Share

Luka dan Pernikahan Dingin

 “Ya, Winda, ada apa?”

Wisnu tersadar dari lamunannya, memandang istrinya disampingnya yang begitu mendambakan kehangatan darinya.

"Bisakah kamu memelukku?" pinta Winda sekali lagi, suaranya memendam kesedihan.

Tanpa berkata apapun, Wisnu segera memeluk Winda dengan erat, demi melegakan hasrat istrinya. Namun pelukannya terasa hampa dan dingin, tanpa cinta.

Jari jemari Winda, menelusup dibalik kimono tidur Wisnu, membelai lembut tubuh atletisnya. Tapi dengan cepat pria itu menangkapnya, menghentikan gerakan jemari lentik itu.

"Maaf Winda, aku ngantuk sekali," Wisnu berbohong. Ia segera melepaskan pelukannya dan berbaring berlawanan arah dengan Winda.

"Oh," jawab Winda singkat. Hatinya teriris, namun berusaha tegar.

Dingin menusuk tulang Winda, bukan hanya karena suhu ruangan, tapi juga karena sikap dingin Wisnu di malam pertama pernikahan mereka. ‘Kenapa dia begini?’ batinnya.

 Malam yang seharusnya penuh kebahagiaan, kini dipenuhi ketidakpastian.

‘Apa mungkin dia sedang tidak enak badan atau tidak mood?’ batin Winda, mencoba memberikan pengertian.

Winda ingin menanyakan keadaan pada suaminya secara langsung, tapi ia tidak berani. Melihat Wisnu sudah memejamkan mata di sampingnya. Padahal pria itu hanya pura-pura tidur demi menghindari 'kewajiban' di malam pertama.

Entah mengapa bayangan Fina masih menghantui pikiran Wisnu, membuatnya terombang-ambing antara rasa bersalah. ‘Maafkan aku,’ batin Wisnu resah.

Sementara Winda, yang tidak tahu apa-apa, terbaring di sisi Wisnu, merasakan kehampaan.

Malam itu, meskipun mereka berdua terbaring berdampingan, namun jiwanya terpisah jauh. Malam pertama berubah menjadi malam dingin yang sunyi.

***

Keesokan harinya. Wisnu baru saja selesai mandi, ia memandang dengan tatapan bersalah pada istrinya, di atas ranjang.

“Maafkan aku, atas semalam,” bisiknya lirih.

Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu keras menggema di kamar hotel. Wisnu segera membuka pintu, mendapati seorang pria tegap, berambut cepak, dengan kulit sawo matang.

“Siapa, ya?” tanya Wisnu penasaran.

"Selamat pagi, Tuan Wisnu," sapa pria itu dengan sopan. "Saya Emil, sekretaris pribadi sekaligus ajudan, Tuan Edi Adiyaksa.”

"Beliau, meminta saya untuk kemari," imbuhnya.

"Ada apa, Pak Emil?" tanya Wisnu.

"Tuan Adiyaksa, meminta  saya untuk mengantar, anda dan Nyonya Winda ke bandara. Beliau, telah menyiapkan pesawat jet pribadi, untuk mengantar anda berdua, ke Paris, Perancis,” terang pria berambut cepak itu.

Wisnu termenung sejenak. "Baiklah, Pak Emil. Saya akan memberitahu istri saya, terlebih dahulu."

Emil mengangguk. "Baiklah, Tuan Wisnu. Saya akan menunggu Anda dan Nyonya di lobi hotel. Kita akan berangkat jam 11 siang. Saya mohon jangan telat," ucapnya dengan wajah datar.

Wisnu mengangguk sekali lagi, sebagai tanda mengerti. Lalu Emil pun meninggalkan kamar.

Kemudian, Wisnu segera masuk, menghampiri istrinya. Ia melihat Winda menerima telepon, dalam keadaan masih mengantuk.

"Apa? Hadiah bulan madu ke Paris?" pekik Winda tak percaya. "Papa nggak bohong kan?!" mendadak ekspresinya sumeringah.

"Makasih banget, Papa," Winda bersorak kegirangan, suaranya memenuhi ruangan. Senyumnya merekah, menghapus semua rasa kantuk yang tersisa.

Sementara Wisnu, hanya terdiam, melihat dengan tatapan datar. 'Dua minggu bulan madu di Paris?' batinnya kesal, 'Mertua sialan. Ada-ada saja!'

Winda mendekati suaminya. "Sayang! Kita harus segera bersiap!” ucapnya antusias. "Oh ya, Jangan lupa, packing baju-baju kita!” perintahnya.

Kemudian, Winda segera berlalu ke kamar mandi, meninggalkan suaminya yang masih melongo sendirian dengan batin yang kacau.

Wisnu menghela nafas panjang, “Hah, ada-ada saja?”

Terpaksa, ia bersiap packing baju sesuai perintah istrinya. Beruntung, barang bawaan mereka tidak banyak.

Setelah semuanya siap, Wisnu dan Winda segera menemui Emilio, yang menunggu di lobi hotel.

Perjalanan ke Paris pun dimulai.

Suasana di dalam pesawat terasa agak canggung. Keduanya duduk berdampingan, namun tidak ada sepatah kata pun yang terucap.

Wisnu terdiam seribu bahasa dengan kegelisahannya, ‘Bagaimana aku menghadapi Winda selama di Paris, nanti? Wanita ini cukup agresif. Dua minggu waktu yang cukup lama. Hadeeh,’ resah hatinya.

Sementara Winda, merasa sangat senang. Ia yakin bulan madu ini akan menjadi awal yang baru bagi pernikahan mereka. Ia berharap dapat lebih intim lagi dengan Wisnu saat di Paris nanti.

"Aku harap di Paris nanti, kita bisa lebih dekat dan saling mengenal lebih baik," ucap Winda, memecah keheningan.

Wisnu tersenyum tipis, "Semoga saja," balasnya singkat.

Agar tidak ditanyai macam-macam lagi oleh istrinya, Wisnu memilih untuk memejamkan mata, selama perjalanan.

Winda merasa kecewa, ‘Kenapa dia malah tidur lagi, sih?! Padahal, aku masih ingin mengobrol dengannya,’ batinnya kesal.

Demi mengobati kesepiannya, Winda memilih mendengarkan musik lewat headset yang terpasang di kursi kabin eksekutif.

Suasana di kabin pesawat sunyi. Hanya suara mesin pesawat yang memecah keheningan selama perjalanan.

Setelah melalui sekitar 14 jam penerbangan, dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta (CGK) Jakarta ,Indonesia. Akhirnya mereka mendarat di Bandara Paris-Charles de Gaulle (CDG) pada jam 1 pagi (GMT+1) keesokan harinya.

Menggunakan mobil sedan mewah sewaan, Emilio mengantarkan mereka ke Hotel Le Meurice.

Sebuah hotel mewah terkenal di Paris, yang biasa digunakan untuk destinasi bulan madu. Setelah membantu pengurusan semuanya, Emilio kembali ke Indonesia.

"Selamat bersenang-senang Tuan dan Nyonya,"ucapnya sopan."Saya akan kembali ke Indonesia, sesuai perintah Tuan besar Adiyaksa."

Winda tersenyum. "Terima kasih, Emilio." Sementara Wisnu, hanya menganggukkan kepala ringan dengan ekspresi datar.

"Oh ya hampir terlupa. Nyonya Winda, ini ada titipan untuk Anda. Dari sahabat Anda, Nona Lalisa," Emilio pun mengeluarkan kotak kecil berwarna merah dari balik jasnya. "Katanya, ini hadiah spesial untuk Anda," imbuh Emilio.

"Terima kasih, Emil," balas Winda, menerima kotak tersebut. Emilio pun langsung pamit meninggalkan kedua pasangan pengantin baru tersebut.

Di dalam kamar mewah Hotel Le Meurice, kini tinggal mereka berdua. Suasana menjadi sedikit tegang.

Di balik tirai tipis kamar hotel mewah di Paris. Winda segera menanggalkan pakaiannya. Rambutnya yang tergerai indah, menyentuh lehernya yang halus. Dengan gerakan yang menggoda, ia mendekati Wisnu.

Wisnu menelan ludah, ‘Gawat. Ditagih jatah setoran, nih,’ batinnya cemas.

“Sayang,” bisik Winda dengan suara menggoda. “Kamu tahu, di Perancis, jam segini waktunya---“

“Cari kopi! Aku ngantuk!” potong Wisnu sambil mendadak berdiri dari tempat duduknya. Winda terhenyak mundur karena kaget.

“Apa kamu mau kopi juga, Winda?” tawar Wisnu. Dengan cepat, ia mencari-cari alasan untuk bisa segera, meninggalkan kamar.

“Tidak. Aku tidak suka kopi. Tetapi sesuatu yang panjang, besar, dan keras,” balas Winda sambil tersenyum nakal.

“A-apa?” Wisnu terkesiap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status