Setelah mendengar apa yang dikatakan Rudy, Nauna merasa ini adalah kesempatan baginya untuk mengetahui siapa Jeremy. Tidak butuh waktu lama untuk memutuskan, dia akan membuntuti iparnya itu nanti. Pada saat ini, Dean masuk ke kamar dengan membawa dua mangkuk bubur. Nauna segera melepas handsfree dan menyambutnya dengan senyuman. “Mbak Lusi dan yang lainnya belum masak. Jadi, aku beli bubur. Nggak apa-apa, ya?” Dean berkata sambil duduk di tepi ranjang dan menyerahkan satu mangkuk bubur pada Nauna. Ketika pergi ke dapur beberapa saat lalu, Dean tidak mendapati seorangpun di sana. Tidak ada yang memasak, meja makan juga masih kosong. Sepertinya, para iparnya belum keluar dari kamar. Dean tidak bisa menunggu. Jadi, dia mengambil motor dan pergi ke luar. Ada yang menjual bubur di persimpangan, tak jauh dari rumah. Dia membeli dua porsi untuk sarapan bersama Nauna. “Tumben mereka belum masak, biasanya sudah ada makanan di meja makan jam segini.” Dean kembali berkata. Dia terlihat sedi
Nauna benar-benar tak habis pikir. Dia hanya diberi waktu sepuluh menit untuk pergi membeli sarapan. Jika terlambat, dia akan mendapat hukuman dari para iparnya. Entah hukuman seperti apa yang telah mereka siapkan untuknya. Apapun itu, dia pasti akan sangat dirugikan. Jadi, dia tidak bisa membantah dan terpaksa menurut. Ada penjual bubur di persimpangan yang tidak jauh dari rumah. Itu adalah tempat di mana Dean membeli bubur ayam untuknya tadi. Nauna pernah datang ke sana. Jadi, dia tahu, ada bubur sumsum juga di sana. Akan tetapi, dia tidak tahu di mana tempat terdekat untuk membeli lontong sayur. Seingatnya, tidak ada yang menjual makanan itu di dekat sini. Mungkin, dia harus pergi lebih jauh untuk mendapatkannya. Nauna menahan kepalanya yang masih agak berat. Jika berjalan perlahan, sepuluh menit tidak akan cukup, jadi dia memaksakan kakinya untuk melangkah lebar-lebar. Tidak lama setelah melewati pintu gerbang, seseorang menghentikan motor di depannya. Nauna mengerutkan alis
Nauna menautkan alis. Dia tidak menyangka, Tika akan melarangnya pergi secara spontan. Padahal, dia sudah memberikan alasan yang masuk akal. Apakah mereka masih mencurigainya? “Aku nggak boleh pergi?” Dia mencoba bertanya dengan sopan. Tika mendelik ke arahnya dan berkata dengan ketus, “Cuci pakaian dulu, baru pergi belanja!” Nauna merasa gerah melihat tingkah perempuan ini, tapi tidak boleh memperlihatkan ekspresi kesal di wajahnya. Jadi, dia menarik napas panjang dan memaksakan seulas senyum. “Hampir nggak ada apa-apa di kulkas. Bagaimana kalau anak-anak ingin makan camilan atau minum jus buah sepulang sekolah? Mereka pasti akan kecewa melihat kulkas kosong.” Dia berkata dengan tenang. Tika terdiam. Dia tampaknya sedang berpikir. Sementara Tari berdecak dan berkata dengan acuh tak acuh, “Ya, ya! Pergilah untuk belanja!” Mendengar ini, Tika tidak setuju. “Dia bisa pergi belanja setelah mencuci pakaian. Nggak harus pergi sekarang, kan?” Tari bersedekap dan menjawab dengan santai
Nauna tidak bisa melihat wajahnya, tapi menyadari perawakannya berbeda dengan laki-laki yang datang ke rumah tempo hari.Penampilannya juga terlihat lebih sederhana—hanya mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Sangat kontras dengan penampilan laki-laki yang dia lihat waktu itu. Akan tetapi, penampilan bisa saja menipu. Jika laki-laki ini benar adalah Jeremy, maka dia mungkin sedang menyembunyikan status sosialnya dengan berpenampilan sederhana. Nauna terus memperhatikan laki-laki itu, sampai seorang pelayan datang menghampirinya. Pelayan ini menyapa dengan ramah dan menawarinya duduk di tempat yang masih kosong. Dia langsung setuju dan beranjak ke tempat yang dimaksud. Jarak tempat duduknya dengan Rudy dan laki-laki itu agak berjauhan. Posisinya cukup aman, karena tertutup oleh pelanggan lain. Sayangnya, dia tidak bisa mendengar pembicaraan mereka sama sekali. Jadi, dia hanya bisa memperhatikan gerak-gerik dua orang itu dengan seksama. Mereka tampak mengobrol dengan santai sam
Setelah mendapatkan semua barang yang diperlukan, Nauna bergegas pulang. Susah payah dia menenteng tiga kantong besar belanjaan dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tika langsung menyambutnya di depan pintu. Wajah tidak tahu malu itu menatapnya dan bertanya dengan tidak sabar, “Mana pesananku?”Nauna mengulurkan salah satu kantong belanjaan. Tika meraihnya dengan kasar dan memeriksa isinya. Dia tersenyum puas, tapi ekspresinya kembali sinis saat mengangkat wajah. “Jangan lupa cuci pakaian!” Dia memperingatkan dan melotot dengan tajam. Nauna mengangguk dengan patuh. Tika langsung membalikkan badan dan beranjak pergi dengan perasaan gembira. Nauna diam-diam mencebikkan bibir. Perempuan itu bukan hanya tidak tahu malu, tapi juga tidak tahu terima kasih. Dia mungkin akan sesak napas jika mengucapkan terima kasih padanya. Setelah memastikan Tika benar-benar pergi, Nauna beranjak ke dapur untuk menyimpan semua belanjaan yang tersisa di tangannya. Pikirannya sebenarnya masih kacau. Dia
Hari ini adalah hari penentuan bagi karir Dean di perusahaan. Layak tidaknya dia naik jabatan, akan ditentukan oleh berhasil tidaknya dia memenangkan proyek kerjasama. Pukul sembilan pagi, dia sudah tiba di PT. Erafood Internasional, tbk. Ini adalah perusahaan yang akan ditawarkan proyek kerjasama dengan perusahaan tempatnya bekerja. Dean dipersilahkan masuk ke ruangan rapat dan segera disambut oleh para petinggi perusahaan. Dia bukan satu-satunya perwakilan yang akan melakukan presentasi hari ini. Ada beberapa perwakilan perusahaan lain yang juga ingin melakukan kerjasama. Mereka akan bersaing secara sehat untuk memenangkan proyek kerjasama yang cukup besar dan menguntungkan. Dean mendapat kesempatan sebagai perwakilan pertama yang akan melakukan presentasi. Dia sedikit gugup, tapi bisa mengendalikan diri dengan baik dan bersikap profesional. Dia memulai presentasinya dengan tenang dan mengakhirinya tanpa kendala sama sekali. Beberapa pertanyaan yang diajukan, berhasil dia jaw
Nauna berencana pergi ke kantor Rudy lagi dan membuntutinya seperti kemarin siang. Akan tetapi, dia tidak punya alasan yang bisa dikatakan pada para iparnya agar diizinkan pergi ke luar. Pergi diam-diam juga terlalu beresiko. Dia tidak mau mereka mencurigainya. Dia terus memikirkan alasan yang masuk akal sambil mengerjakan semua pekerjaan rumah. Saat sedang menyapu lantai ruang tengah, dia melihat Lusi berjalan masuk ke dalam kamar sambil menempelkan ponsel di telinga. Tanpa pikir panjang, Nauna langsung mengambil handsfree yang selalu dia bawa di dalam saku dan memasangkannya di telinga. Suara Lusi terdengar jelas, sedang berbicara dengan nada kesal. “Jadi, bagaimana, Mas? Kapan kamu dan Jeremy bisa bertemu? Kenapa dia selalu sibuk dan nggak bisa bertemu setelah memegang surat-surat penting dan sertifikat rumah ini?”Nauna langsung mengerti arah pembicaraan iparnya. Sepertinya, Rudy lagi-lagi tidak bisa bertemu dengan Jeremy hari ini. Lusi pasti sangat kesal. Sedangkan Nauna mer
Rasa kagetnya belum hilang, tapi Nauna sudah diseret keluar dari kafe. Dia dibawa ke dekat mobilnya sendiri dan didorong sampai membentur pintu mobil. Masker yang menutupi wajahnya ditarik dengan kasar. Nauna tidak bisa mengelak lagi. Dia benar-benar telah tertangkap basah. Lusi menatapnya dengan tajam dan berkata, “Ternyata benar, kamu memang memata-matai kami!” Dia terlihat sangat marah. Nauna menggeleng dan mencoba membela diri “Aku nggak bermaksud begitu. Aku hanya—”“Hanya apa?” Lusi menyela dengan sengit. “Jelas-jelas kamu mengikutiku ke sini. Apanya yang nggak bermaksud begitu, hah?!”“Kamu memang sangat berani, Nauna.” Suara lain tiba-tiba terdengar di antara mereka. Nauna menoleh ke samping dan tersentak kaget. Dia melihat Rudy berjalan mendekat dan bersandar di pintu mobil. Ekspresinya terlihat jauh lebih tenang daripada Lusi. “Bukan hanya mencoba membuntuti kami, kamu juga menyadap pembicaraan kami.” Rudy berkata dengan tenang. Nauna membelalakkan mata. Dia benar-bena