Tawa Arin langsung terhenti begitu melihat Giko mendekat. Dia bahkan langsung pura-pura sibuk di depan layar. Aku dengan mata setengah watt yang hampir redup mengangkat kepala, menahan kuap, lalu merentangkan tangan. "Beb, makan siang, yuk." Tepat dugaanku. Tidak seperti biasanya yang lebih dulu menggoda Arin, dia langsung menghampiriku. Tersenyum lebar sembari menumpukan lengannya ke pembatas kubikel. "Gue lagi males makan. Ngantuk. Mau tidur aja." Aku kembali menjatuhkan kepala ke atas meja. Kasih aku waktu satu jam buat tidur. "Win, tapi ini bentar lagi jam makan siang loh. Emang lo nggak lapar?" tanya Giko lagi. Tanganku terangkat dan mengacungkan telunjuk. "Kasih aku satu jam aja buat tidur. Aku ngantuk banget.""Danar mana?" "Dia lagi ada meeting di luar. Sudah sejam yang lalu.""Lo yakin nggak mau makan siang?" tanya Giko lagi. Aku hanya mengangguk. Lalu aku mendengar suara langkah kaki menjauh, bersamaan dengan lenyapnya suara Giko. "Oh, My God! Keajaiban dunia dia ng
Aku terselamatkan dari cecaran Arin karena dia lantas sibuk dengan tumpukan pekerjaan yang Danar beri. Aku juga bisa fokus mengerjakan pekerjaanku hingga selesai. Pukul setengah delapan malam aku baru benar-benar merampungkan pekerjaan. Sementara Arin dan Danar belum kembali ke kantor divisi lantaran sedang mengikuti rakor di lantai sepuluh. Ketika aku sedang merapikan meja, ponsel pintarku yang ada di dekat PC bergetar. Senyumku sontak terbit saat membaca nama yang tertera di layarnya. Aku meraih benda pipih itu dan mengangkat panggilan tersebut. "Halo, Tama," sapaku, menjepit ponsel di antara telinga dan bahu. Sementara dua tanganku memasukkan barang-barang pribadiku ke dalam tas. "Udah pulang, Wina?" tanya Tama di sana. "Ini baru mau turun. Kamu di mana?" Aku menarik resleting setelah memastikan semuanya masuk ke tas. "Aku masih di kantor. Ini lagi istirahat sebentar. Ngopi biar nggak ngantuk. Sambil telepon kamu biar tambah melek." Aku terkekeh mendengarnya. "Sama siapa?"
"Wina!" Suara panggilan itu menghentikan langkahku. Aku menoleh ke belakang dan langsung menemukan Giko setengah berlari menghampiri. Aku tidak menghiraukan dan kembali melanjutkan langkah menuju lift. Namun, dia dengan cepat bisa menyejajariku, dan tangannya yang usil langsung bertengger di pundakku, merangkul. Aku melebarkan mata, mengutuk tingkahnya yang asal peluk. Astaga, ini tempat umum. Aku memang kadang jalan berdua dengan Giko di wilayah gedung ini. Tapi, ya tentu saja nggak sampai main peluk begini. Cepat-cepat aku menyingkirkan tangannya dan mendelik. Menjadi perhatian para karyawan di pagi hari bukan awal yang baik. "Jaga sikap lo, Gi. Ini tempat umum," desisku berusaha tidak membuka bibir. "Kenapa sih? Kan kita pacaran," sahutnya cengengesan. Aku ingin sekali menampol kepalanya yang nggak tahu isinya apa. "Yang pacaran beneran aja nggak selebay elo," ujarku sebal masih mempertahankan ekspresi gemas campur kesal. "Lihat, situasi dong, Gi." Giko masih cengengesan seak
"Aku nggak bisa, sori," ucapku lirih. Saat ini aku sedang makan siang sendiri di pantri. Dengan bekal yang sengaja aku bawa dari rumah untuk menghindari makan siang bersama Tama atau Giko. "Kenapa? Sudah ada rencana?" tanya Tama di ujung telepon sana."Hu-um." Aku berharap Tama tidak bertanya lebih daripada ini."Kamu mau pulang ke rumah ibu kamu?" tanya Tama lagi. "Enggak, sih. Udah ada rencana aja." Aku nggak ingin jujur kalau weekend nanti Giko mengajakku makan malam dan akan memperkenalkan aku pada Luffy, kakaknya. Tapi, lidahku susah untuk jujur."Oke kalau gitu take your time buat nanti. Tapi Sabtu malam, kita bisa ketemu, kan?" Aku menggigit bibir tanpa sadar. Sekarang aku agak takut jika bertemu dengan lelaki itu. Di depannya aku merasa tidak bisa mengendalikan diri. "Lihat nanti saja kayaknya, deh. Soalnya kerjaan lagi hectic banget." Meskipun dalam hati aku ingin selalu bersama lelaki itu, tapi aku harus tetap bisa menahan diri. "Ternyata lo di sini." Aku terkesiap da
"Kok kamu ngomongnya gitu?" tanya Tama dengan nada tak suka. "Kenapa? Omongan aku benar kan? Kita enggak bisa begini terus. Lebih baik kamu jauhi aku aja." Aku mengatakan kalimat itu dengan mata lurus menatap pintu lift di depanku. "Enggak, ini salah. Kamu nggak tau gimana aku menunggu momen ini. Momen bersama kamu. Aku yakin kamu juga sama kan?" Aku melepas napas kasar. "Tapi masalahnya kamu dan aku nggak bisa bersama. Kamu udah punya keluarga dan aku nggak pernah punya rencana buat jadi yang kedua." Emosiku buruk. Aku merasa punya lampiasan rasa kesal yang aku simpan untuk Giko. "Aku nggak pernah anggap kamu yang kedua, ya, Win," ujar Tama terdengar dalam. Suara baritonnya yang biasa terdengar lembut, kini berubah dingin. "Aku nggak mungkin melepasmu begitu saja setelah menemukanmu." "Aku tetap yang kedua, Tama. Mau gimana pun kamu beralasan, aku tetap yang kedua." Aku menunjuk dadanya yang bidang. "Kamu udah punya Sintia lebih dulu!" "Aku akan melepas Sintia, secepatnya." S
Danar datang dua puluh menit kemudian ketika kepalaku sedang pusing-pusingnya. Pria itu datang dengan wajah panik, dan langsung masuk unit saat aku membuka pintu. Giko dan Tama masih duduk di sofa yang sama dengan posisi saling memunggungi. Keduanya persis seperti anak kecil yang sedang berantem memperebutkan permen. "Kalian pulang sana. Jangan ganggu Wina istirahat," ujar Danar sesampainya di depan mereka. Aku pikir dia akan mengatakan hal penting apa. Ya, semacam nasehat atau apa, nggak tahunya cuma mengusir mereka. "Lo usir aja dia. Dia membawa pengaruh buruk buat Wina," seru Giko masih terdengar kesal."Dih, lo aja kali. Yang udah njebak Wina main pacar-pacaran buat bohongin keluarga lo." Giko menggeram. Dia lantas beranjak berdiri dan berkacak pinggang. "Sadar dong, Tam. Lo itu udah punya bini. Nggak pantes banget lo rayu-rayu cewek lain. Lo mau jadiin Wina selingkuhan lo?!" Mataku terpejam. Telingaku merasa tak nyaman mendengar ucapan Giko barusan. Padahal yang dia katakan
Aku menarik napas beberapa kali sebelum keluar dari mobil Giko. Saat ini kami sedang ada di depan salah satu restoran fine dining di kawasan Mega Kuningan. Kami akan makan malam bersama Luffy. Giko bilang Luffy sudah menunggunya di sana. Makan malam bersama orang kaya itu agak ribet. Harus ada dress code agar bisa bergabung bersama mereka. Siang tadi Giko mengirimi aku sebuah gift berisi satu set dress lengkap dengan clutch melalui seorang OB. Dia niat sekali mengenalkan aku dengan abangnya. "Makin cepat makin baik, Win. Jadi, gue nggak dikejar-kejar Luffy terus. Sekalian pembuktian sama dia bahwa gue juga punya hubungan serius," ujar Giko ketika aku meminta dia mengulur waktu untuk berkenalan dengan Luffy. "Setelah ini udah kan? Maksudnya nggak akan ada acara-acara lain yang bakal nglibatin gue?" Aku harus memastikan hal ini. Jujur, aku nggak mau terlibat terlalu jauh dengan keluarga Jayakusuma. "Gue nggak tau, sih. Tapi, ada rencana liburan keluarga tahun ini. Kemungkinan besar
"Sepertinya kita pernah bertemu, tapi di mananya aku lupa," ujar Luffy, menyipitkan mata memperhatikan aku makan. "Oh, mungkin karena kamu bekerja di perusahaan ayah jadi aku nggak asing. Tapi, aneh, sih. Kalau kamu udah kenal lama dari sekolah, dan menjalin hubungan selama dua tahun dengan Giko, kenapa aku nggak tau, ya?" Luffy terus saja berbicara seperti orang bermonolog karena aku tidak tertarik menanggapi ocehannya itu. "Bisa jelaskan enggak proses jadian kalian gimana?" Ya Tuhan, Giko ke mana sih? Bisa-bisanya dia membiarkan aku berdua dengan abang setannya ini? Aku menarik tisu dan mengelap bibir. Berhadapan dengan orang yang mungkin saja bisa mengintimidasi, kita nggak boleh lemah. Aku mengangkat dagu sedikit, dan menatap pria di depanku. "Seperti yang Anda tau, Pak. Saya dan Giko bekerja dalam satu naungan perusahaan yang sama. Awalnya kami memang teman biasa, tapi karena kami sering bertemu jadi rasa suka di antara kami timbul. Mungkin gitu, sih prosesnya." Luffy tampa