Share

Dilema dan Awal Bencana

“Siapa dia?" desak Winda, wajahnya memerah padam.

Winda menatap tajam menuntut jawaban."Kenapa dia menangis? Apa yang kau lakukan padanya, Wisnu?"

“Anu, anu itu—“ balas  Wisnu terbata-bata, kebingungan. Kesulitan menemukan alasan yang tepat.

“Dasar dosen brengsek!” Belum sempat Wisnu menjelaskan, Fina sudah memotong. “Kau akan menerima balasannya! Dasar Kodok Zuma!” makinya lantang.

Suara Fina menggema di parkiran, membuat, beberapa staf dan mahasiswa yang kebetulan lewat menoleh ke arah mereka, sambil cekikikan.

“Hentikan, Fina! Aku bukan kodok zuma!” bentak Wisnu geram, karena dipermalukan.

“Kau akan mati dalam kehampaan, Wisnu!" sumpah serapah keluar dari mulut Fina, disertai derai air mata.

Winda terkesiap melihat Fina, berani mengacungkan jari tengahnya, pada Wisnu. “Astaga…” lirihnya.

Tanpa berkata apapun, Fina segera berlari ke mobilnya. Suara bantingan pintu mobil berdebam keras menggema di parkiran.

Mobil mirip kepik merah itu kemudian, melaju kencang meninggalkan parkiran.

"Siapa wanita itu, Wisnu?” Winda menatap penuh curiga."Kenapa dia bersikap seperti itu kepadamu?"

Wisnu berusaha tenang, mencari alasan logis. "Oh dia, mahasiswi bimbinganku. Dia memang agak emosian anaknya. Maklum masih labil,” kilahnya.

"Benarkah, begitu?" Winda melirik curiga.

Wisnu menatap Winda dalam-dalam.“Sayang, tolong merngertilah. Di kampus ini, sebagai dosen. Aku harus menghadapi berbagai karakter mahasiswa.”

“Jadi tolong jangan salah paham,” tandas Wisnu dengan nada rendah.

Winda terdiam, merasakan kehangatan tatapan Wisnu yang begitu dalam seolah menelanjangi jiwanya, membuatnya jantungnya berdegup kencang.

“Aku minta maaf, atas sikapku,” ucap Winda tersipu malu. “Aku hanya khawatir kehilanganmu, Wisnu. Takut pernikahan kita akan—

“Sstt…” Wisnu menempelkan jari telunjuknya ke bibir Winda, "Saat ini, sebaiknya kita fokus, pada pernikahan yang sudah tinggal beberapa hari lagi."

“Tolong jangan terlalu banyak pikiran.” Wisnu memandang calon istrinya penuh kasih sayang.

Winda tersenyum. “Baiklah.”

Perlahan, rasa cemburu pun di hati Winda mereda. Ia merasa Wisnu merupakan takdir indah, yang ditetapkan untuknya.

"Aku percaya padamu, Wisnu," bisik Winda pelan. "Aku yakin pernikahan kita akan bahagia."

Wisnu tersenyum. "Aku berjanji tidak akan pernah mengecewakanmu, sayang.”

"Oh ya. Sayang, kita harus segera ke perancang busana IVN, untuk fitting jas pernikahanmu," tutur Winda secara mendadak.

"Hah, benarkah?" Wisnu sedikit terkejut.

“Iya. Tadi pagi, sekretaris pribadiku memberitahu hal ini. Makanya, aku buru-buru ke sini,” tegas Winda.

"Ayo, kita pergi.”  Winda menggamit lengan Wisnu. “Pakai mobilku saja. Tinggalkan motormu di kampus!”

“Nanti, biar aku suruh, anak buah papa untuk mengangkut CBR-mu itu, ke langsung ke rumahmu, sayang,” imbuhnya.

"Baiklah." Wisnu menghela napas pasrah. Karena tidak mau ribut dengan wanita keras kepala, pewaris tunggal Perusahaan Adiyaksa Group.

Keduanya merasakan perasaan yang berbeda. Winda merasa semakin mantap, menuju gerbang pernikahan. Sebaliknya, Wisnu merasa semakin tersiksa, karena harus mematikan separuh hatinya demi perjodohan ini.

***

Hari terus berganti. Di balik kemegahan persiapan pernikahan, Wisnu dilanda kegelisahan yang tak terperi. Dilema begitu menyiksa batin. Malam ini pun, ia tidak bisa tidur, hanya rebahan di dalam kamar.

"Aduh. Besok hari pernikahanku, tapi kenapa terasa hampa?”

“Apa yang harus aku lakukan? Bisakah aku melewati malam pertama, dan menjadi suami yang baik bagi Winda? Ah!” Wisnu mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.

Di satu sisi, ia masih mencintai Fina. Di sisi lain, paksaan pernikahan dengan Winda, pewaris tunggal Adiyaksa Group, tak kuasa dihindari.

Sekelebat, bayangan wajah cantik Fina, mampir di benaknya. “Maafkan aku, Fina. Kau mungkin akan membenciku. Tapi aku tidak….”

Wisnu termangu di atas tempat tidur, memandangi foto Fina dan dirinya di galeri hape. Saat mereka tertawa, berpegangan tangan di bawah pohon rindang.

"Aku harap kamu tidak melakukan hal bodoh, seperti bunuh diri...."

Tiba-tiba, suara pintu kamar terbuka. Bu Dewi, ibunya, berdiri di ambang pintu dengan wajah terkejut. “Kamu belum tidur, Nak? Ini sudah jam 12 malam, loh.”

 “Sebentar lagi, Bu,” Wisnu menyembunyikan hapenya di bawah bantal.

"Cepatlah tidur! Besok hari pernikahanmu. Akan ada banyak, tamu undangan penting, yang hadir. Jadi kamu harus tampil prima, Wisnu,” omel Bu Dewi.

“Baik, Bu,” balas Wisnu, tersenyum getir.

“Sana, cepat tidur.” Bu dewi pun, menutup kembali pintu kamar, pergi meninggalkan kamar anak pertamanya.

***

Keesokan harinya, di dalam kemegahan ballroom hotel bintang lima, di pusat ibu kota, menjadi saksi bisu pernikahan Wisnu Bramastya dan Winda Adiyaksa.

Tamu undangan penting, dari kalangan pengusaha dan pejabat pemerintahan memenuhi ruangan, memancarkan aura glamor dan prestise.

Winda tampil bagaikan ratu, dalam balutan gaun pengantin rancangan desainer ternama. Senyuman tak pernah pudar dari bibirnya, memancarkan kebahagiaan yang tak terkira.

Di sampingnya, Wisnu tak kalah menawan dalam tuxedo yang melekat sempurna di tubuhnya yang tinggi dan atletis. Namun, di balik senyuman menawannya, tersembunyi luka dan kepura-puraan.

"Pestanya berlangsung meriah ya, sayang," bisik Winda, matanya berbinar penuh cinta.

Wisnu tersenyum palsu. "Iya.”

"Aku sangat bahagia sekali hari ini, Wisnu," tutur Winda.

Wisnu tidak menjawab. Hanya sebuah senyuman tipis merekah dibibirnya, menyembunyikan perih hatinya

Setelah berlangsung meriah selama 3 jam. Akhirnya  pesta pun usai.

Di dalam suite presidential room mewah, di dalam kamar pengantin, yang dipenuhi dengan hiasan bunga. Winda berganti pakaian, mengenakan lingerie seksi. Memancarkan keindahan, setiap lekuk tubuhnya.

“Malam ini adalah malam yang special,” Winda menyemprotkan parfum keseluruh tubuhnya.

Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar dibuka.

“Kau sudah datang sayangku,” sambut Winda. “Malam ini menjadi malam yang spesial bagi kita,” ucap Winda dengan manja.

Tanpa basa-basi, Winda mendekatkan diri memeluk manja suaminya. Wisnu bisa merasakan nafas hangat istrinya di wajahnya. Namun, sebelum bibir mereka bersentuhan, Wisnu menghindarinya.

"Ada apa, sayang?" tanya Winda setengah terkejut, mendapat reaksi tak terduga.

"Tidak apa-apa. Aku hanya terlalu lelah setelah acara.” Wisnu berbohong.

Entah mengapa disaat seperti ini, bayangan Fina tiba-tiba muncul. Perasaan bersalah mendadak menghantui benak Wisnu.

 “Maafkan aku, sayang. Mungkin lain kali. Aku lelah,” elaknya.

"Baiklah, sayang. Aku bisa mengerti.”  Winda mencoba memberikan pengertian.

Setelah berganti pakaian, dengan kimono tidur Wisnu, terpaku di sisi ranjang. Bayangan Fina terus menari di pelupuk matanya. Wajahnya, tawanya, sentuhan yang pernah menggetarkan jiwanya—semua itu menghantuinya.

Sementara, Winda, terbaring di sisi lain ranjang, memendam rasa kesal dan kecewa. Malam yang seharusnya penuh cinta dan gairah, berubah menjadi malam sunyi dan dingin.

"Wisnu," bisiknya. "Bisakah kamu memelukku, Sayang?" pinta Winda lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status