"Aku tidak mencintainya. Kenapa aku harus menikah dengan Winda?!”
Dalam keheningan yang penuh tekanan, Wisnu melihat keluarga besarnya dengan tatapan penuh keputusasaan, mencari setitik cahaya harapan. Namun yang ia temui hanyalah bayangan keputusan yang sudah bulat.
"Maafkan Ibu, Wisnu. Tapi ini sudah menjadi kesepakatan," desah Nyonya Dewi dengan suara yang rapuh, tetapi tegas. "Ini satu-satunya jalan terbaik bagi keluarga kita. Demi menyelesaikan hutang dengan keluarga Adiyaksa.”
“Asal kau tahu, Wisnu. Mendiang Ayahmu telah menandatangani surat perjanjian dengan keluarga Adiyaksa, sebelum beliau meninggal dunia,” imbuh sang paman yang duduk ujung ruangan.
“A-apa?! Mengapa kalian tega menjadikanku, jaminan hutang?” desis Wisnu penuh keputusasaan.
"Sudahlah, Nak. Kau harus menerima kenyataan ini," ujar Nyonya Dewi dengan suara yang rendah, “Hanya ini jalan satu-satunya.”
“Tapi aku sudah memiliki Fina. Kami saling mencintai, bahkan aku berencana melamarnya, Bu,” terang Wisnu.
“Ibu mohon tinggalkan Fina. Menikahlah dengan Winda! Masa depanmu lebih terjamin jika bersama keluarga Adiyaksa,” desak Nyonya Dewi.
Wisnu mendesah kesal, ekspresinya menunjukkan ketidak setujuan yang luar biasa.
“Apa kau tega melihat keluarga ini bangkrut?!” desak Nyonya Dewi, menatap putra sulungnya dengan pandangan berkaca-kaca. “Edi Adiyaksa tidak akan segan melakukan hal kejam terhadap keluarga kita, jika kita terbukti melanggar perjanjian dan tidak membayar hutang tersebut. Mereka bisa dengan mudah menghabisi keluarga kita.”
“Hutang keluargamu, masa depanmu, masa depan keluargamu, semua bergantung pada pernikahan ini!" potong sang paman.
“Tidak ada salahnya kau menikahi Winda Adiyaksa!” desak pamannya dengan suara yang menggema di ruangan. “Ini kesempatan menjadi, mantu keluarga konglomerat!
Nyonya Dewi, mulai terisak. “Ibu mohon Wisnu, ibu mohon, menikahlah dengan Winda.”
“Baiklah,” ucap lirih Wisnu Bramastya dengan berat hati, menyerah, pada takdir yang telah diaturkan untuknya. Ia jadi merasa tidak tega membuat ibunya sedih.
“Apa yang harus aku katakan kepada Fina? Aku yakin dia pasti sedih mendengar hal ini.” Wisnu merasa dilemma dan tersiksa.
Hari terus berganti. Tanggal pernikahannya dengan Winda semakin mendekat. Persiapan pernikahan dengan Winda telah mencapai 90%. Catering, dekorasi, baju pengantin, dan semua detail telah dipersiapkan dengan sempurna oleh keluarga Adiyaksa.
"Mungkin minggu ini, minggu terakhir, aku mengajar di kampus ini," desah Wisnu pasrah.
Hari itu, Wisnu memasuki kampus dengan beban yang berat di pundaknya. Dia merencanakan untuk mengajukan surat resign. Namun di selasar kampus Fina menghampirinya. Wajah gadis itu pucat pasi, matanya sembab.
"Fina, apa yang terjadi?" tanya Wisnu dengan nada khawatir.
Fina tidak menjawab, ia malah langsung menggamit lengan Wisnu, mengajaknya ke tempat yang sepi, di taman belakang kampus.
“Ada sesuatu yang penting. Tolong ikut Fina,” pintanya dengan suara lirih sambil menyeret lengan Wisnu.
Tanpa banyak bicara, Wisnu mengikuti langkah Fina ke taman belakang kampus, tempat yang sepi dan tenang. Di sana, Fina memberikan dua batang test pack ke tangan Wisnu.
"Apa maksudnya ini, Fina?" tanya Wisnu dengan panik.
"Saya... saya hamil, Pak!” Fina menatap Wisnu dengan mata berkaca-kaca.
“Apa?! Hamil?!” pekik lirih Wisnu. “Kamu tidak bercanda, kan Fina?” tegasnya sambil menatap lekat-lekat wajah kekasihnya.
Fina menggelengkan kepalanya, penuh keyakinan. “Saya tidak bercanda!”
“Itu buktinya, sejak malam kita bersama, saya sudah telat delapan minggu, Pak,” imbuh Fina.
“A-apa?! Fina, apa kau sudah, memeriksakan hasilnya ke dokter?” Wisnu terpaku, melihat dua garis merah di test pack.
Fina menggangguk. “Sudah,” jawabnya singkat.
“Ini hasil USG-nya.” Fina mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna putih, lalu menyerahkan pada Wisnu.
Wisnu membuka amplop lembaran USG. Tampak gambar hitam putih yang kabur, dengan titik terang menandakan keberadaan janin.
Kedua alis Wisnu berkerut. "Kamu yakin ini, anakku?"
“Kamu pasti sudah tidur, dengan pria lain, kan?! Lalu mengatakan bahwa ini anakku?!" tuding Wisnu, tanpa perasaan.
"Tega sekali, menuduhku seperti itu!” bentak Fina dengan setengah terisak.
“Tentu saja ini anakmu! Tidak ada lelaki lain yang menyentuhku selain dirimu, Pak Wisnu!" Bulir air mata Fina, mulai deras mengalir.
"Pak Wisnu, kita harus menikah! Anda bilang akan bertanggung jawab, dengan menikahiku setelah aku lulus, kan?"desak Fina.
Tapi Wisnu memalingkan wajahnya. "Fina, aku tidak bisa, aku—" mendadak ia kehilangan kata-kata.
Fina menatapnya dengan nanar. “Kenapa tidak bisa? Bukankah, anda sudah berjanji, untuk menikahiku?”
“Keluargaku telah menjodohkanku, dengan wanita lain,” terang Wisnu lirih. "Aku sama sekali tak memiliki kendali, untuk membatalkan perjodohan ini.”
"Apa?! Kenapa kau tega---“ Fina tercekat, mendadak kehilangan kata. Hatinya hancur.
“Maafkan aku, Fina.” Wisnu merengkuh Fina dalam pelukannya, membiarkan air mata jernih gadis cantik itu, membasahi dadanya.
“Aku mohon. Demi kebaikan kita bersama, lupakanlah semua yang pernah terjadi diantara kita. Setelah Wisuda nanti. Mulailah hidup baru, masa depanmu masih panjang,” bisik Wisnu, sambil membelai lembut punggung Fina.
“Tapi… tapi…aku tidak bisa melupakanmu dan janin ini, adalah anakmu—“ ucap Fina terbata.
“Gugurkan saja, janin itu!” Rasa frustasi menyelimuti benak Wisnu, hingga tak berpikir jernih.
"Bajingan kau, Wisnu!” Fina menjerit histeris, menghantam dada bidang Wisnu, dengan tinju kecilnya. Winsu hanya diam.
“Hentikan, Fina! Kau melakukannya denganku, atas dasar suka-sama suka, kan! Dasar pelacur!” ucap tajam Wisnu.
“A-apa pelacur?!” desis Fina “Tega sekali kau, Wisnu!”
Fina meninju dada bidang Wisnu dengan keras, sekali lagi. Lalu segera berbalik dan berlari pergi, dengan derai air mata dan hati yang terluka.
“Fina!” Panggil Wisnu, tapi gadis berambut panjang itu, tidak mempedulikan. Wisnu terpaksa mengejar kekasihnya hingga ke parkiran.
"Fina, tolong dengarkan aku!" seru Wisnu, sambil meraih tangan Fina.
"Lelaki Brengsek! Pergi sana!"" bentak Fina, menepis tangan Wisnu dengan kasar. "Aku tidak mau mendengar alasanmu!
Tanpa banyak bicara Wisnu merengkuh Fina, membawanya ke pelukannya. Fina tak kuasa melawan, ia terisak di pelukan Wisnu.
"Fina, maafkan aku telah berkata kasar kepadamu," bisik Wisnu lirih.
Di kejauhan, Winda, calon istri Wisnu, baru saja turun dari mobil mewahnya. Tanpa sengaja, ia melihat adegan Wisnu dan Fina.
"Apa-apaan itu?!” guman Winda, gusar.
Winda melangkah cepat, menghampiri Wisnu dan Fina. "Ada apa sebenarnya ini?" hardik Winda, dengan tatapan tajam.
Wisnu kaget melihat kedatangan calon istrinya, tidak bisa berkata-kata. Ia segera melepaskan pelukannya pada Fina.
“Winda?!”
“Siapa dia?" desak Winda, wajahnya memerah padam.Winda menatap tajam menuntut jawaban."Kenapa dia menangis? Apa yang kau lakukan padanya, Wisnu?"“Anu, anu itu—“ balas Wisnu terbata-bata, kebingungan. Kesulitan menemukan alasan yang tepat.“Dasar dosen brengsek!” Belum sempat Wisnu menjelaskan, Fina sudah memotong. “Kau akan menerima balasannya! Dasar Kodok Zuma!” makinya lantang.Suara Fina menggema di parkiran, membuat, beberapa staf dan mahasiswa yang kebetulan lewat menoleh ke arah mereka, sambil cekikikan.“Hentikan, Fina! Aku bukan kodok zuma!” bentak Wisnu geram, karena dipermalukan.“Kau akan mati dalam kehampaan, Wisnu!" sumpah serapah keluar dari mulut Fina, disertai derai air mata.Winda terkesiap melihat Fina, berani mengacungkan jari tengahnya, pada Wisnu. “Astaga…” lirihnya.Tanpa berkata apapun, Fina segera berlari ke mobilnya. Suara bantingan pintu mobil berdebam keras menggema di parkiran.Mobil mirip kepik merah itu kemudian, melaju kencang meninggalkan parkiran."
“Ya, Winda, ada apa?”Wisnu tersadar dari lamunannya, memandang istrinya disampingnya yang begitu mendambakan kehangatan darinya."Bisakah kamu memelukku?" pinta Winda sekali lagi, suaranya memendam kesedihan.Tanpa berkata apapun, Wisnu segera memeluk Winda dengan erat, demi melegakan hasrat istrinya. Namun pelukannya terasa hampa dan dingin, tanpa cinta.Jari jemari Winda, menelusup dibalik kimono tidur Wisnu, membelai lembut tubuh atletisnya. Tapi dengan cepat pria itu menangkapnya, menghentikan gerakan jemari lentik itu."Maaf Winda, aku ngantuk sekali," Wisnu berbohong. Ia segera melepaskan pelukannya dan berbaring berlawanan arah dengan Winda."Oh," jawab Winda singkat. Hatinya teriris, namun berusaha tegar.Dingin menusuk tulang Winda, bukan hanya karena suhu ruangan, tapi juga karena sikap dingin Wisnu di malam pertama pernikahan mereka. ‘Kenapa dia begini?’ batinnya. Malam yang seharusnya penuh kebahagiaan, kini dipenuhi ketidakpastian.‘Apa mungkin dia sedang tidak enak ba
“Ka-kamu ingin, se-sesuatu yang----" Wisnu tergagap, tidak dapat meneruskan perkataan, ia merasa gugup, mendengar permintaan istrinya.Sebagai pria mengetahui, makna dibalik perkataan Winda itu. Lalu dengan cepat mengalihkan pembicaraan.“Ooh, Roti Baguette, khas Perancis. Maksudmu, kan?” tebaknya asal.Winda berdecak kesal. ‘Kenapa jadi roti sih?’ batinnya.Wisnu langsung ngeloyor pergi, tanpa berani melihat istrinya lagi."Sayang!” panggil Winda, berjalan menghampiri, lalu menarik lengan suaminya, “Kamu ceroboh sekali!”“Bawa ini.” Winda mengulurkan Black Card miliknya. ”Pake itu buat bayar kopinya. Passwordnya tanggal lahir aku.”"Dan…Jangan lama-lama, ya,” bisik Winda di telinga Wisnu.“I-iya.” Wisnu mengangguk canggung, buru-buru menerima kartu lalu keluar kamar.Kemudian, Winda segera meraih kotak merah hadiah yang tergeletak di atas meja.“Ini dari Lalisa. Apa ini isinya,ya?”Winda membuka kotak itu. Terdapat sebuah botol kecil berukuran 30 ml berwarna perak dan secarik kertas
"Kamu tidak usah khawatir, soal biaya,” potong Edi Adiyaksa tegas. ”Papa sudah atur semuanya. Jadi kamu tinggal menjalani saja.”“Dua tahun, sekolah bisnis di INSEAD Fontainebleau, Perancis. Papa rasa cukup membekali dirimu, untuk menjadi pemimpin perusahaan," terang Edi Adiyaksa.Wisnu menelan ludah. ‘Gila aja. Dua tahun? Kenapa harus ke Perancis lagi? Apakah, aku akan dijadikan tumbal olehnya?’ batinnya.Di dalam hati Wisnu berontak. Ia merasa hidupnya kini, dikendalikan oleh sang mertua, Edi Adiyaksa."Sudahlah, terima saja tawaran Papa, sayang!" sahut Winda.“Jarang-jarang, Papaku bermurah hati seperti ini.” Winda tersenyum penuh arti.Wisnu menelan ludah. Perkataan Winda, bagaikan pisau bermata dua, membangkitkan semangat, sekaligus menambah beban di hati Wisnu.Sementara, Edi Adiyaksa sang mantan jendral, terus menatap tajam. Seolah ingin membunuhnya.Wisnu merasa tertekan. "Baiklah, kalo begitu," ucapnya terpaksa.“Bagus!” jawab Edi Adiyaksa singkat.Dua minggu kemudian, Wisn
Kini Fina, berdiri dihadapannya, Wisnu malah salah tingkah.“Ba-bagaimana, bisa kau ada di sini?! Maksudku, kenapa kau di sini?”Pertanyaan itu, meluncur begitu saja. Wisnu berusaha sebisa mungkin, menahan gejolak di dalam dirinya. Matanya menatap lekat, mencerminkan kerinduan yang mendalam.“Saya bekerja di perusahaan ini, Pak,” balas Fina, sopan.“Benarkah?” Wisnu terbelalak. Ia tidak percaya bahwa kekasihnya, kini bekerja di bawah naungan perusahaannya."Benar. Saya baru saja diterima, sebagai staf di divisi keuangan, dua bulan lalu," jawab Fina sopan, mencoba menjelaskan situasinya dengan tertunduk. Ia sengaja menghindari kontak mata dengan Wisnu.“Oh begitu ya,” ucap Wisnu.Sejenak hening menyelimuti ruangan, rasa canggung yang menyelimuti mereka berdua. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Wisnu. Salah satunya, ingin menanyakan perihal ayah kandung Nunu, balita lucu yang merupakan anak Fina. Tapi rasa gengsi dan malu membungkamnya.Pertemuan tak terduga ini, seperti memutar k
"Fina, apa yang terjadi?!" tanya Wisnu tegas, berusaha memahami inti dari keributan yang telah menarik perhatian seluruh kantor."Maaf, Pak Wisnu," Fina terbata-bata, suaranya hampir tak terdengar. "Karena terburu-buru, saya… saya tidak sengaja menabrak ibu…""Apa?! Tidak sengaja?!" potong Winda, dengan nada tinggi. Suaranya melengking tinggi, menarik perhatian para pegawai yang baru keluar ruangan rapat. Mereka mulai berkerumun, menikmati tontonan drama gratis ini. Seolah tontonan sinetron.Dua orang satpam kantor, yang juga mendekat tidak berdaya, dengan tatapan tajam Winda yang sangat mengintimidasi. Seolah menyuruh agar tidak ikut campur. Tidak ada yang berani, melawan Winda Adiyaksa, sang pewaris perusahaan.Winda sudah terbakar amarah, sama sekali tidak peduli dengan sekitar. Ia terus saja, melontarkan kata-kata pedas yang menyudutkan Fina."Heh! Kamu punya mata, nggak?! Kamu menabrakku, sampai hampir jatuh! Masih berani bilang tidak sengaja?!" imbuh, Winda penuh amarah."Ma-m
"Kenapa kau mendadak kasihan padanya, hah?”“Kau tidak kasihan padaku, sayang?”“Istrimu ini, yang hampir saja celaka, karena kecerobohannya! Kecerobohan pegawai bodoh itu!” omel Winda penuh amarah.Wisnu terdiam sejenak, berusaha menenangkan dirinya. Perkataan sang istri sangat menusuk hatinya. "Bukan apa-apa, sayang," Wisnu berusaha tersenyum manis, meskipun hatinya terasa perih. "Tentu saja. Aku tidak--""Tidak?! Jadi kamu, tidak kasihan padaku?!" potong Winda dengan nada tinggi. Matanya melotot, siap meledakkan emosinya.Wisnu menghela napas panjang, merasakan tekanan. Tapi dia tahu harus tetap menyembunyikan hubungan dan perasaannya terhadap Fina. Jika tidak, Winda bisa membunuhnya.Dengan lembut, Wisnu membelai kepala Winda, “Kamu pasti sudah lelah sekali, hari ini, sayang. Kita pulang bersama saja, naik mobilku,” suaranya terdengar tenang. Namun di dalam hatinya, badai masih bergolak.“Apaan sih?!” elak Winda, sambil menampik tangan suaminya, dengan kasar.Wisnu mendengus ke
Jangan bilang kamu lupa?!” terka Winda.“Hah, iya? Astaga!” sambil menepuk jidat. "Maaf ya, sayang…lupa,” jawabnya polos dengan suara agak sengau, karena pilek.“Kamu ini gimana, sih!” keluh Winda sambil berkacak pinggang. “Mana Pak sopir kantor, sudah pulang duluan!”“Lagian, kenapa bisa basah kuyup begini, sih?!” tanya Winda kesal.Wisnu hanya terdiam, ia sibuk melap ingus di hidungnya dengan sapu tangan. Meskipun merasa kesal dengan omelan sarkas istrinya, tapi ia tidak mungkin bilang kejadian sebenarnya.“Han—chu!” Wisnu terus bersin, karena tidak tahan udara dingin dan air hujan.Winda hanya menghela napas. “Ya sudah, aku saja yang nyetir! Sini kuncinya!” tukasnya. Wisnu pun menyerahkan kunci mobilnya. Mereka berdua segera menuju ke parkiran. Beruntung gerimis sudah reda. Tapi bersin dan pilek Wisnu belum reda.“Kamu duduk belakang aja, ya!” perintah Winda. ”Jangan lupa tutup hidung kalau bersin! Biar nggak nular!”“Iya, Nyonya Besar,” balas Wisnu dengan suara sengau. ‘Sroot!’ Wi