Share

Bulan Madu Semu

“Ka-kamu ingin, se-sesuatu yang----" Wisnu tergagap, tidak dapat meneruskan perkataan, ia merasa gugup, mendengar permintaan istrinya.

Sebagai pria mengetahui, makna dibalik perkataan Winda itu. Lalu dengan cepat mengalihkan pembicaraan.

“Ooh, Roti Baguette, khas Perancis. Maksudmu, kan?” tebaknya asal.

Winda berdecak kesal. ‘Kenapa jadi roti sih?’ batinnya.

Wisnu langsung ngeloyor pergi, tanpa berani melihat istrinya lagi.

"Sayang!” panggil Winda, berjalan menghampiri, lalu menarik lengan suaminya, “Kamu ceroboh sekali!”

“Bawa ini.” Winda mengulurkan Black Card miliknya. ”Pake itu buat bayar kopinya. Passwordnya tanggal lahir aku.”

"Dan…Jangan lama-lama, ya,” bisik Winda di telinga Wisnu.

“I-iya.” Wisnu mengangguk canggung, buru-buru menerima kartu lalu keluar kamar.

Kemudian, Winda segera meraih kotak merah hadiah yang tergeletak di atas meja.

“Ini dari Lalisa. Apa ini isinya,ya?”

Winda membuka kotak itu. Terdapat sebuah botol kecil berukuran 30 ml berwarna perak dan secarik kertas kecil bertuliskan ‘Ramuan Cinta.’

“Hah, ramuan cinta?” Winda penasaran. Ia membaca dengan detail petunjuk penggunaan obat itu. “Lalisa, bestie sialan. Dia tahu saja, apa yang aku butuhkan,” Winda terkikik geli.

Lima belas menit kemudian, Wisnu muncul dengan aroma kopi panas yang menguar dari paper cup di tangannya.

“Sayang, akhirnya kamu kembali.” Winda menyambutnya dengan mesra.

Namun Wisnu tidak menghiraukan, berlalu begitu saja ke kamar mandi, meninggalkan Winda begitu saja.

“Awas aja kamu, sayang,” desis Winda kesal.

Diam-diam Winda, mengambil botol kecil berisi ramuan cinta. Kemudian, menuangkan empat tetes ramuan, ke dalam kopi milik Wisnu yang tergeletak di meja.

“Wisnu, Lihat saja malam ini kau akan bertekuk lutut padaku,” bisiknya.

Tidak lama kemudian, Wisnu mengambil kopinya tanpa curiga, lalu menegak habis kopi yang telah bercampur dengan ramuan cinta alias obat perangsang.

Sementara, Winda memperhatikannya dengan senyuman sinis. ‘Hm, coba lihat apa ramuan cinta itu benar-benar bekerja?’ batinnya.

Tiba-tiba Wisnu, merasakan sensasi aneh di tubuhnya. Ia mulai merasakan sensasi  aneh yang menjalar aliran darah.Beberapa bulir keringat halus, mulai tampak di keningnya.

“Ah, panas banget sih, di sini!” keluh Wisnu, melepas kemeja luarnya dengan kasar.

“Kamu kenapa sayang?” tanya Winda pura-pura tidak tahu.

“Entah kenapa, seluruh tubuhku terasa panas. Ah—“ desah Wisnu.

“Oh, mungkin itu efek kopi Perancis yang kamu minum,” seloroh Winda asal.  

“Aku nggak tahan, lagi!” guman Wisnu lirih. Lalu dengan cepat ia melepas semua pakainya, membuangnya ke lantai, begitu saja.

Winda tenganga melihat tubuh gagah Wisnu. “Oh my god!” pekiknya lirih.

Dengan senyuman nakal ia mendekat. Tubuh indahnya dibalut lingerie merah menyala membakar gairah. Tanpa aba-aba ia, langsung duduk diatas pangkuan Wisnu. tangannya mulai membelai tubuh atletis Wisnu.

"Hai, Tuan Suami yang terhormat," bisiknya menggoda. "Tampaknya, anda hanya bisa disembuhkan oleh sentuhanku?"

Wisnu menelan ludah, "A-apa maksudmu, Winda?" tanyanya cemas, dengan suara sedikit serak. Jantung Wisnu berdegup semakin kencang, tubuhnya menegang,

Ia tak mampu menolak godaan yang begitu manis di hadapannya. Dunia seakan berhenti berputar, seirama dengan alunan melodi gairah, yang mulai mengalun deras dalam darahnya.

"Kau milikku sekarang, Wisnu," bisik Winda di telinga Wisnu. "Tak ada jalan keluar untukmu. Selain tunduk padaku, sayang.”

Tanpa basa-basi, Winda mendaratkan bibirnya pada bibir Wisnu. Sentuhan bibirnya begitu lembut, penuh gairah, membangkitkan desiran panas dalam diri Wisnu Bramastya.

Sehingga, Wisnu pun tak kuasa menahan diri. Ia membalas ciuman Winda dengan penuh gairah, melumat bibirnya dengan penuh hasrat. Detik demi detik, gairah mereka kian memuncak.

Kamar mewah Hotel Le Meurice, menjadi saksi bisu penyatuan dua insan, yang dipaksakan ini.

Malam itu, tembok es yang dibangun oleh Wisnu telah runtuh. Tergantikan dengan desahan dan lenguhan dalam gairah membara.

Waktu terus berlalu, tanpa sadar pagi menyapa. Winda mencondongkan tubuhnya, membelai lembut pipi Wisnu dengan jemarinya.

"Kau benar-benar luar biasa, sayangku," bisik Winda. "Ternyata kau sangat perkasa,”

Mata Winda, berkilat penuh kepuasan saat menatap Wisnu, yang terbaring di sampingnya.

Sementara, Wisnu masih terlelap dengan rambut acak-acakan. Bukti bisu dari malam pertama mereka yang liar dan membara.

"Ah, Fina sedikit lagi...," gumam Wisnu lirih, tanpa sadar ia mengigau.

Winda tersentak kaget. "Hah? Fina?!"  Ia langsung memukul dada Wisnu dengan bantal.

Wisnu terbangun dengan binggung. "Apa-apaan kamu? Kenapa memukulku?" Pukulan itu membuat kantuknya langsung hilang seketika.

"Berani sekali kau menyebut wanita lain!" bentak Winda, memukul dada suaminya dengan keras.

"Winda, hentikan. Sakit!"  protes Wisnu.

"Siapa Fina!? Apa dia selingkuhanmu, hah?!" cecar Winda, hatinya diliputi rasa cemburu.

“Fi-Fina?” Wisnu kebingungan. Ia harus berpikir cepat untuk mengelak, jangan sampai Winda tahu, bahwa Fina adalah kekasihnya.

“O,oh. I-itu nama kucing peliharaan aku," elak Wisnu, gugup.

Winda memicingkan mata, "Sejak kapan, kau pelihara kucing?”

“Setahun lalu," kilah Wisnu, sedikit nyolot. “Nama panjangnya Fina Meong Wati,” imbuhnya asal bicara.

“Sudahlah! Aku mau mandi sekarang. Gerah!” elak Wisnu, langsung ngeloyor ke kamar mandi.

“Hah? Fina Meong Wati? Aneh sekali nama kucingnya?” Winda merasa janggal.

"Baiklah, aku coba mempercayai dia saat ini," desisnya. “Namun, jika si Wisnu berani selingkuh, kubunuh dia!”

Sementara Wisnu, di kamar mandi, merenungi segala perbuatannya. Entah mengapa, air mata mengalir dari pipinya. Kenangan indah  serta rasa bersalah terhadap Fina, kekasihnya, mulai menggerogoti hatinya.

"Fina, maafkan aku. Atas semua yang telah terjadi," rintihnya lirih. Wisnu membiarkan air pancuran shower menyembunyikan air matanya.

“Aku tak bisa lupakanmu, Fina,” rintihnya.

Bulan madu yang seharusnya indah, berubah menjadi mimpi buruk bagi Wisnu. Sentuhan Winda terasa hampa, tak mampu mengobati luka di hatinya.

Wisnu terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, dihantui rasa bersalah dan kerinduan pada Fina. Setiap hari bagaikan siksaan, tanpa harapan.

Di tengah keindahan Paris, hatinya membeku, terbelenggu dalam dilema cinta dan tanggung jawab.

Setelah, kembali dari bulan madu 2 minggu di Paris, Wisnu dihadapkan pada beban besar dari mertuanya. Tanggung jawab untuk memimpin, salah satu cabang perusahaan Adiyaksa Group di Bandung.

“Papa ini sudah tua, Wisnu. Dua tahun lagi, sudah saatnya pensiun,” ucap Edi Adiyaksa sambil menatap penuh harap pada menantunya. “Anak Papa cuma Winda dan menantu cuma kamu. Siapa lagi yang akan meneruskan bisnis ini. Jika bukan kalian.”

Wisnu hanya terdiam. Ia tak tertarik dengan bisnis keluarga Adiyaksa.

"Tapi saya--,” dalih Wisnu lirih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status