Inggit kembali ke ruang tamu lalu meletakkan nampan yang dibawanya ke meja. Ia pun menyuguhkan teh melati dan setoples kukis. "Silakan dicoba!" ujarnya pelan.
Setelah menyesap tehnya sekali, Inspektur Yoga pun berkata, "Jadi sudah berapa hari Airen tinggal di sini?"
"Sekitar empat hari," jawab Inggit.
"Cukup lama juga ya," tukas Airel sembari menegakkan tubuh. "Sebelumnya aku harus berterima kasih padamu karena telah memberikan tempat tinggal untuk adikku. Maaf, jika selama tinggal di sini dia ada merepotkanmu."
Senyuman Inggit merekah. "Sama sekali tidak merepotkan. Aku bahkan sangat senang dia mau menemaniku di sini sehingga aku tidak kesepian."
"Awalnya sikap adikmu memang sangat canggung, ternyata dia sedang memerankan orang lain. Pantas saja awal pertemuanku dengannya, dia terlihat sangat bingung ketika aku terlalu banyak bertanya." Inggit terkekeh mengingat kebersamaannya dengan Airen. "Tetapi aku yakin dan bisa merasakan bahwa dia tidak berm
Airen hanya bisa meringis kesakitan karena luka-luka di sekujur tubuh. Setelah tertangkap kembali karena berusaha kabur untuk kedua kalinya, ia harus mendapatkan penyiksaan yang sadis sebagai hukuman. Beberapa luka lebam akibat cambukan terlukis jelas di kulitnya yang terang. Selain itu beberapa luka sayatan juga terukir di sisi tubuh yang lain.Tidak hanya itu, Airen juga harus menerima kenyataan bahwa dirinya tengah diperlakukan seperti binatang. Ia dikurung dalam kerangkeng besi yang ukurannya tidak bisa untuk dirinya berdiri. Kali ini sulit baginya memikirkan cara untuk kabur, karena lelaki berwajah sangar terus saja mengawasinya. Ia bisa merasakan rasa sakit hati dan dendam dari lelaki itu. Meskipun lelaki itu telah diberikan jatah oleh pria bertopeng untuk menyiksa dirinya, tetap saja Airen bisa merasakan amarah dan dendam yang masih terpancar jelas dari sorot matanya.Lelaki itu bangkit dari duduk, lalu melemparkan sebotol air mineral dan sebungkus makanan kepad
Airen masih memikirkan omongan pria bertopeng itu, meskipun orangnya sudah tidak ada lagi di hadapan. Ia heran kenapa pria itu menyinggung tentang kematian Yofi. Jika memang ia pelakunya, kenapa ia harus memberitahu orang lain? Apa itu artinya bahwa dirinya sudah dipastikan tidak akan selamat?Apa pun alasannya, Airen berusaha tak mau ambil pusing. Fokusnya sudah berpindah pada cara untuk melarikan diri. Setelah mengamati pintu kerangkeng yang diikat dengan rantai lalu digembok, ia yakin mampu untuk membuka dan membebaskan diri. Sayangnya, permasalahan yang harus dihadapi bukan hanya itu, tetapi ada hal lain yaitu suruhan pria bertopeng—lelaki berwajah sangar dan perempuan yang selalu berpenampilan anggun. Kedua orang itu selalu bergantian menjaganya. Hampir tidak ada waktu kosong bagi Airen tanpa mereka. Meskipun sudah berusaha mengakali kedua orang itu, tetap saja ia tidak mendapatkan celah.Selain itu juga ada CCTV yang dapat dilihat Airen. Ia yakin kamera pen
Airel turun dari mobil dengan kaki jenjangnya. Untuk sesaat ia terpaku di depan sebuah hunian sederhana. Ia melihat kembali ponselnya untuk memastikan bahwa alamat yang dituju telah benar. Belum sempat ia mengetuk pintu, seseorang telah membukakan nya terlebih dahulu. Orang itu menyambut Airel dengan senyuman hangat. Ia mengenakan kaos tebal berlengan panjang dan syal rajut berwarna kelabu yang membalut lehernya."Terima kasih telah mau datang ke gubukku. Silakan masuk!" ujar Dokter Doni.Airel masih tergamam dengan perlakuan Dokter Doni. Lelaki itu tak sekaku kedengarannya. Padahal sebelum berangkat ia telah mengira akan mendapatkan sambutan yang dingin."Apakah Anda sedang sakit, Dok?" tanya Airel setelah dipersilakan duduk. Ia merasa heran dengan pakaian yang dikenakan oleh Dokter Doni. Padahal di luar rumah cuaca sangat cerah dan panas."Hanya sedikit meriang, bukan masalah yang berarti.""Seharusnya Dokter bisa beristirahat, bukan malah menyur
Airel masih mengingat kebersamaannya dengan Dokter Doni. Setelah menemani minum teh, dokter itu meminta Airel untuk menemaninya makan malam. Airel sempat ingin menolak. Namun setelah dipikir, tiada salah juga jika ia mengamini harapan lelaki itu. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena telah membantunya. Terlebih keinginan Dokter Doni hanya ingin memperlakukan Airel seperti anaknya sendiri. Ia berharap Airel mau menikmati makanan yang biasa ia nikmati bersama putrinya.Untuk menu makan malam, Dokter Doni berinisiatif membuatkannya sendiri untuk Airel. Ternyata lelaki paruh baya itu jago dalam memasak seperti lihainya ia memainkan pisau bedah. Jemarinya begitu lincah bak koki profesional. Ia pun memilih untuk memasak makanan barat yang dipadupadankan dengan rasa khas Indonesia.Airel memperhatikan bagaimana lelaki itu bekerja di dapur. Ia tak merasa telah menunggu karena terlena dengan kepiawaian lelaki itu dalam mengolah bahan makanan. Layaknya sekejap, dua pors
Pria itu menyesap wine beberapa kali hingga tandas. Baginya wine adalah minuman yang bisa memberikan ketenangan. Akhir-akhir ini ia memang cukup risau dengan apa yang tengah dihadapi, tetapi ia juga cukup puas dengan apa yang telah dicapainya.Sesekali ia terkekeh saat melihat foto-foto yang terletak di atas meja. Di antara deretan foto-foto terdapat gambar Anggi dan Yofi yang telah tersilang dan beberapa gambar orang lain yang masih bagus."Kalian harus bersabar ya, giliran pertunjukan untuk kalian akan dimulai pada episode selanjutnya," ucapnya dengan senyum menyeringai pada sekelompok foto yang belum tersilang."Karen saat ini adalah giliran untuk dua gadis kembar itu." Tatapannya nyalang menghunus gambar Airen dan Airel yang tertempel di papan dart.Pria itu pun memutar alunan lagu klasik seakan sedang menikmati kemenangan. Ia pun menghempaskan tubuh ke sofa sembari memijit pelan pangkal hidungnya. Belum sepuluh menit ia men
Iris hitam legam milik Airen menatap lekat ke arah lelaki botak yang terbaring tak sadarkan diri. Sebenarnya ia tidak suka menyakiti orang lain, namun keadaanlah yang sudah memaksanya. Ia pun mengambil kunci yang terkait di celana lelaki itu.Saat hendak menuruni tangga menuju lantai satu, tiba-tiba Airen teringat sesuatu. "Sebaiknya aku tidak keluar dengan tangan kosong, aku hanya butuh beberapa menit," ucapnya lirih kemudian berbalik arah menuju lantai tiga.Derap langkahnya berpacu dengan degup jantung yang terus berdetak cepat. Setelah berada di lantai paling atas bangunan itu, ia langsung menuju ke ruang penyiksaan. Dugaannya benar, ruangan itu tidak pernah terkunci.Airen menebar pandangan sekilas lalu mengambil beberapa foto yang tertempel di dinding. Ia sangat penasaran siapa orang-orang itu sebenarnya, sehingga dirinya dan Airel disejajarkan dengan mereka. Setelah dirasa cukup, ia ber gagegas keluar dari ruangan itu. Ia tak ingin berlama-lama dan membua
Langkah kaki Airen mulai melambat. Rasanya ia sudah tidak mampu lagi untuk berlari atau berjalan. Sambil membekap luka di lengannya yang mulai terasa sakit, sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan seseorang tengah mengejarnya atau tidak.Jalanan yang ia susuri masih gelap dan berkelok. Ia berharap fajar segera menampakkan diri. Selain tubuhnya yang mulai lelah, ia merasa tidak nyaman dengan jalanan yang lengang itu. Lebih dari lima menit ia berjalan, ia tidak menemukan bangunan apa pun yang berdiri di kiri kanan jalan.Airen tidak tahu di daerah mana ia berada. Yang pasti tempat itu begitu asing dan sepi. Sejauh matanya memandang, ia hanya menjumpai pohon-pohon di sepanjang jalan. Meskipun demikian, jalanan itu sudah beraspal dan dilengkapi dengan lampu-lampu penerangan meski jarak antar tiangnya cukup jauh. Itu artinya tempat tersebut masih diperhatikan dan bukan daerah yang tertinggal. Bisa juga jalan itu merupakan jalanan lintas kota.Merasa semakin
Airel mengeluarkan koper Alfie dari bagasi mobil. Lalu menyeretnya menuju ke dalam rumah."Sebaiknnya Paman istirahat terlebih dahulu. Nanti malam saja kita membicarakan tentang kasus Paman Yofi dan Airen," ucap Airel pada Alfie yang berjalan beriringan dengannya. Airel tahu Alfie sangat lelah. Selama perjalanan pulang, Alfie hanya tertidur di mobil."Paman sudah cukup istirahatnya," ucap Alfie lirih. "Perjalanan tadi juga cukup lama.""Beristirahatlah yang benar Paman. Bukan yang hanya kebetulan bisa beristirahat."Alfie tersenyum tipis. "Intinya itu juga sudah beristirahat," bela Alfie yang membuat Airel hanya menggeleng heran.Setelah mengantarkan koper ke kamar Alfie, Airel langsung duduk di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian, Alfie juga ikut duduk sembari meletakkan sebuah laptop di atas meja."Tumben Paman memakai laptop di rumah?" tanya Airel setengah menyelidik. Pemandangan yang memang tidak biasa ditunjukkan Alfie."Ada yan