"Kamu tidak usah khawatir, soal biaya,” potong Edi Adiyaksa tegas. ”Papa sudah atur semuanya. Jadi kamu tinggal menjalani saja.”
“Dua tahun, sekolah bisnis di INSEAD Fontainebleau, Perancis. Papa rasa cukup membekali dirimu, untuk menjadi pemimpin perusahaan," terang Edi Adiyaksa.
Wisnu menelan ludah. ‘Gila aja. Dua tahun? Kenapa harus ke Perancis lagi? Apakah, aku akan dijadikan tumbal olehnya?’ batinnya.
Di dalam hati Wisnu berontak. Ia merasa hidupnya kini, dikendalikan oleh sang mertua, Edi Adiyaksa.
"Sudahlah, terima saja tawaran Papa, sayang!" sahut Winda.
“Jarang-jarang, Papaku bermurah hati seperti ini.” Winda tersenyum penuh arti.
Wisnu menelan ludah. Perkataan Winda, bagaikan pisau bermata dua, membangkitkan semangat, sekaligus menambah beban di hati Wisnu.
Sementara, Edi Adiyaksa sang mantan jendral, terus menatap tajam. Seolah ingin membunuhnya.
Wisnu merasa tertekan. "Baiklah, kalo begitu," ucapnya terpaksa.
“Bagus!” jawab Edi Adiyaksa singkat.
Dua minggu kemudian, Wisnu terpaksa terbang ke Fontainebleau, Perancis, bersama Winda. Mereka tinggal di Apartemen sederhana, di Le Parc de l'Europe.
“Kita tinggal di sini. Apartemen ini, milik salah satu kenalan, Papa,” ucap Winda riang. “Apartemen ini sempurna, bukan, sayangku?”
“Ya, bagus,” jawab Wisnu cuek.
Pikirannya melayang jauh ke tanah air, tepatnya ke Fina sang kekasih hati, yang terpisah ribuan kilometer oleh lautan.
"Ini awal kehidupan baru kita, Sayang," ucap Winda lembut. Sementara, Wisnu hanya mengangguk.
Di tengah keindahan Kota Fontainebleau, hati Wisnu Bramastya dalam kehampaan.
‘Kenapa aku tidak bisa melupakan Fina?’ batin Wisnu. ‘Apakah ini hukuman untukku?’
Dua tahun di Perancis terasa sangat berat, seperti pengasingan. “Dua tahun… aku pasti bisa melaluinya,” bisiknya.
Wisnu mencoba mencari pelarian dengan lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan kampus. Serta, pekerjaan magangnya di salah satu kantor IT.
Selain itu, ia bertambah stress ketika pulang. Karena Winda terus menuntut perhatiannya.
"Wisnu!" bentak Winda. "Kenapa, kau selalu pulang malam?!”
“Kau pasti mengunjungi, tempat bordil di luar sana?!” tuding Winda tak beralasan.
Wisnu terdiam sesaat, ia berusaha meredakan amarahnya yang hampir meluap.
“Tidak, Winda,” elak Wisnu, dengan suara berat.
“Kau tahu, kan! Saat ini aku fokus menyelesaikan studi di INSEAD, sembari melakukan pekerjaan magang di salah satu kantor relasi,” omel Wisnu.
Winda memeluk suaminya. “Kau tau, aku tidak tahan dengan kesendirian ini setiap malam. Aku butuh kehangatan darimu, sayang.”
“Maaf. Aku capek!” elak Wisnu melepaskan pelukan istrinya dengan kasar.
Winda berdecak kesal, lalu meninggalkan suaminya sendiri.‘Sialan! Kenapa aku terus dicuekin, sih?’ geram batinnya.
‘Untuk saat ini, aku biarkan dia agar fokus pada studinya,’ imbuhnya.
Semakin hari, di balik gemerlap Kota Fontainebleau, Wisnu kian terjebak dalam bayang-bayang Fina. Tanpa sepengetahuan Winda. Setiap malam, Wisnu menelusuri jejak digital Fina di media sosial.
"Fina, seandainya kau disini," bisiknya penuh kerinduan.
Sementara waktu berlalu dengan cepat. Wisnu menatap pilu, melihat perut Fina yang semakin membesar, dari bulan ke bulan, mengandung benih cinta yang tidak diakuinya.
“Betapa cepat waktu berlalu,” gumam Wisnu.
"Maafkan aku, Fina," suaranya serak oleh penyesalan. "Aku terjebak di sini, sementara kau harus melanjutkan hidup tanpaku."
Sampai pada suatu hari, melihat foto bayi laki-laki yang dibagikan Fina, di media sosial. Wisnu terpaku pada foto bayi mungil itu. Bayi kecil itu di beri nama panggilan “Nunu.”
Sekilas, bayi itu memiliki raut wajah mirip dengannya. Matanya bulat, hidungnya mancung, rambut lurus, dan senyum lebarnya.
“Apakah, dia darah dagingku?” gumannya.“Atau, apakah dia anak dari pria lain?”
“Tapi, kenapa foto bayi Nunu, sangat mirip denganku?” Saat ini pikiran Wisnu, dipenuhi keraguan dan berbagai pertanyaan.
Wisnu, ingin menanyakan perihal bayi mungil itu langsung kepada Fina, namun rasa gengsi menahannya.
Sebagai gantinya, di tengah kesibukannya, Wisnu memilih mengamati Nunu dari kejauhan, menyaksikan setiap perkembangannya dari media sosial milik Fina. Hingga dua tahun, Nunu pun tumbuh menjadi balita yang menggemaskan dan sehat.
Suatu hari tanpa sengaja, Winda memergoki Wisnu, memandangi foto Nunu yang tampak menggemaskan, dari layar handphonenya.
“Wah! Betapa manisnya, senyum balita mungil itu,” puji Winda dengan keras, membuat Wisnu tersentak dari lamunannya. “Siapa dia, sayang?”
Wisnu terkejut, segara mematikan layar handphonenya. “Di-dia anak dari saudara sepupuku, yang ada di desa,” jawabnya asal.
“Sayang, apakah kau tidak ingin, memiliki bayi lucu?” tanya Winda manja.
Deg! Pertanyaan Winda langsung menusuk ke ulu hati Wisnu. “Apa maksudmu, Winda?”
Winda menggelayut manja. “Sudah dua tahun, kita bersama. Aku sangat merindukan memiliki anak dirimu.”
“Tapi kau tahu, aku akhir-akhir ini sangat sibuk! Jadi aku tidak ada waktu denganmu,” elak Wisnu ketus.
Winda kesal mendengar jawaban Wisnu. Diam-diam pergi ke dapur, mengambil ramuan cinta, mencampurkannya dalam secangkir kopi, yang ia buatkan untuk Wisnu.
Tidak lama kemudian, Winda kembali.
“Sayang. Ini aku buatkan kopi, minumlah,” Winda menyodorkan secangkir kopi hangat. Tanpa curiga, Wisnu pun meminum kopi itu.
Tidak lama kemudian, Wisnu terbuai oleh efek obat tersebut. Ramuan yang membuat Wisnu kehilangan kesadaran atas dirinya, dan menjadi budak nafsu Winda.
Winda terus melakukan itu setiap kali Wisnu cuek terhadapnya. Hal itu dilakukannya karena, ingin segera mendapatkan anak dari Wisnu. Namun, cara itu tidak kunjung membuat Winda hamil.
***
Akhirnya, setelah 2 tahun di INSEAD, Wisnu dan istrinya kembali ke Indonesia.
Wisnu ditunjuk oleh mertuanya, sebagai direktur utama di salah satu cabang baru, perusahaan Adiyaksa Group di Bandung. Ia bertanggung jawab atas semua keputusan dan operasional perusahaan.
Wisnu berharap dapat melupakan segala rasa sakit dan kegelisahannya, dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Sampai pada suatu hari, takdir mempermainkannya begitu dalam.
Setelah hiruk pikuk rapat direksi yang melelahkan, keheningan ruangan Wisnu terusik oleh suara ketukan pintu yang halus.
"Permisi, Pak. Saya mau mengantar dokumen," terdengar suara lembut dari balik pintu.
“Masuklah!” perintah Wisnu tegas. Pandangan matanya, masih terpaku pada layar laptop yang ada di atas meja kerjanya.
“Selamat sore, Pak,” terdengar suara sapaan halus.
Pintu terbuka, Wisnu mengangkat kepalanya. Jantungnya berdetak kencang, mendapati sosok yang berdiri di hadapanya.
“Fina?” pekik lirih Wisnu.
Fina berdiri di ambang pintu. Parasnya masih secantik dulu. Setumpuk dokumen tergenggam erat di tangannya. Namun ada yang beda, wajahnya tampak sendu.
"Wi-wisnu?" bisik Fina tergagap. Ia tak percaya bahwa direktur baru itu, adalah mantan kekasih yang pernah mencampakkannya dalam derita.
“Kemarilah!” perintah Wisnu, suaranya menggetarkan ruangan.
Kini Fina, berdiri dihadapannya, Wisnu malah salah tingkah.“Ba-bagaimana, bisa kau ada di sini?! Maksudku, kenapa kau di sini?”Pertanyaan itu, meluncur begitu saja. Wisnu berusaha sebisa mungkin, menahan gejolak di dalam dirinya. Matanya menatap lekat, mencerminkan kerinduan yang mendalam.“Saya bekerja di perusahaan ini, Pak,” balas Fina, sopan.“Benarkah?” Wisnu terbelalak. Ia tidak percaya bahwa kekasihnya, kini bekerja di bawah naungan perusahaannya."Benar. Saya baru saja diterima, sebagai staf di divisi keuangan, dua bulan lalu," jawab Fina sopan, mencoba menjelaskan situasinya dengan tertunduk. Ia sengaja menghindari kontak mata dengan Wisnu.“Oh begitu ya,” ucap Wisnu.Sejenak hening menyelimuti ruangan, rasa canggung yang menyelimuti mereka berdua. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Wisnu. Salah satunya, ingin menanyakan perihal ayah kandung Nunu, balita lucu yang merupakan anak Fina. Tapi rasa gengsi dan malu membungkamnya.Pertemuan tak terduga ini, seperti memutar k
"Fina, apa yang terjadi?!" tanya Wisnu tegas, berusaha memahami inti dari keributan yang telah menarik perhatian seluruh kantor."Maaf, Pak Wisnu," Fina terbata-bata, suaranya hampir tak terdengar. "Karena terburu-buru, saya… saya tidak sengaja menabrak ibu…""Apa?! Tidak sengaja?!" potong Winda, dengan nada tinggi. Suaranya melengking tinggi, menarik perhatian para pegawai yang baru keluar ruangan rapat. Mereka mulai berkerumun, menikmati tontonan drama gratis ini. Seolah tontonan sinetron.Dua orang satpam kantor, yang juga mendekat tidak berdaya, dengan tatapan tajam Winda yang sangat mengintimidasi. Seolah menyuruh agar tidak ikut campur. Tidak ada yang berani, melawan Winda Adiyaksa, sang pewaris perusahaan.Winda sudah terbakar amarah, sama sekali tidak peduli dengan sekitar. Ia terus saja, melontarkan kata-kata pedas yang menyudutkan Fina."Heh! Kamu punya mata, nggak?! Kamu menabrakku, sampai hampir jatuh! Masih berani bilang tidak sengaja?!" imbuh, Winda penuh amarah."Ma-m
"Kenapa kau mendadak kasihan padanya, hah?”“Kau tidak kasihan padaku, sayang?”“Istrimu ini, yang hampir saja celaka, karena kecerobohannya! Kecerobohan pegawai bodoh itu!” omel Winda penuh amarah.Wisnu terdiam sejenak, berusaha menenangkan dirinya. Perkataan sang istri sangat menusuk hatinya. "Bukan apa-apa, sayang," Wisnu berusaha tersenyum manis, meskipun hatinya terasa perih. "Tentu saja. Aku tidak--""Tidak?! Jadi kamu, tidak kasihan padaku?!" potong Winda dengan nada tinggi. Matanya melotot, siap meledakkan emosinya.Wisnu menghela napas panjang, merasakan tekanan. Tapi dia tahu harus tetap menyembunyikan hubungan dan perasaannya terhadap Fina. Jika tidak, Winda bisa membunuhnya.Dengan lembut, Wisnu membelai kepala Winda, “Kamu pasti sudah lelah sekali, hari ini, sayang. Kita pulang bersama saja, naik mobilku,” suaranya terdengar tenang. Namun di dalam hatinya, badai masih bergolak.“Apaan sih?!” elak Winda, sambil menampik tangan suaminya, dengan kasar.Wisnu mendengus ke
Jangan bilang kamu lupa?!” terka Winda.“Hah, iya? Astaga!” sambil menepuk jidat. "Maaf ya, sayang…lupa,” jawabnya polos dengan suara agak sengau, karena pilek.“Kamu ini gimana, sih!” keluh Winda sambil berkacak pinggang. “Mana Pak sopir kantor, sudah pulang duluan!”“Lagian, kenapa bisa basah kuyup begini, sih?!” tanya Winda kesal.Wisnu hanya terdiam, ia sibuk melap ingus di hidungnya dengan sapu tangan. Meskipun merasa kesal dengan omelan sarkas istrinya, tapi ia tidak mungkin bilang kejadian sebenarnya.“Han—chu!” Wisnu terus bersin, karena tidak tahan udara dingin dan air hujan.Winda hanya menghela napas. “Ya sudah, aku saja yang nyetir! Sini kuncinya!” tukasnya. Wisnu pun menyerahkan kunci mobilnya. Mereka berdua segera menuju ke parkiran. Beruntung gerimis sudah reda. Tapi bersin dan pilek Wisnu belum reda.“Kamu duduk belakang aja, ya!” perintah Winda. ”Jangan lupa tutup hidung kalau bersin! Biar nggak nular!”“Iya, Nyonya Besar,” balas Wisnu dengan suara sengau. ‘Sroot!’ Wi
Tidak lama kemudian, terdengar deru mobil Wisnu, memasuki garasi. Winda langsung menoleh ke arah jendela.“Nah, akhirnya pulang juga. Dasar kampret!”Tanpa menunggu lama, saat suaminya masuk ke dalam rumah, Winda langsung mengintrogasinya."Wisnu! Kenapa kamu pulang telat ?!" tanya Winda, dengan tatapan curiga. "Kamu, habis ngelayap ke mana, hah ?!“Ditelepon nggak, diangkat! Di WA nggak, dibales!” cerocos Winda."Enggak, sayang. Aku nggak ngelayap. Cuma ada, proyek yang harus diselesaikan di kantor,” jawab Wisnu dengan santai.“Ah, yang bener?!” tanya Winda dengan tatapan menyelidik."Bener sayang," balas Wisnu sambil melepas dasinya. "Daripada kamu marah-marah terus, mending pijitin aku, deh! Capek banget soalnya.""Ih, males!" protes Winda, dengan lengan terlipat dan wajah cemberut.“Ya, udah kalo gitu. Sini! Kamu mandi lagi, bareng aku aja,” ucap Wisnu dengan senyum nakal. Tanpa banyak bicara ia langsung, lalu menggendong istrinya ke kamar mandi di lantai dua.“Eui, a-apaan ini?!
Keesokan harinya, Dave bergegas ke kontrakan Fina untuk mengembalikan ponsel yang tertinggal di rumahnya.“Fina pasti membutuhkan ini,” gumannya. Namun, ketika sampai di kontrakan Fina, rumah tampak sunyi dengan pagar terkunci. “Fina sudah ke kantor, Mas,” seru Mbak Sari, tetangga sebelah.“Oh, begitu ya Mbak,” balas Dave sambil celingukan. “Dimana Fina menitipkan Nunu?” “Cari Nunu? Dia ada di sini, Mas,” balas Mbak Sari, sambil menunjuk ke arah Nunu yang sedang asyik bermain mobil-mobilan sendirian, di pojokan warung."Nuu, sayang," Dave segera menghampiri balita lucu itu. Memeluk tubuh mungilnya dengan penuh kasih sayang. “Nunu, jangan nakal, ya. Nanti sore, Om jemput Nunu,” ucap Dave lembut.“Mbak Sari, titip Nunu, ya,” kata Dave kepada Mbak Sari, sambil memberikan dua lembar uang seratus ribuan, kepada penjual seblak itu."Iya beres, Mas Dokter," jawab Mbak Sari, dengan wajah sumringah. "Nunu pasti senang di sini. Banyak temannya nanti,” timpalnya sambil ngulek bumbu seblak.Set
Fina yang baru saja keluar, dari gedung pencakar langit, menoleh dan berhenti, saat mendengar suara Wisnu memanggilnya. Tatapan mereka bertemu, kecemasan terpancar jelas di wajah Fina."Ya. Ada apa Pak Wisnu?" Wisnu berjalan mendekat, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai. Sementara itu, Dave sudah di dalam mobilnya, mulai celingukan mencari Fina yang tak kunjung muncul."Nuu, Mama Ina kemana, ya?" tanya Dave pada Nunu kecil."Itchuu, Mama," jawab Nunu sambil menunjuk ke arah Fina dan Wisnu.Dave mengerutkan keningnya. ‘Siapa pria berkaca mata, yang bersama Fina itu?’ batinnya. Lalu, dengan langkah cepat, ia membawa Nunu, keluar dari mobil untuk menghampiri.Ketegangan tak terucapkan mengisi udara, saat kedua pria itu bertemu. Dave merasa cemburu melihat Fina bersama pria lain, begitu pula dengan Wisnu yang tidak suka melihat kehadiran Dave.Fina merasa kikuk, di tengah aura berat dari kedua pria itu, mencoba mendinginkan suasana.“Oh Dokter Dave. Perkenalkan ini, Pak Wisnu ada
"Ah, Fina," gumam Wisnu dengan suara lirih, "Seandainya waktu bisa diputar kembali."Di ruangan tengah, Wisnu terduduk di sofa pikirannya terbuai dalam kenangan indah bersama Fina. Bayangan wajahnya yang ceria dan tawa riang menghantui hatinya.“Projek baru ini, adalah kesempatanku mendekati Fina lagi,” bisiknya.Tekadnya menguat. Ia telah menyusun strategi licik, memasukkan Fina ke dalam tim proyek, dan memberikannya jabatan yang memungkinkan mereka berinteraksi secara intens.“Tidak akan kulepaskan kau Fina—“ desahnya lirih.Sementara di dapur, Winda sibuk menyiapkan hidangan istimewa. Ia ingin memberikan kejutan spesial untuk suaminya."Sayang, hari ini aku buatkan ayam goreng favoritmu," seru Winda bangga.Wisnu segera ke dapur, tampak ayam goreng di atas meja. Warnanya kecoklatan, ada gosong hitam di beberapa bagian. Aroma wangi bercampur bau gosong menusuk hidungnya."Mbak Siti ART, bagian masak lagi mudik, jadi sementara, aku yang masak."“Makanlah!” ucap Winda berseri-seri.Wis