dulu."

"Mamamu mengusirku. Jangan pura-pura tidak tahu. Nanti kutunjukkan semua pesan yang dikirim mamamu padaku."

Pada saat mereka berdebat, Alan menghampiri. Spontan Bre mengalihkan tatapan yang menunjukkan rasa tidak suka pada lelaki tampan dengan postur tegap menjulang. "Jangan berdebat di sini, kita bisa bicarakan di dalam rumah," kata Alan dengan suara tenang. Tidak enak jika didengar dan diperhatikan oleh tetangga perumahan.

"Kenapa kamu nggak memberitahuku kalau Livia ada bersamamu?" Bre menatap tajam Alan. "Kamu sengaja memanfaatkan keadaan untuk membawanya pergi, kan?"

"Kamu salah paham. Ayolah masuk rumah dulu, kita bisa bicara di dalam."

"Nggak usah. Aku mau mengajak istriku pulang," jawab Bre masih dengan nada tak bersahabat.

"Aku bukan istrimu lagi, Mas. Kamu ingat dengan talak yang telah kamu ucapkan, kan?"

"Selagi dalam masa iddah, aku berhak merujukmu."

"Aku nggak akan kembali. Keadaan kita tidak akan pernah berubah. Mas, nggak pernah membela kehormatanku saat dihina keluargamu. Kita cerai saja."

"Livi, please kita bisa bicarakan ini di dalam rumah. Nggak enak kalau masalah pribadi jadi tontonan orang." Alan kembali mengajak mereka bicara di dalam rumah.

"Ya, Mas," jawab Livia. Namun ketika hendak melangkah, tangannya di cekal oleh Bre. "Nggak perlu ke dalam. Aku ingin membawa Livia pulang."

"Lepasin." Livia menyentakkan tangannya hingga terlepas dari cekalan Bre. "Apa sih maumu, Mas. Heran aku dengan pendirianmu. Mas, ingin aku kembali tapi disisi lain Mas juga menyetujui perjodohan dengan Agatha."

"Aku sudah bilang kalau menolaknya."

"Mas, nggak tegas."

"Aku akan bicara dengan mama lagi kalau kamu ikut aku pulang."

Mereka saling tatap dan saling mengintimidasi. Sedangkan Alan membuang pandang ke arah lain. Dia tidak bisa terlalu dalam ikut campur urusan rumah tangga Bre dan Livia. Walaupun ia sangat memahami bagaimana perasaan Livia saat ini. Siapa yang bisa terima kalau ayahnya di hina.

"Mas, pulang saja. Aku nggak akan pernah kembali ke sana. Aku sudah siap bercerai darimu."

"Oh, kamu sudah keenakan tinggal sama mantan kekasih kakakmu di sini, makanya menolak kuajak pulang. Apa yang kalian lakukan selama tiga hari di sini?"

Baik Livia atau pun Alan sangat terkejut dengan ucapan yang bernada tuduhan dari Bre.

"Jangan sembarangan ngomong, Livi tinggal di homestay bukan di rumahku. Kamu bisa cek rumah itu. Livia butuh tempat tinggal sementara, menyiapkan mental untuk memberitahu ayahnya." Alan menunjuk rumah mungil minimalis di hadapannya.

Bre tersenyum sinis. "Jarak kalian tinggal, hanya beberapa meter saja. Nggak akan jadi penghalang untuk laki-laki dan perempuan tidur bersama."

Mendengar tuduhan itu membuat Livia menatap nanar Bre, dia tidak terima dengan tuduhan kotor itu. Sementara Alan yang berdiri tegak dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya, masih bersikap tenang. Bukan tak ingin membela diri, tapi percuma bicara dengan lelaki seperti Bre.

"Sembarangan kamu ngomong, Mas," hardik Livia dengan mata melotot tajam dan tangan mengepal di kedua sisi tubuhnya.

"Alan diam saja, berarti membenarkan ucapanku." Bre menatap Alan. Memancing amarah lelaki itu.

"Meski sekian lama kalian bersama, rupanya kamu nggak mengenali siapa Livi, Bre. Dia bukan perempuan murahan seperti yang ada dipikiranmu. Ternyata Livi memang tidak layak menjadi istri dari lelaki yang tidak tahu bagaimana memperjuangkannya." Setelah diam dengan semua tuduhan, akhirnya Alan meluapkan pembelaannya pada adiknya Selvia.

Bre marah dan melayangkan pukulan ke rahang Alan. Namun laki-laki itu dengan sigap bisa menghindarinya. Bre tidak terima saat pukulannya sia-sia di udara. Lelaki jago karate itu menyerang kembali Alan.

Livia cemas saat perdebatan tadi berujung pada perkelahian dua lelaki yang sama-sama jago bela diri. Serangan Bre yang membabi buta hanya dihindari oleh Alan tanpa melakukan balasan. Muay Thai termasuk bela diri yang paling keras di dunia, sehingga tidak sulit untuk menghindari atau menangkal pukulan Bre.

Wanita itu panik, apalagi dari beberapa rumah para ART yang memperhatikan dari balik pagar tampak ketakutan. Jam segitu para majikan mereka memang belum kembali dari bekerja.

"Hentikan, Mas!" teriak Livia.

Alan menjauh karena memang tidak mau menyerang balik, baginya percuma berkelahi dengan lelaki seperti Bre. Namun Bre yang tidak terima karena menyerang tanpa adanya perlawanan. Bagi Alan, apa yang ia kuasai bukan untuk menunjukkan kalau dirinya hebat dan kuat. Lagipula, jika ia bisa memukul dan melukai Bre, urusan bisa jadi lain kalau lelaki itu bersikap licik dengan melaporkannya ke polisi.

Melihat Bre terus mendesak, Livia yang geram. Dia mencuri kesempatan dan melakukan tendangan ke perut Bre, membuat laki-laki itu mundur ke belakang beberapa langkah.

"Kamu membelanya!" Bre menatap marah sambil memegangi perutnya.

"Iya. Kenapa? Mas, nggak terima!" jawab Livia. Walaupun jika berkelahi pun, ia tidak mungkin menang dari Bre.

Mendengar jawaban Livia, mata Bre merah menahan murka. Livia yang selama ini selalu mengalah padanya, kini terang-terangan membela lelaki lain.

Pada saat itu muncul beberapa bapak-bapak dari ujung gang. Mereka menghampiri karena mendengar ada keributan.

"Ada apa ini?" Seorang bapak bertubuh subur menegur lebih dulu. Menunjukkan rasa terganggu dengan apa yang terjadi.

"Dia membawa lari istri saya, Pak." Bre menunjuk Alan. "Bahkan mereka sudah tinggal serumah."

"Bohong, Pak. Mas Alan tidak membawa kabur saya. Saya yang pergi dari rumah karena saya sama suami sudah bercerai secara agama. Saya juga tidak tinggal serumah dengan Mas Alan. Tiga hari ini saya tinggal di homestay milik Pak Wuri," jawab Livia seraya menatap tajam Bre kemudian beralih pada lelaki bertubuh kerempeng, pemilik homestay.

"Iya. Mbak, ini yang kemarin menemui saya."

"Maaf Bapak-Bapak, kalau kami membuat keributan di sini. Sebenarnya ini hanya kesalahpahaman." Alan berkata sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada pada keempat laki-laki yang berdiri di tengah jalan.

"Kalau masalah pribadi, sebaiknya dibicarakan secara kekeluargaan, Mas Alan," ujar seorang bapak berkaus kuning.

"Ya, Pak. Maaf."

"Kami kenal baik Mas Alan dan almarhum papanya Mas Alan, saya yakin kalau Mas Alan nggak mungkin membawa kabur istri orang. Lagian masih banyak gadis yang ngejar-ngejar Mas Alan. Ngapain bikin masalah dengan membawa kabur istri orang." Pak Wuri membela Alan.

"Makasih, Pak Wuri."

Kemudian Pak Wuri dan bapak komplek lainnya meninggalkan tempat itu.

Bre serasa dikuliti di sana karena mereka lebih jelas mengenal siapa Alan daripada dirinya. Dibenahinya kemeja kemudian menghampiri Livia. "Nggak akan kubiarkan laki-laki manapun memilikimu," ancamnya.

"Jangan mengancamku, Mas. Aku nggak pernah takut sendirian. Kehidupan mengajariku tidak lemah saat dipatahkan."

Tatapan Bre meredup. Jujur saja, bagaimanapun kasarnya kalimat yang keluar dari bibirnya, tapi hatinya telah remuk redam. Kekasarannya hanya untuk menutupi luka dalam dada.

Seketika itu ia merasakan kehilangan arah. Bingung memilih sikap karena sudah terlanjur marah melihat Livia bersama Alan. Untuk merendah minta maaf, ego lebih menguasai dirinya.

"Aku tunggu akta cerai kita."

Bre tidak menanggapi ucapan Livia, ia langsung masuk ke dalam mobilnya setelah menatap sekilas pada Alan.

"Kamu nggak apa-apa?" Alan menghampiri Livia yang tengah menangis tanpa suara.

"Aku nggak apa-apa, Mas. Sekarang juga aku akan pulang ke rumah ayah. Daripada nanti timbul fitnah di antara kita. Mas Alan, nggak tahu apa-apa malah kena imbasnya."

"Kamu ingin memberitahu Om Syam sekarang?"

Livia mengangguk pelan. "Sekarang atau nanti, ayah tetap bakalan tahu juga."

"Kamu berkemas-kemas dulu, nanti kuantar."

Livia kembali ke homestay dan Alan masuk ke rumahnya.

Selesai berkemas, Livia meraih ponsel dan mengirimkan pesan dari Bu Rika pada Bre. Laki-laki itu tidak menjawab meski pesannya dilihat.

***L***

Pak Rosyam diam mematung setelah Livia menceritakan kemelut rumah tangganya. Netra lelaki itu berkaca-kaca. Sebenarnya dalam diamnya dia juga tahu bagaimana perlakuan keluarga Bre pada putrinya. Namun masih berharap bahwa rumah tangga mereka akan tetap baik-baik saja.

Setelah keruntuhan bisnisnya, pihak besan kian berubah dan menjaga jarak. Padahal dirinya hanya menjadi korban fitnah. Namun sayang, posisinya sangat lemah untuk melakukan pembelaan. Belum lagi kenangan pahit kehilangan istri dan anaknya waktu itu masih menjadi trauma yang dalam.

"Nggak apa-apa, Nduk. Ikhlaskan saja. Kelak kamu akan mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik lagi." Pak Rosyam membelai rambut putrinya.

Alan yang masih di sana, diam duduk di sofa. Tadi Livia minta tolong supaya ditemani bicara dengan ayahnya. Sebab jika terjadi apa-apa bisa memberikan pertolongan. Ternyata ayahnya tidak syok seperti yang ia takutkan. Walaupun jelas sekali dari wajahnya kalau dia sangat terpukul.

"Ayah, nggak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Aku ikhlas jika pernikahanku selesai sampai di sini. Mereka boleh menghinaku, tapi aku nggak terima jika mereka menghina ayah." Livia memeluk lengan ayahnya.

"Maafkan ayah karena nggak bisa membelamu," ujar Pak Rosyam dengan suara serak.

"Nggak apa-apa. Ada Mas Alan yang membantuku. Yang penting sekarang ayah harus selalu sehat."

Sang ayah manggut-manggut, kemudian melepaskan kacamata dan menghapus air matanya.

"Aku juga minta tolong sama Mas Alan untuk mencarikan pekerjaan."

"Ayah nggak usah lagi pergi ke dokter. Ayah sudah jauh lebih baik sekarang ini, Liv."

"Tapi harus tetap kontrol untuk jantungnya, Ayah."

Pak Rosyam mengangguk pelan.

Setelah keadaan tenang, Alan pamitan. Dia mencium tangan Pak Rosyam lantas melangkah keluar di antar Livia. "Makasih banyak ya, Mas. Aku ngrepotin Mas Alan beberapa hari ini."

"Nggak apa-apa. Kalau ada sesuatu, segera hubungi aku."

"Hu um. Jangan lupa kalau ada lowongan pekerjaan untukku."

"Iya. Nanti aku kabari. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Livia masih berdiri di teras meskipun mobil Alan telah pergi. Akhirnya ia sampai juga di titik ini. Menyandang gelar janda tak lama lagi. Dia tidak akan mengemis untuk diperjuangkan oleh Bre. Laki-laki itu sudah jauh berubah ketimbang pada saat mereka berjuang untuk bisa menikah.

Sejak dulu Bu Rika memang tidak menyukainya. Entah apa alasannya. Mungkin karena dia lebih menyukai Agatha dan berharap perempuan itu yang menjadi menantunya. Atau ada alasan lain, Livia tidak tahu. Namun Alan pernah bilang, keluarga Bre pasti tahu banyak tentang runtuhnya bisnis keluarga Livia.

Agatha bukan wanita baru dalam hidup Bre. Mereka berteman semenjak masih sama-sama SMA. Tapi mereka kuliah di universitas yang berbeda. Bre bilang tidak pernah pacaran dengan gadis itu.

"Mbak Livia, bapak pingsan, Mbak!" teriakan Pak Tamin dari dalam rumah mengangetkan Livia.

Next ....

Selamat membaca 🥰

Comments (19)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
dlm lingkungan para pebisnis, bukan hal yg sulit mencari siapa pengkhianat atau penyebab dari keruntuhan atau kebangkrutan usaha.
goodnovel comment avatar
Yosefa Wahyu
aku jg tim Livia-Alan
goodnovel comment avatar
Yosefa Wahyu
hiya itu...dikasih pr nama panjang si Bre...Brengs3k brekele kali yak...wkwk...gedek banget sumpah ama lelaki yg gk punya pendirian alias plinplan begini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status