"Fina, apa yang terjadi?!" tanya Wisnu tegas, berusaha memahami inti dari keributan yang telah menarik perhatian seluruh kantor."Maaf, Pak Wisnu," Fina terbata-bata, suaranya hampir tak terdengar. "Karena terburu-buru, saya… saya tidak sengaja menabrak ibu…""Apa?! Tidak sengaja?!" potong Winda, dengan nada tinggi. Suaranya melengking tinggi, menarik perhatian para pegawai yang baru keluar ruangan rapat. Mereka mulai berkerumun, menikmati tontonan drama gratis ini. Seolah tontonan sinetron.Dua orang satpam kantor, yang juga mendekat tidak berdaya, dengan tatapan tajam Winda yang sangat mengintimidasi. Seolah menyuruh agar tidak ikut campur. Tidak ada yang berani, melawan Winda Adiyaksa, sang pewaris perusahaan.Winda sudah terbakar amarah, sama sekali tidak peduli dengan sekitar. Ia terus saja, melontarkan kata-kata pedas yang menyudutkan Fina."Heh! Kamu punya mata, nggak?! Kamu menabrakku, sampai hampir jatuh! Masih berani bilang tidak sengaja?!" imbuh, Winda penuh amarah."Ma-m
"Kenapa kau mendadak kasihan padanya, hah?”“Kau tidak kasihan padaku, sayang?”“Istrimu ini, yang hampir saja celaka, karena kecerobohannya! Kecerobohan pegawai bodoh itu!” omel Winda penuh amarah.Wisnu terdiam sejenak, berusaha menenangkan dirinya. Perkataan sang istri sangat menusuk hatinya. "Bukan apa-apa, sayang," Wisnu berusaha tersenyum manis, meskipun hatinya terasa perih. "Tentu saja. Aku tidak--""Tidak?! Jadi kamu, tidak kasihan padaku?!" potong Winda dengan nada tinggi. Matanya melotot, siap meledakkan emosinya.Wisnu menghela napas panjang, merasakan tekanan. Tapi dia tahu harus tetap menyembunyikan hubungan dan perasaannya terhadap Fina. Jika tidak, Winda bisa membunuhnya.Dengan lembut, Wisnu membelai kepala Winda, “Kamu pasti sudah lelah sekali, hari ini, sayang. Kita pulang bersama saja, naik mobilku,” suaranya terdengar tenang. Namun di dalam hatinya, badai masih bergolak.“Apaan sih?!” elak Winda, sambil menampik tangan suaminya, dengan kasar.Wisnu mendengus ke
Jangan bilang kamu lupa?!” terka Winda.“Hah, iya? Astaga!” sambil menepuk jidat. "Maaf ya, sayang…lupa,” jawabnya polos dengan suara agak sengau, karena pilek.“Kamu ini gimana, sih!” keluh Winda sambil berkacak pinggang. “Mana Pak sopir kantor, sudah pulang duluan!”“Lagian, kenapa bisa basah kuyup begini, sih?!” tanya Winda kesal.Wisnu hanya terdiam, ia sibuk melap ingus di hidungnya dengan sapu tangan. Meskipun merasa kesal dengan omelan sarkas istrinya, tapi ia tidak mungkin bilang kejadian sebenarnya.“Han—chu!” Wisnu terus bersin, karena tidak tahan udara dingin dan air hujan.Winda hanya menghela napas. “Ya sudah, aku saja yang nyetir! Sini kuncinya!” tukasnya. Wisnu pun menyerahkan kunci mobilnya. Mereka berdua segera menuju ke parkiran. Beruntung gerimis sudah reda. Tapi bersin dan pilek Wisnu belum reda.“Kamu duduk belakang aja, ya!” perintah Winda. ”Jangan lupa tutup hidung kalau bersin! Biar nggak nular!”“Iya, Nyonya Besar,” balas Wisnu dengan suara sengau. ‘Sroot!’ Wi
Tidak lama kemudian, terdengar deru mobil Wisnu, memasuki garasi. Winda langsung menoleh ke arah jendela.“Nah, akhirnya pulang juga. Dasar kampret!”Tanpa menunggu lama, saat suaminya masuk ke dalam rumah, Winda langsung mengintrogasinya."Wisnu! Kenapa kamu pulang telat ?!" tanya Winda, dengan tatapan curiga. "Kamu, habis ngelayap ke mana, hah ?!“Ditelepon nggak, diangkat! Di WA nggak, dibales!” cerocos Winda."Enggak, sayang. Aku nggak ngelayap. Cuma ada, proyek yang harus diselesaikan di kantor,” jawab Wisnu dengan santai.“Ah, yang bener?!” tanya Winda dengan tatapan menyelidik."Bener sayang," balas Wisnu sambil melepas dasinya. "Daripada kamu marah-marah terus, mending pijitin aku, deh! Capek banget soalnya.""Ih, males!" protes Winda, dengan lengan terlipat dan wajah cemberut.“Ya, udah kalo gitu. Sini! Kamu mandi lagi, bareng aku aja,” ucap Wisnu dengan senyum nakal. Tanpa banyak bicara ia langsung, lalu menggendong istrinya ke kamar mandi di lantai dua.“Eui, a-apaan ini?!
Keesokan harinya, Dave bergegas ke kontrakan Fina untuk mengembalikan ponsel yang tertinggal di rumahnya.“Fina pasti membutuhkan ini,” gumannya. Namun, ketika sampai di kontrakan Fina, rumah tampak sunyi dengan pagar terkunci. “Fina sudah ke kantor, Mas,” seru Mbak Sari, tetangga sebelah.“Oh, begitu ya Mbak,” balas Dave sambil celingukan. “Dimana Fina menitipkan Nunu?” “Cari Nunu? Dia ada di sini, Mas,” balas Mbak Sari, sambil menunjuk ke arah Nunu yang sedang asyik bermain mobil-mobilan sendirian, di pojokan warung."Nuu, sayang," Dave segera menghampiri balita lucu itu. Memeluk tubuh mungilnya dengan penuh kasih sayang. “Nunu, jangan nakal, ya. Nanti sore, Om jemput Nunu,” ucap Dave lembut.“Mbak Sari, titip Nunu, ya,” kata Dave kepada Mbak Sari, sambil memberikan dua lembar uang seratus ribuan, kepada penjual seblak itu."Iya beres, Mas Dokter," jawab Mbak Sari, dengan wajah sumringah. "Nunu pasti senang di sini. Banyak temannya nanti,” timpalnya sambil ngulek bumbu seblak.Set
Fina yang baru saja keluar, dari gedung pencakar langit, menoleh dan berhenti, saat mendengar suara Wisnu memanggilnya. Tatapan mereka bertemu, kecemasan terpancar jelas di wajah Fina."Ya. Ada apa Pak Wisnu?" Wisnu berjalan mendekat, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai. Sementara itu, Dave sudah di dalam mobilnya, mulai celingukan mencari Fina yang tak kunjung muncul."Nuu, Mama Ina kemana, ya?" tanya Dave pada Nunu kecil."Itchuu, Mama," jawab Nunu sambil menunjuk ke arah Fina dan Wisnu.Dave mengerutkan keningnya. ‘Siapa pria berkaca mata, yang bersama Fina itu?’ batinnya. Lalu, dengan langkah cepat, ia membawa Nunu, keluar dari mobil untuk menghampiri.Ketegangan tak terucapkan mengisi udara, saat kedua pria itu bertemu. Dave merasa cemburu melihat Fina bersama pria lain, begitu pula dengan Wisnu yang tidak suka melihat kehadiran Dave.Fina merasa kikuk, di tengah aura berat dari kedua pria itu, mencoba mendinginkan suasana.“Oh Dokter Dave. Perkenalkan ini, Pak Wisnu ada
"Ah, Fina," gumam Wisnu dengan suara lirih, "Seandainya waktu bisa diputar kembali."Di ruangan tengah, Wisnu terduduk di sofa pikirannya terbuai dalam kenangan indah bersama Fina. Bayangan wajahnya yang ceria dan tawa riang menghantui hatinya.“Projek baru ini, adalah kesempatanku mendekati Fina lagi,” bisiknya.Tekadnya menguat. Ia telah menyusun strategi licik, memasukkan Fina ke dalam tim proyek, dan memberikannya jabatan yang memungkinkan mereka berinteraksi secara intens.“Tidak akan kulepaskan kau Fina—“ desahnya lirih.Sementara di dapur, Winda sibuk menyiapkan hidangan istimewa. Ia ingin memberikan kejutan spesial untuk suaminya."Sayang, hari ini aku buatkan ayam goreng favoritmu," seru Winda bangga.Wisnu segera ke dapur, tampak ayam goreng di atas meja. Warnanya kecoklatan, ada gosong hitam di beberapa bagian. Aroma wangi bercampur bau gosong menusuk hidungnya."Mbak Siti ART, bagian masak lagi mudik, jadi sementara, aku yang masak."“Makanlah!” ucap Winda berseri-seri.Wis
"Sudah penuh, rupanya," lirih Fina berkata. "Permisi, permisi." Fina melangkah ke kursi barisan belakang, mengambil posisi duduknya.Ruang rapat telah penuh sesak, suasana tegang menyelimuti setiap sudut. Wisnu, dengan sikap tenang namun berwibawa, berdiri di depan ruangan, menatap wajah-wajah penuh harapan para karyawan marketing."Selamat siang semuanya. Kita akan membentuk tim untuk persiapan International Exhibition di Bali," suaranya menggema, membelah keheningan. "Ini adalah kesempatan emas bagi perusahaan kita, untuk memperkenalkan produk kita kepada khalayak ramai, terutama dunia internasional."Suara riuh rendah tepuk tangan para peserta rapat mulai menggema, memenuhi ruangan. Wajah-wajah antusias, dengan tatapan optimis terlihat di antara para manajer dan karyawan yang hadir. Mereka semua menyambut baik kesempatan langka ini.“Setelah melalui pertimbangan yang matang. Saya, telah menetapkan nama-nama para anggota tim yang akan berpartisipasi dan bertanggung jawab untuk pers