Setelah tubuh Gendis di masukkan ke dalam mobil, semua menjadi semakin gelap.
Kakinya yang tertembus timah panas, kini sudah tidak merasakan apa-apa.Bahkan untuk di gerakkan pun tidak bisa, Gendis merasakan, seseorang mengikat luka di kakinya.Beberapa kali dia menjerit kesakitan sebelum akhirnya dia jatuh pingsan.Sementara itu di rumah Dirga.
"Dasar bodoh, menangkap seorang wanita saja tidak becus."
Tania menggebrak meja yang ada di sebelahnya.
Sementara, Dirga dengan kepala di balut perban, duduk di sofa, menyandarkan punggungnya dengan meletakkan lengan di atas kepalanya."Tania, jaga ucapanmu. Kami di serang sekelompok orang dengan tiba-tiba, bahkan jika kamu berada di sana, belum tentu juga bisa menangkap perempuan sialan itu."
Dirga menjawab, tanpa merubah posisi duduknya.
Tania yang mendengar ucapan Dirga, merasa begitu kesal.Dia berlalu meninggalkan Dirga dan anak buahnya dengan muka masam."Dobleh ...." teriak Dirga.<
Di rumah Dirga.Brak ....Dirga menggebrak meja dengan keras, beberapa pengawal yang ada di sekelilingnya mundur beberapa langkah ke belakang. Tidak ada satupun dari mereka yang bersuara."Dasar bodoh semua, hanya mencari seorang perempuan saja tidak becus!" hardik Dirga geram.Kemarahannya membuncah, matanya melotot sambil mengepalkan tangan, hingga gemeretuk rahangnya jelas terdengar."Aku tidak ingin mendengar laporan kegagalan kalian. Cari tahu semua rumah sakit, jangan sampai ada yang terlewatkan."Kembali Dirga memberi perintah pada anak buahnya untuk mencari keberadaan Gendis.Harga dirinya seolah diinjak-injak andai dia tidak bisa menemukan Gendis.Terlebih Gendis sama sekali tidak mengenal daerah dimana Dirga tinggal."Dirga sayang ... kamu sepertinya melupakan sesuatu," desis Tania."Apa yang kamu ketahui, Tania?""Jika urusan wanita, harusnya kamu bertanya pada orang yang tepat.""Maksudmu?" tanya Dirga tid
Mobil yang membawa Gendis melaju kencang meninggalkan rumah sakit.Jauh dari kejaran anak buah Dirga.Entah sudah berapa jam Gendis berada di dalam mobil, hingga membuatnya tertidur untuk beberapa lama.Ketika Gendis membuka mata, dia merasakan laju mobil berjalan lambat dan guncangan halus. Beberapa kali mengucek dan mengerjapkan mata, lalu melihat keluar melalui jendela mobil.Ternyata mereka tengah berada di jalan berbukit, tampak dengan jelas, rimbun hijau pepohonan dan deretan bukit di depannya.Gendis berdecak kagum, lalu membuka jendela. Udara segar menyeruak masuk, dihirupnya dalam-dalam. Gendis melongokkan kepala juga kedua tangannya keluar, sambil berteriak, melepaskan sesak yang menggumpal di dada.Aaaaa ... aaaa ....Pak Markus hanya yang melihat apa yang dilakukan Gendis hanya tersenyum kecil.Beberapa kali bahkan pak Markus terkekeh setiap kali Gendis terpekik ketika melihat hewan liar menyeberang jalan."Pak Markus, liha
Hari masih gelap, matahari pun masih malu-malu bersembunyi di balik kabut dan masih enggan untuk menampakkan kilau nya.Sama seperti Gendis, yang masih enggan untuk membuka matanya dan lebih memilih untuk kembali menarik selimut hingga sebatas leher.Di luar jendela, cericit burung bersahutan, berjekaran untuk saling mendahului mencari makan.Kriiing ... kriiing ....Jam beker yang berada di atas nakas beberapa kali berdering.Gendis mengucek matanya, mengerjap-ngerjap lalu meraih jam tersebut untuk mematikan suaranya."Sudah jam 5 pagi, tapi masih begitu gelap," lirih Gendis sambil membuka gorden untuk melihat keluar.Tok tok tok ....Baru saja Gendis beranjak dari jendela, terdengar ketukan di pintu kamarnya."Siapa?" tanya Gendis lirih."Ini Roy. Keluarlah, kita akan mulai latihan sebentar lagi.""Yang benar saja, ini baru jam 5 pagi, dan kamu mengajakku latihan?" gerutu Gendis dari dalam kamar."Cepatlah, atau kam
"Pasang kuda-kuda yang bener, kalau seperti itu, sekali tendang kamu akan tersungkur," teriak Roy lantang.Gendis dengan cekatan membetulkan kuda-kudanya.Dengan lincah, dia mengikuti setiap gerakan dari Roy. Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhnya, namun tidak dia hiraukan.Pekikan dan suara lantangnya bergema di ruangan, tiap kali dia berhasil menendang atau menjatuhkan.Tanpa terasa, lebih dari satu bulan Gendis mengolah fisik, belajar bela diri dari Roy. Tubuhnya terlihat makin berisi, tidak lagi lemah lembut seperti sebulan yang lalu.Tangan dan bagian tubuhnya lebih berotot, gambaran dari latihan yang selama ini dia terima."Bagus sekali, Gendis."Pak Markus berjalan mendekati Gendis, yang duduk sambil menyeka keringatnya.Rambut panjangnya dia ikat ke atas."Pak Markus ... kok ada di sini, bukannya Bapak ada di kota?" tanya Gendis penasaran."Kebetulan, urusan di kota sudah selesai. Lebih cepat dari perkiraan sem
Gendis menatap pantulan dirinya di cermin.Hampir saja dia tidak mengenali dirinya sendiri.Seorang gadis dengan rambut ikal sebahu dan berwarna coklat keemasan, membuatnya ternganga.Gambaran tentang gadis lugu dengan rambut hitam dan panjang, telah berganti dengan sosok gadis dengan penampilan yang sangat berbeda."ini benar-benar diriku?" tanya Gendis tidak percaya, masih dengan menatap lekat dirinya di cermin."Bagaimana, Nona menyukainya?"Wanita berambut cepak balik bertanya.Namun Gendis tidak menjawab, matanya fokus memperhatikan dirinya.Lalu, Gendis melihat ke arah Steve dan berkata."Tuan menyukai penampilan baruku?" tanya Gendis.Steve sedikit kaget mendapat pertanyaan dari Gendis, dengan cepat dia menjawab, "Aku suka."Gendis tersenyum puas mendengar jawaban Steve, terlebih dia menyukai penampilan barunya."Apa ada yang lain lagi, Pak Markus?" tanya wanita berambut cepak.Pak Markus mengerutkan kening,
"Bagaimana sekarang, apa masih sakit?" tanya Steve, sambil mengolesi luka Gendis dengan obat merah, lalu membungkusnya dengan plester."Tidak, hanya sedikit perih."Gendis menjawab, wajahnya menunduk, menghindari tatapan mata Steve.Walau sorot mata laki-laki yang berjongkok di depannya begitu dingin, namun mampu membuat hatinya berdesir setiap kali dia berusaha menentang tatapannya."Lain kali, berhati-hatilah. Aku tidak ingin hal seperti ini terjadi lagi," ujar Steve, dia berdiri.Tangannya mengibaskan kotoran yang menempel di celananya.Tak jauh dari tempatnya berdiri, Roy melihat keduanya dengan tatapan yang sulit untuk digambarkan.Dia merasa bersalah, karena telah membuat Gendis terjatuh dari ayunan. Namun di sisi lain, dia juga merasa heran dengan sikap Steve yang memperlakukan Gendis dengan lemah lembut. Dia tahu betul bagaimana sikap Steve terhadap para wanita selama ini.Roy berusaha menepis pikiran negatif, "Gendis tidak sepert
Gendis menutup pintu kamar mandi lalu berdiri di depan wastafel.Dadanya turun naik, dia menekan dadanya, berusaha mengatur degub jantung yang tidak beraturan.Beberapa kali Gendis menarik napas dalam.Dia menatap lekat wajahnya di cermin, wajahnya bersemu merah.Lalu pandangan matanya turun ke handuk yang melilit tubuhnya."Bodoh, benar-benar bodoh," ucap Gendis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.Disambarnya baju yang tergantung, lalu dengan cepat mengenakannya.Rambut yang tinggal sebahu, di tarik ke atas lalu diikat dengan karet gelang. Kini, wajah Gendis tampak lebih jelas.Kulit putih dengan bibir mungil, membuat wajahnya tetap terlihat cantik walau tanpa polesan make up.Setelah dirasa cukup, Gendis keluar dari kamar mandi.Namun langkahnya terhenti di depan pintu, ketika matanya menangkap sosok Steve masih berada di dalam kamarnya."Kenapa kamu masih berdiri di sana, cepat ke sini."Steve mema
"Kemasi barang-barangmu, Gladys. Kita akan pulang."Suara berat milik Steve, membuat Gladys memutar tubuhnya.Laki-laki bertubuh jangkung dengan tatapan mata sedingin kutub utara itu tengah berdiri di belakangnya, sambil melipat tangannya di dada."Pulang ... kemana?" Gladys menautkan kedua alisnya.Baginya, pulang adalah kembali ke rumah orang tuanya. Namun, tidak mungkin Steve akan mengantarkannya pulang, terlebih saat rencana baru saja akan dimulai."Ke rumahku. Cepatlah, aku tunggu kamu di bawah.Setelah berkata, Steve bergegas turun. Sementara Gladys menggaruk kepalanya walau tidak gatal. Dia kembali memandang ke arah deretan bukit yang tampak begitu indah dari balkon kamarnya.Dia membentangkan kedua tangannya, menghirup sebanyak mungkin udara yang masih begitu segar, sebelum akhirnya masuk untuk membereskan barang-barang yang tidak seberapa.Ketika mengangkat baju untuk dimasukkan ke dalam ransel, tangannya menyentuh sesuatu yang berada