"Sudah penuh, rupanya," lirih Fina berkata. "Permisi, permisi." Fina melangkah ke kursi barisan belakang, mengambil posisi duduknya.Ruang rapat telah penuh sesak, suasana tegang menyelimuti setiap sudut. Wisnu, dengan sikap tenang namun berwibawa, berdiri di depan ruangan, menatap wajah-wajah penuh harapan para karyawan marketing."Selamat siang semuanya. Kita akan membentuk tim untuk persiapan International Exhibition di Bali," suaranya menggema, membelah keheningan. "Ini adalah kesempatan emas bagi perusahaan kita, untuk memperkenalkan produk kita kepada khalayak ramai, terutama dunia internasional."Suara riuh rendah tepuk tangan para peserta rapat mulai menggema, memenuhi ruangan. Wajah-wajah antusias, dengan tatapan optimis terlihat di antara para manajer dan karyawan yang hadir. Mereka semua menyambut baik kesempatan langka ini.“Setelah melalui pertimbangan yang matang. Saya, telah menetapkan nama-nama para anggota tim yang akan berpartisipasi dan bertanggung jawab untuk pers
“Kenapa semua jadi membenciku?”“Apa karena aku dijadikan sekretaris untuk event? Tapi itu, kan bukan kemauanku?” resah batin Fina.Fina hanya bisa menundukkan kepalanya, menyembunyikan kegalauan dan ketakutan hatinya. Dengan langkah gemetar, menuju ke meja kerjanya di divisi marketing, berusaha menenangkan diri.Namun, ketika Fina berusaha mengalihkan fokusnya kembali pada pekerjaannya. Suara-suara tawa mengejek dari sudut ruangan terdengar semakin nyaring di telinganya.“Wah enak, ya jadi anak baru… langsung dapat posisi di event penting. Padahal dulu aku harus menunggu pengalaman 2 tahun baru, boleh ikut event,” keluh seorang senior.“Dia pasti peliharaan, Pak Wisnu direktur kita yang ganteng itu,” ejek senior lainnya.“Yah, siapa sih yang gak mau jadi peliharaan sugar daddy cakep kek, Pak Wisnu yang seganteng Dylan Wang…tapi selera beliau kok kampungan banget ya,” timpal yang lainnya,“Iya kampungan,” timpal lainnya, di iringi suara derai tawa mengejek. ‘Kenapa mereka terus membu
“Arrgh! Ndak Mou! Anying!”“Puyaang!” teriak Nunu dengan suara cadelnya, kakinya menendang-nendang tanah, sebagai bentuk protes.“Puyaang! Mamaa!“ Nunu mulai histeris, berguling-guling di halaman Daycare.Ibu-ibu yang menjemput anak-anak mereka, hanya bisa menggelengkan kepala, melihat tingkah laku Nunu yang tak terkendali.“Nuu, tenang dong, jangan bikin malu. Kita baru saja sampai!” lirih Dave, merasa putus asa tidak tahu harus berbuat apa lagi.Untungnya, Bu Deriah, sang kepala Daycare yang ramah dan telaten, segera datang untuk membantu. Dengan senyum hangat dan suara yang menenangkan, Bu Deriah mendekati Nunu sambil membawa sebuah lollipop berwarna merah cerah."Anak manis, jangan menangis," sapanya lembut. "Lihat apa yang Ibu punya?" hiburnya.Nunu terdiam sejenak, menatap lollipop itu dengan mata yang berbinar. Rasa ingin tahunnya mengalahkan rasa sedihnya. Dia pun mengulurkan tangan kecilnya dan mengambil lollipop itu dengan senang hati. Seketika, senyum manis menghiasi wajahn
Wisnu menatap Fina dengan hangat."Fina, Ini sudah larut malam. Aku tahu kamu lelah. Bagaimana kalau kita pulang bersama?" bisiknya lembut.“Ta-tapi saya, anu, Pak--- “ balas Fina tergagap. Ia merasakan godaan yang kuat, namun ia sadar bahwa ia tidak boleh terperdaya.Wisnu tersenyum. “Tidak baik bagi wanita, jika pulang sendirian larut malam begini,“ rayunya."Terimakasih, tapi saya rasa----“ ucap Fina gugup. Ia terdiam, merasakan perasaannya diaduk-aduk. Kenangan masa lalu kembali membayang, saat mereka masih bersama dan saling mencintai.Tiba-tiba ponsel Wisnu berdering nyaring, memecah kesunyian di antara mereka. Wisnu tampak kesal karena momen yang hampir sempurna untuknya terganggu.“Aish! Sialan!” Wisnu mengumpat lirih.Wajahnya berubah kesal, saat melihat nama Winda sang istri, terpampang di layar ponselnya. "Hadeh dia lagi," desahnya dengan nada kesal bercampur enggan.“Ck! Mau apa lagi Nenek lampir ini?!” umpatnya dengan ketus.Fina terkejut mendengar Wisnu mengumpat, tetapi
Keesokan harinya, Winda masih menyimpan rasa curiga, namun berusaha bersikap baik kepada suaminya setelah pertengkaran semalam.“Apa aku, perlu membangunkannya di ruang kerja, ya?” guman Winda.“Tapi ini sudah jam segini dia belum, bangun juga? Apa dia nggak ke kantor hari ini?”“Bangunkan? Tidak?” pikirnya bimbang.Tidak lama kemudian, Wisnu keluar dari ruangan kerja dengan muka kusut dan rambut acak-acakan. Ia masih mengenakan pakaian yang sama seperti semalam.“Hadeh! Udah jam 8 aja ini!”“Gawat, kesiangan aku!” serunya. Wisnu pun segera berlari masuk kamar mandi.Setelah selesai mandi, dengan masih bertelanjang dada dan handuk yang melilit pinggang Wisnu menghampiri istrinya yang sedang memulas make up di meja riasnya.“Aduh, Winda! Kenapa nggak bangunin aku?! Ini aku kesiangan, loh! Nanti kalo, kena macet di jalan gimana?!” omelnya sambil melap rambutnya yang basah.Winda yang kaget melihat suaminya bangun kesiangan dan malah disalahkan, langsung mendekat. “Kenapa kamu nyalahin a
“Telepon si Sus, aja,” gumannya.Tanpa berpikir lama ia segera menelpon Pak Sus, sopir kantor kepercayaannya. Wisnu menggenggam ponselnya dengan wajah yang memerah. Dia menekan tombol panggilan dan menunggu sambungan. Setelah beberapa detik.“Halo, ya Pak Wisnu,” suara Pak Sus terdengar di seberang.“Pak Sus,” ucap Wisnu dengan suara yang penuh kekesalan, “Cepat jemput saya dengan mobil kantor! Mobil saya mati—““Innalillahi—“ seloroh Pak Sus lirih.“Heh, Bukan saya yang mati,” dengus Wisnu kesal.“Ma-maaf pak, saya tidak begitu kedengaran. Habis di sini berisik pak, ” Pak Sus segera minta maaf dan mengklarifikasi.“Oh ya jangan lupa bawa asistenmu si Paijo, untuk membantu mengurus mobil saya ini,” perintahnya.Suara Wisnu dipenuhi rasa panik dan amarah. Ia tak menyangka paginya akan dimulai dengan situasi yang kacau balau seperti ini."Baik, Pak Wisnu. Laksanakan," jawab Pak Sus dengan suara tenang, berusaha menenangkan Wisnu di tengah kekacauannya. "Saya segera meluncur ke sana. Moho
Sebuah panggilan dari Pak Sus, sopir kantornya, memecah keheningan."Halo, Pak Wisnu," suara panik Pak Sus terdengar di ujung telepon. "Saya melihat mobil Bapak mogok di pinggir jalan, dekat stasiun pengisisan bahan bakar, arah rumah anda. Tapi, Bapak dimana sekarang? Saya sudah keliling-keliling, tapi tidak ketemu."Wisnu mengerutkan keningnya. "Saya di Daycare seberang jalan, Pak Sus," jawabnya. "Ada sedikit urusan di sini. Tunggu sebentar ya.""Daycare?" Pak Sus mengulang dengan kebingungan. Ia bertanya-tanya dalam hati, mengapa bosnya yang belum memiliki anak itu berada di Daycare. Namun, sopir paruh baya itu tak berani bertanya lebih jauh. "Baik, Pak Wisnu. Saya tunggu di sana," jawabnya singkat.Setelah menutup telepon, Wisnu menoleh ke arah Fina yang berdiri di depan pintu Daycare. "Kebetulan nih, saya minta Pak Sus untuk menjemput," ujarnya dengan nada santai.Wisnu melirik jam tangannya. "Sudah jam 8.30. Fina, bagaimana kalau kamu bareng saya ke kantor?" ajaknya dengan ramah.
"Aku tidak mencintainya. Kenapa aku harus menikah dengan Winda?!” Dalam keheningan yang penuh tekanan, Wisnu melihat keluarga besarnya dengan tatapan penuh keputusasaan, mencari setitik cahaya harapan. Namun yang ia temui hanyalah bayangan keputusan yang sudah bulat. "Maafkan Ibu, Wisnu. Tapi ini sudah menjadi kesepakatan," desah Nyonya Dewi dengan suara yang rapuh, tetapi tegas. "Ini satu-satunya jalan terbaik bagi keluarga kita. Demi menyelesaikan hutang dengan keluarga Adiyaksa.” “Asal kau tahu, Wisnu. Mendiang Ayahmu telah menandatangani surat perjanjian dengan keluarga Adiyaksa, sebelum beliau meninggal dunia,” imbuh sang paman yang duduk ujung ruangan. “A-apa?! Mengapa kalian tega menjadikanku, jaminan hutang?” desis Wisnu penuh keputusasaan. "Sudahlah, Nak. Kau harus menerima kenyataan ini," ujar Nyonya Dewi dengan suara yang rendah, “Hanya ini jalan satu-satunya.” “Tapi aku sudah memiliki Fina. Kami saling mencintai, bahkan aku berencana melamarnya, Bu,” terang Wisnu.