Gendis menatap pantulan dirinya di cermin.
Hampir saja dia tidak mengenali dirinya sendiri.Seorang gadis dengan rambut ikal sebahu dan berwarna coklat keemasan, membuatnya ternganga.Gambaran tentang gadis lugu dengan rambut hitam dan panjang, telah berganti dengan sosok gadis dengan penampilan yang sangat berbeda."ini benar-benar diriku?" tanya Gendis tidak percaya, masih dengan menatap lekat dirinya di cermin.
"Bagaimana, Nona menyukainya?"
Wanita berambut cepak balik bertanya.
Namun Gendis tidak menjawab, matanya fokus memperhatikan dirinya.Lalu, Gendis melihat ke arah Steve dan berkata."Tuan menyukai penampilan baruku?" tanya Gendis.
Steve sedikit kaget mendapat pertanyaan dari Gendis, dengan cepat dia menjawab, "Aku suka."
Gendis tersenyum puas mendengar jawaban Steve, terlebih dia menyukai penampilan barunya.
"Apa ada yang lain lagi, Pak Markus?" tanya wanita berambut cepak.
Pak Markus mengerutkan kening,
"Bagaimana sekarang, apa masih sakit?" tanya Steve, sambil mengolesi luka Gendis dengan obat merah, lalu membungkusnya dengan plester."Tidak, hanya sedikit perih."Gendis menjawab, wajahnya menunduk, menghindari tatapan mata Steve.Walau sorot mata laki-laki yang berjongkok di depannya begitu dingin, namun mampu membuat hatinya berdesir setiap kali dia berusaha menentang tatapannya."Lain kali, berhati-hatilah. Aku tidak ingin hal seperti ini terjadi lagi," ujar Steve, dia berdiri.Tangannya mengibaskan kotoran yang menempel di celananya.Tak jauh dari tempatnya berdiri, Roy melihat keduanya dengan tatapan yang sulit untuk digambarkan.Dia merasa bersalah, karena telah membuat Gendis terjatuh dari ayunan. Namun di sisi lain, dia juga merasa heran dengan sikap Steve yang memperlakukan Gendis dengan lemah lembut. Dia tahu betul bagaimana sikap Steve terhadap para wanita selama ini.Roy berusaha menepis pikiran negatif, "Gendis tidak sepert
Gendis menutup pintu kamar mandi lalu berdiri di depan wastafel.Dadanya turun naik, dia menekan dadanya, berusaha mengatur degub jantung yang tidak beraturan.Beberapa kali Gendis menarik napas dalam.Dia menatap lekat wajahnya di cermin, wajahnya bersemu merah.Lalu pandangan matanya turun ke handuk yang melilit tubuhnya."Bodoh, benar-benar bodoh," ucap Gendis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.Disambarnya baju yang tergantung, lalu dengan cepat mengenakannya.Rambut yang tinggal sebahu, di tarik ke atas lalu diikat dengan karet gelang. Kini, wajah Gendis tampak lebih jelas.Kulit putih dengan bibir mungil, membuat wajahnya tetap terlihat cantik walau tanpa polesan make up.Setelah dirasa cukup, Gendis keluar dari kamar mandi.Namun langkahnya terhenti di depan pintu, ketika matanya menangkap sosok Steve masih berada di dalam kamarnya."Kenapa kamu masih berdiri di sana, cepat ke sini."Steve mema
"Kemasi barang-barangmu, Gladys. Kita akan pulang."Suara berat milik Steve, membuat Gladys memutar tubuhnya.Laki-laki bertubuh jangkung dengan tatapan mata sedingin kutub utara itu tengah berdiri di belakangnya, sambil melipat tangannya di dada."Pulang ... kemana?" Gladys menautkan kedua alisnya.Baginya, pulang adalah kembali ke rumah orang tuanya. Namun, tidak mungkin Steve akan mengantarkannya pulang, terlebih saat rencana baru saja akan dimulai."Ke rumahku. Cepatlah, aku tunggu kamu di bawah.Setelah berkata, Steve bergegas turun. Sementara Gladys menggaruk kepalanya walau tidak gatal. Dia kembali memandang ke arah deretan bukit yang tampak begitu indah dari balkon kamarnya.Dia membentangkan kedua tangannya, menghirup sebanyak mungkin udara yang masih begitu segar, sebelum akhirnya masuk untuk membereskan barang-barang yang tidak seberapa.Ketika mengangkat baju untuk dimasukkan ke dalam ransel, tangannya menyentuh sesuatu yang berada
Gladys termenung di dalam kamarnya.Pikirannya berkelana kemana-mana, banyak sekali yang dia pikirkan.Bayangan kedua orang tuanya, menari-nari di pelupuk mata, namun sekuat tenaga mencoba untuk tidak terlalu hanyut dalam kerinduan, sebelum apa yang menjadi keinginannya tercapai."Bapak, Ibu, apa kabar kalian? Lama sekali aku tidak mendengar kabar tentang kalian. Ingin sekali aku memelukmu, Ibu, Bapak. Aku berjanji, setelah membalas rasa sakit hatiku ini, aku akan menemui kalian, aku janji," lirih Gladys."Andai saja aku punya ponsel, mungkin akan lebih bagiku untuk mengetahui keadaan mereka, juga Roy. Dimana dia sekarang?"Gladys mendesah, menyadari kalau selama ini dirinya tidak mempunyai ponsel. Padahal, dengan benda tersebut, tentu akan lebih memudahkan dirinya untuk berkomunikasi.Tok tok tok ...."Gladys, kamu di dalam?" sebuah ketukan di pintu kamarnya, sedetik kemudian, muncul Steve dari balik pintu.Tampak Steve membawa sesuatu d
Gladys berdiri memperhatikan Tania yang sibuk melihat sebuah sepatu.Beberapa kali Tania terlihat mencoba sepatu yang dia pegang dan melihat harga yang tertera di sana."Mbak, berapa harga sepatu yang dipegang oleh wanita yang ada di sana?" Gladys bertanya pada karyawan yang mendampinginya."Oh, itu sekitar tiga puluh juta Nona," jawab gadis itu."Hanya tiga puluh juta?" tanya Gladys lagi.Gadis yang berada di sebelahnya mengangguk.Namun dalam hati, Gladys sangat takjup dengan harga sepatu yang dipegang oleh Tania.Akan tetapi, dia tidak akan menunjukkan rasa terkejutnya. Baginya, tiga puluh juga sangat mahal. Terlebih selama ini, dia hanya mampu membeli sepatu seharga puluhan ribu saja. Itupun hanya ketika sepatunya sudah rusak.Gladys menarik napas dalam, lalu berjalan lebih dekat ke arah Tania.Dengan sudut matanya, Gladys melihat wajah angkuh Tania. Wajah yang selalu dia ingat, karena menjadi bagian dari orang-orang yang telah menghancurka
Gladys kembali melihat kartu nama yang baru diberikan oleh Tania, bibirnya tersenyum.Baru saja dia hendak melangkahkan kaki, tampak Steve berjalan tergesa menuju ke arahnya."Wah, cepat sekali dia datang," gumam Gladys."Apa yang terjadi?!" tanya Steve dengan wajah panik.Gladys yang melihat wajah Steve, menyembunyikan senyumnya. Lalu buru-buru dia berkata, sebelum kemarahan Steve meledak."Mana yang bangus menurutmu?" tanya Gladys sambil menunjuk deretan sepatu di atas rak.Wajah Steve berubah merah padam, tangannya mengepal, lalu dia membuang pandangannya keluar dengan kesal."Kamu memanggilku hanya untuk ini?" tanya Steve dengan suara tertahan."Iya. Aku ingat, kamu punya selera bagus. Bukankah waktu itu kamu pernah membelikan aku sepasang sepatu? Itu bagus sekali," jawab Gladys tanpa rasa bersalah.Steve menarik napas, dan membuangnya kasar.Wajahnya yang semula menegang, kini perlahan menjadi rileks."Tentu saja
Drtt ... drttt ....Ponsel Gladys beberapa kali berdering, membuatnya bergegas melangkah menuju meja, dimana ponsel itu berada.Sebuah nomer tidak dikenal melakukan panggilan."Halo ...." sapa Gladys begitu sambungan terhubung."Hai ... ini Tania, aku dengar dari sekretarismu, saat ini kamu sedang mencari apartemen, apa benar?"Sejenak Gladys termangu mendengar ucapan Tania dari ujung telepon, namun beberapa saat kemudian, dia sudah bisa menetralkan keadaan dan mencerna arah pembicaraan Tania.'Wow, cepat sekali,' pikir Gladys sambil tersenyum."Iya, benar. Apakah sekretaris saya sudah menghubungi anda?" tanya Gladys ramah."Iya, benar. Kemarin dia menghubungiku, dan minta rekomendasi sebuah hunian yang nyaman dan berada di pusat kota." Tania menerangkan.Gladys mengernyit, bingung, entah apa yang harus dia ucapkan. Sementara dia sama sekali tidak mengerti masalah properti. Terlebih rumah mewah."Apakah anda punya rekomendasi?
"Aku tidak percaya bisa melihatmu lagi, Gendis. Aku pikir, setelah mendengar bunyi letusan pistol waktu itu, kamu telah ....""Ssttt ... sudah, jangan menangis. Sekarang kamu lihat sendiri, bukan? Aku masih hidup."Gladys memeluk Suli, menenangkan sahabatnya serta meyakinkan bahwa dirinya masih hidup dan saat ini berdiri tegak di depannya."Bagaimana kamu bisa berubah seperti ini, Gendis? Ups ... Gladys?" Suli meralat nama baru temannya, baginya, menyebut Gendis lebih mudah dibanding Gladys. Walau hanya beda beberapa huruf saja."Tidak apa-apa, kamu tetap bisa memanggilku Gendis, seperti dulu. Asal tidak ada orang lain diantara kita," seloroh Gladys."Bagaimana dengan bayimu? Pasti sekarang sudah besar?"Kembali Gladys bertanya, kali ini sembari memandang perut Suli yang sudah rata. Hal itu membuat Gladys berpikir kalau sahabatnya itu sudah melahirkan.Namun ekspresi wajah Suli berkata lain, matanya memancarkan kesedihan, sambil